"Jadi, kamu lagi yang membuat putra, saya. Melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan."
Itu adalah pertanyaan pertama yang Haidar lontarkan pada Wiyana, mereka tengah berada di ruangan khusus Haidar.
Di sana pria tampan itu membelakangi Wiyana, Haidar sibuk melihat ke luar dinding kaca yang menampakkan jelas pohon pohon Pinus yang dia rawat.
Tentu saja dirinya bisa melihat dengan jelas, sebab ruangan Haidar ada di lantai dua.
Wiyana sendiri tak berkutik di hadapan seorang Haidar, dia menunduk dan jemarinya saling meremas karena gugup setengah mati.
"Pertama kamu ajak dia pergi dari tempat yang seharusnya dia tempati selama hujan turun," kata Haidar masih sangat santai.
Ingatan Wiyana berputar pada saat di mana pertama kali dia bertemu dengan Ken, saat itu Ken terlihat sangat menyedihkan sebab dia memeluk dirinya di bawah pohon besar saat hujan lebat.
"Ke dua, kamu ajak dia naik angkot. Kamu tau, selama hidupnya. Saya tidak pernah biarkan sekali pun putra, saya. Untuk naik kendaraan umum, apa lagi angkot. Sudah pasti sangat kotor dan pengap, sebab saat itu cuaca sedang tidak bagus," tambah Haidar.
Wiyana menarik napasnya, kilasan itu pun ikut menari nari di otaknya. Wiyana sangat malu jika mengingat saat itu, dengan pdnya dia mengajak Ken naik angkot. Dan, mencibir Ken anak gelandangan sebab saat ditanya Ken menjawab tidak pernah naik angkot.
"Ketiga kamu suapi dia, dengar! Saya tidak pernah membiarkan Ken untuk menjadi anak yang manja, sejak dia kecil. Saya tidak pernah menyuapinya, saya. Menegaskan padanya untuk mandiri, dia harus jadi lelaki tangguh dan tidak boleh manja pada siapa pun. Agar dia tidak berakhir menjadi pria yang manja dan memiliki jiwa pengecut."
Begitu mengatakan kata pengecut, nada suara Haidar sedikit berbeda. Sebab dia akan kembali mengingat dirinya yang dulu, dulu dia sangatlah pengecut dan merasa tidak akan bisa hidup tanda harta orang tuanya. Hingga pada akhirnya dia merasakan yang namanya kehilangan, tetapi sayang. Haidar lupa apa yang hilang dari hidupnya.
"Tidak sampai di sana, kamu bahkan memberikan dia ikan goreng dan nasi putih saja. Kamu tau dia tidak pernah makan, makanan sederhana itu. Dan, juga bercocok tanam. Saya saja papanya tidak pernah memintanya untuk ikut saja bercocok tanam walau saya punya ribuan pohon Pinus, saya merawat mereka seorang diri. Dan, terakhir. Kamu buat dia memegang pisau karena kamu, coba kamu pikir. Bagaimana bisa bocah berusia sebelas tahun berani memegang pisau dengan tangan kosong?"
Selesai! Haidar puas mengatakan segalanya pada Wiyana, maka dengan itu dia berbalik. Dia selesai mengutarakan segala pertanyaan yang bersarang di otaknya, kini saatnya bagi Wiyana untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Wiyana meringis saat sadar kalau Haidar sudah berbalik ke arahnya, dengan dua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana.
"Jawablah, saya butuh jawaban. Bukan diam, dan kepala tertundukmu itu. Apa saya terlihat sangat buruk, sampai kamu enggan untuk menatap saya?" tanyanya sukses membuat Wiyana langsung mengangkat kepalanya.
"Tidak, tidak! Jangan berpikir begitu, atau saya juga harus jawab dari sisi mana kamu terlihat buruk. Sementara kamu sendiri sangat sempurna di mata saya," sanggahnya cepat. Takut kalau Haidar akan menambah pertanyaannya.
"Baiklah, jawab pertanyaan saya yang tadi. Dan, tatap mata saya saat menjawab. Sebab saya harus pastikan apakah kamu sedang berbohong atau tidak saat menjawab!" perintahnya mutlak.
"Astaga perintah dari kamu jauh lebih menegangkan dari pada ujian di sekolah," keluh gadis berambut sepinggang itu.
