"Lah, kenapa malah lari?"
Ken, bocah itu mengikuti Wiyana sampai keluar dari gerbang ke dua. Awalnya dia melihat Wiyana dari kejauhan, gadis itu tampak diam dan tak lama setelahnya menjerit tak jelas.
Setelah melihat itu, Ken mengambil satu langkah lagi untuk mendekati Wiyana. Tapi, alih alih mendekat. Ken tak segaja menginjak ranting kering, dan menimbulkan suara. Lalu, hal itu malah membuat Wiyana berlari terbirit birit.
"Kan, aku mau temenin sampai depan." Ken menggeleng melihat Wiyana sudah hilang ditelan gelap, sangkingkan cepat larinya.
Bocah itu mengangkat ke dua bahunya sebagai tanda tidak paham, karena suasana di luar sangat dingin. Ken kembali masuk dan yakin kalau Wiyana pasti akan baik baik saja walau jalanan gelap.
Sampainya Ken di halaman rumahnya yang terang benderang, pintu kaca rumahnya terbuka lebar. Di sana ada papanya yang bersedekap dada, Ken. Memukul keningnya karena lupa menutup pintu terlebih dahulu.
Karena terlalu ingin menemani Wiyana, dia jadi melanggar aturan papanya.
"Kamu tau sudah melanggar satu peraturan?" tanya Haidar, tiba tiba saja suasana di sana berubah menjadi horor setelah Haidar bertanya demikian.
Seperti biasa, ketika Haidar sudah berdiri di hadapannya. Ken hanya bisa menunduk dan meremas ujung bajunya.
"Aku tau, Pa."
"Apa alasan di balik kecerobohan kamu kali ini?"
"Karena aku mau pastikan tante Bodoh tadi sampai ke gerbang depan, dia penakut. Pasti jalanan gelap sampai gerbang utama buat dia ketakutan," ucap Ken apa adanya.
Dia terus saja menyebutkan Wiyana sebagai tante bodoh, padahal Wiyana sudah pernah memperkenalkan dirinya dengan benar pada Ken.
Masalahnya Ken lebih suka menyebut Wiyaan demikian dari pada menyebut gadis itu dengan namanya yang benar.
"Apa, Papa. Peduli dengan itu?" tanya Haidar sarkas, dia menunjukkan dengan jelas. Kalau dirinya sangat tidak suka, jika. Ken begitu peduli pada Wiyana.
"Tapi, aku cuma memastikan aja, Pa."
"Kamu berani sekali membalas ucapan Papa, Ken?"
Mendengar itu sontak saja Ken menutup rapat mulutnya, dia meruntuki dirinya karena sudah terlalu banyak membantah ucapan papanya.
Dan, selama iniĀ dia tidak pernah melakukan itu.
"Apa karena baru mengenal gadis aneh itu, membuat kamu berani untuk menentang papamu sendiri? Hem?"
Ken menggeleng cepat, dia tak ingin Haidar berpikir seperti itu tentang dirinya.
"Enggak, aku nggak berani menentang, Papa!" balas Ken tegas.
"Masuk!" suruh Haidar tegas.
Tanpa mau basa basi atau sekedar mengangkat kepalanya guna melihat Haidar, Ken tak melakukan hal semacam itu. Dia berjalan sambil terus menunduk dalam.
"Jangan lupa lepas perban di tangan kamu, kamu bukan anak manja."
"Iya," jawab Ken tanpa ragu, dia terus berjalan dengan cepat sampai benar benar masuk ke kamarnya.
Selama di perjalanan menuju kamar dia menahan tangisannya, sebab dia tak mungkin menangis ketika ada Haidar di dekatnya.
Dilihatnya telapaknya yang terdapat perban dan juga sebuah emot senyum dari Wiyana, emot itu sangat kecil. Tapi, Ken bisa melihatnya. Padahal telapaknya itu baru saja dijahit siang tadi.
"Aku bukan anak manja, aku nggak butuh perban kayak gini. Aku anak papa Haidar," seru Ken sembari membuka perbannya dengan hati hati.
Ken sedikit meringis kala merasakan sakit di saat dia berusaha membuka perban yang melekat di tangannya, air matanya jatuh menahankan rasa sakit di sana.
"Argggggg," ringis Ken tertahan. Dilihatnya telapaknya itu yang memerah dan jahitannya juga masih basah.