Dia meringis tak kuat untuk terus menatap ke dalam netra abu abu Haidar, rasanya seperti ada sengatan listrik yang dahsyat ketika Wiyana menatap ke dalam mata Haidar yang seperti samudera bisa menenggelamkan seorang Wiyana.
"Jangan buang buang waktu, katakanlah! Bukannya kamu harus pulang secepatnya? Sejak siang tadi kamu tampak risau, bukan?" cibir Haidar, dia itu sangat membuat Wiyana frustasi. Di saat Haidar sedang mencibir pun, pria itu masih tampak sangat cool dan tampan luar biasa.
Jadinya, Wiyana tidak bisa marah atau pun merasa tersinggung.
"Ehem, kamu tau dari mana?"
Haidar tersenyum miring penuh makna, senyum itu sialnya malah terlihat sangat indah di mata Wiyana. Dan, sukses membuat Wiyana kehabisan napas.
"Kamu lupa kamu sedang berada di mana sepertinya, ini rumah saya. Keamanan adalah hal yang selalu saya prioritaskan, apa kamu tidak melihat ada banyak CCTV di rumah ini?"
Bak terkena sambaran petir, Wiyana langsung lemas seketika. Dia bahkan sudah jatuh terduduk di sofa empuk ruangan itu, untungnya dia berdiri tepat di depan sofa. Jadi, dia jatuh dalam posisi yang aman.
"Argggg, memalukan!" gerutu Wiyana, dia menjambak rambutnya sendiri. Jujur Wiyana sangat stres, dia tidak menduganya. Jadi, sejak tadi Haidar sudah melihat gerak geriknya.
Dan, yang paling memalukan adalah bagian ketika Wiyana....
"Kenapa? Apa kamu mengkhawatirkan sofa putih saya yang ada di depan? Ngomong ngomong saya juga lihat ketika kamu ngupil dan menempelkan kotoran hidungmu di samping sofa, sungguh itu bukan perbuatan yang terpuji."
Habis sudah riwayatnya, harga dirinya sudah hancur berkeping keping di depan Haidar. Wiyana merasa kepalanya langsung jadi besar saat ini, dia tak punya muka lagi untuk dipasang di depan Haidar.
Haidar tersenyum tipis, dia menggeleng pelan. Lantas menyentuh ujung hidungnya sekali, guna menahan diri agar tak merespon dengan berlebihan.
"Jangan khawatir, Sofanya sudah diangkut oleh anak buah saya. Mereka akan membersihkan sofa itu, jujur saja jika tidak mengingat kalau itu adalah barang berkualitas bagus. Pasti saya akan langsung buang," tambah Haidar.
Semakin Haidar bicara soal sofa yang terdapat kotoran hidung Wiyana, hal itu selalu saja sukses membuat Wiyana rasanya ingin lenyap dari muka bumi.
"Maaf ... saya tidak bermaksud begitu, tapi karena keadaannya berbeda saya pikir saya akan tempelkan dulu upilnya di samping sofa. Nanti pas pulang akan saya bawa pulang, tapi kejadiannya malah begini." Wiyana hampir menangis, dia sangat malu. Tidak bisa dia jelaskan bagaimana rasa malunya.
"Tapi, kotorannya pasti sudah jadi kerak saat ini. Sudahlah, biarkan orang orang saya saja yang membersihkannya, sebelum pergi minta maaflah. Pada mereka, karena ulahmu itu. Pekerjaan mereka jadi bertambah."
Masih dengan wajah yang ditutup dengan ke dua tangan, Wiyana mengangguk lemah.
Haidar melihat sekitar ruangannya sekali, setelah yakin dia bisa mengontrol diri. Dan, harus kembali ke topik awal. Maka, Haidar lantas menatap Wiyana lagi.
Gadis itu masih saja enggan menunjukkan wajahnya pada Haidar.
"Baiklah, mari kita selesaikan ini dengan cepat. Saya tau kamu malu, tapi. Ingat, pertanyaan saya masih belum kamu jawab. Dan, saya sangat menantikan itu."
Begitu mendengar kalimat itu lolos dari bibir Haidar, Wiyana langsung tahu. Kalau sifat Ken yang selalu ingin pertanyaannya dijawab ternyata benar benar menurun dari Haidar.
Sekarang apa yang harus Wiyana katakan?
***