***
"Allard, syukurlah lo dateng tepat waktu."
Wiyana menghela napas lega, kini dia sedang duduk anteng di dalam mobil teman prianya itu.
Dia adalah Allard, pria tinggi dengan profesi sebagai detektif polisi. Dia menjadi teman Wiyana sejak beberapa tahun lalu ketika awal pindah ke kota itu.
"Lo tadi ngapain di sana? Itu rumah siapa? Kenapa napas lo ngos ngosan kayak gitu?" tanya Allard berturut turut tanpa jeda hanya dengan satu tarikan napas.
Wiyana menoleh, dia memutar bola matanya. Karena sedikit kesal pada Allard yang langsung menyerangnya dengan begitu banyak pertanyaan.
"Ceritanya panjang," kilah Wiyana. Untuk saat ini Wiyana tak bisa bercerita banyak pada Allard.
Dia masih sibuk mengatur napasnya.
"Wi, gue nanya!" sungut Allard tak santai, Wiyana mengacak acak rambutnya karena kesal sebab Allard sama saja seperti Haidar.
Mereka memiliki kesamaan yang membuat Wiyana mudah terpancing emosi, Haidar maupun Allard tak akan diam sebelum jawaban mereka dijawab.
"Al, udah gue bilang ceritanya panjang."
"Panjangan mana cerita lo sama kekhawatiran gue? Hah? Lo harusnya mikir, sebelum bikin orang lain khawatir. Lo seenak jidat lo aja pergi dari pagi sampe malem nggak bisa dihubungi," omel Allard tak bisa lagi menahan kekesalannya lebih lama lagi.
Wiyana memijat keningnya, dia tahu Allard khawatir. Tapi, bukankah Wiyana juga butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum menjawab semua pertanyaannya itu.
Lama mereka berdebat perihal Wiyana yang tak mau cerita, pada akhirnya Allard mengalah. Dia diam dan fokus pada jalanan di depan sana.
Wiyana melirik Allard sejenak, dia tahu Allard baik karena mau mengkhawatirkan dirinya. Tapi, Wiyana juga merasa dia butuh waktu untuk bersantai.
"Ngomong ngomong, lo tau dari mana kalau gue ada di sana?"
"Apa yang gue nggak tau? Tugas gue menyelidik. Nggak susah buat melacak keberadaan lo," katanya teramat sombong. Wiyana mencibir karena itu.
"Ya, gue tau lo detektif yang hebat. Tapi, nggak usah sombong juga kali!" pesannya ogah ogahan.
"Suka suka guelah, gue sombong sesuai profesi gue. Bilang aja lo iri karena nggak bisa sombong ke gue, kan? Ya, lah. Lo, kan. Nggak punya profesi," cibir Allard seenak jidatnya.
Wiyana menatap tajam ke depan, sudah biasa. Mereka memang sering saling olok mengolok karena Wiyana sampai detik ini tak juga mendapatkan pekerjaan tetap.
"Santai, dong! Jangan ngejek mulu, gue juga lagi usaha kali."
"Oh!" balas Allard terdengar sangat menyebalkan.
Tak lama setelah perbincangan singkat mereka, ponsel Allard berdering nyaring. Pria itu buru buru mengangkat panggilan yang berasal dari atasannya.
"Hallo, Pak?"
"Apa kamu bisa ke kantor sebentar, ada masalah besar yang terjadi."
Allard diam sejenak, dia menarik napasnya. Setelahnya dia menjawab.
"Tentu, sepuluh menit lagi saya sampai. Saat ini saya sedang ada urusan lain."
"Baiklah!"
Allard memutus sambungan mereka secara sepihak, dia kembali menyimpan ponselnya ke dalam sakunya.
"Kenapa lo? Dipecat? Yahhh, kasian!" ejek gadis di sampingnya itu.
Allard tersenyum tipis, dia menggeleng melihat respon Wiyana yang sepertinya sangat senang kalau dirinya dipecat.
"Seneng lo, gue dipecat?" tanyanya sembari menoleh sejenak.
Wiyana mengangguk, dengan semangat empat lima dia mengatakan.
"Ya, jelas! Gue selalu berdoa supaya lo kena pecat, dan nggak bisa olok olok gue lagi."
***