"Apa? Dia di rumah membawa wanita dewasa asing?"
Dia Haidar cukup terkejut mengetahui putranya membawa wanita asing ke rumah mereka, wajar saja jika reaksi Haidar seperti itu.
Sebab hal semacam itu tak pernah terjadi sebelumnya, lagi pula Haidar tahu Ken bukanlah seorang bocah yang mudah akrab dengan orang baru begitu mudah. Lalu, apa yang Ken lakukan dengan wanita asing dewasa itu pikir Haidar.
"Iya, Pak!" jawab salah satu pelayan rumah yang melaporkan kejadian di rumah besar majikannya itu.
"Apa gadis itu tampak mencurigakan? Atau terlihat seperti orang jahat?"
Haidar ingin memastikan, sebab dia tidak pulang saat ini. Karena beberapa menit lagi ada meeting yang harus dia pimpin, Haidar paling tidak suka mengubah rencana yang sudah dia susun apik dari awal hanya karena Ken.
Atau karena orang lain, sebab bagi Haidar semuanya harus berjalan sesuai rencana. Haidar kerap tak suka kalau apa dia lakukan tak sesuai rencana.
"Maaf, Pak. Sejauh ini dia tampak biasa biasa saja, dan tidak ada yang mencurigakan dari gadis itu. Tapi, Pak. Den Ken...." Pelayan itu menjeda.
Dia melirik Ken dari tempatnya berdiri, dia ada di lantai dua memantau Ken dan Wiyana yang sedang bicara di ruang tamu. Mereka tampak sangat akrab seperti teman lama yang bertemu kembali.
"Ken kenapa?" tanya Haidar cepat, tapi hal itu masih tak menghilangkan sikap santainya.
Sementara Haidar masih santai dan begitu sabar menunggu kelanjutan dari cerita pelayannya, sang pelayan malah gemetaran. Dia menelan ludahnya susah payah, harusnya dia biasa saja. Lagi pula Haidar bukanlah tipe majikan yang kejam dan pemarah.
"Apa kamu hanya akan diam? Saya sibuk, katakan apa yang terjadi dengan Ken!" tambah Haidar, walau memiliki kesabaran yang patut diacungi jempol. Tetap saja menunggu jawaban perihal anaknya akan membuat dia sedikit mendesak.
"Tangan Den Ken terluka, Pak. Katanya mereka baru saja kembali dari rumah sakit," adunya hanya dengan satu tarikan napas.
Pelayan itu menahan napasnya setelah mengatakan hal tersebut, sebab dia sangat gugup menantikan respon dari Haidar.
Satu menit tak ada yang bicara, Haidar juga diam saja. Hal itu semakin membuat sang pelayan ketar ketir, itulah bedanya Haidar.
Diamnya lebih menyeramkan dari pada saat dia marah.
"Baiklah, katakan padanya untuk jangan keluyuran lagi tanpa seorang pengawal pun. Saya akan segera selesaikan pekerjaan di kantor, dan pulang lebih awal. Dan, tahan gadis asing itu untuk tetap di sana. Saya ingin bicara dengannya setelah pulang dari sini," pesan Haidar mutlak.
Setelahnya dia memutuskan sambungan mereka, pelayan itu dibuat terheran heran oleh Haidar itu. Bahkan respon Haidar jauh dari yang sang pelayan bayangkan.
"Astaga, seberapa sabar sebenarnya Pak Haidar ini?" tanyanya sembari menatap telepon rumah itu.
Tanpa mau basa basi lagi, dia pun turun ke lantai dasar. Mendekati Ken dan Wiyana yang kini tampak saling bicara, tapi ketika mereka sadar ada pelayan yang mendekat.
Sontak saja mereka langsung diam seribu bahasa, senyap seperti tak pernah ada yang membuka suara beberapa detik lalu.
"Maaf, Den. Saya diberitahu sama Pak Haidar untuk mengatakan sama, Den Ken. Kalau beliau akan pulang cepat hari ini, dan...." Setelah mengatakan apa yang Haidar pesankan pada Ken.
Pelayan itu lantas melihat ke arah Wiyana, Wiyana yang masih pucat melemparkan senyum ramah. Pelayan itu sontak saja langsung ikut tersenyum dan menundukkan kepalanya sekali.
"Dan apa?" sela Ken.
Diliriknya pelayan yang sudah lama bekerja di rumahnya dengan serius.
Pelayan itu tersadar, dan kemudian kembali menghadap pada Ken. Lantas dia menjawab.
"Dan, Pak Haidar meminta untuk Mbak ini tetap di sini sampai beliau kembali. Sebab pak Haidar ingin bicara dengan, Anda."
Apa yang dikatakan pelayan itu sukses membuat mata Wiyana membesar, dia bahkan menelan ludahnya susah payah.
Lama Wiyana diam dengan mata tak tenang, lantas dia menggeleng cepat. Wiyana bahkan sampai berdiri tanda kalau dia tak setuju untuk lebih lama di sana, apa lagi sampai menunggu Haidar pulang.
"Maaf, tapi. Saya harus pulang sekarang, saya ke sini cuma mau anter Ken. Saya nggak berniat untuk bertemu dengan majikan, Anda," tolak Wiyana halus.
Wajah pelayan itu langsung berkerut mendengar penuturan Wiyana, yang menurutnya sangat terkesan aneh.
"Karna, Anda. Mengantarkan Den Ken pulang, mangkanya pak Haidar ingin bertemu dengan, Anda!"
Walau penasaran, tapi sang pelayan tak punya hak untuk bertanya banyak hal pada tamu Ken.
Wiyana menggeleng lagi, bertemu dengan Haidar sekali setelah dua belas tahun berlalu dalam rentang waktu beberapa menit saja sudah membuat sendi sendinya mati rasa dan jatuh demam.
Lalu, apa jadinya jika nanti Haidar kembali berdiri di hadapannya. Lalu, bicara banyak hal. Tidak, Wiyana tidak mungkin bisa kuat untuk hal itu.
"Ah, saya tidak bisa. Maaf, saya harus kembali sekarang aja. Katakan sama majikan, Anda. Kalau saya terburu buru dan tidak sempat untuk bertemu," kata Wiyana lagi berusaha untuk mencari cari alasan.
Pelayan itu hampir membuka mulutnya lagi untuk melarang Wiyana pergi, tapi terjeda sebab Ken memberikan dia kode dengan pura pura batuk.
Sang pelayan tahu betul dia harus diam ketika Ken sudah memberikan kode itu, maka. Dia pun langsung bungkam, dan pergi dari sana.
Wiyana menarik napas panjang, dia ingin mengambil satu langkah. Tapi, suara Ken sudah lebih dulu menginterupsinya untuk berhenti detik itu juga.
"Tante nggak bisa pergi sebelum ketemu sama papa, aku tau, Tante. Cuma cari cari alasan, wajah Tante tampak panik. Tangan, Tante. Juga saling meremas, mata Tante nggak tenang pada satu titik. Itu adalah ciri ciri orang yang sedang berbohong, kalau boleh tau. Kenapa, Tante. Nolak buat ketemu sama papaku? Ngomong ngomong papaku nggak semenakutkan kayak yang, Tante. Pikirkan," ungkap Ken panjang lebar.
Cukup untuk membuat niat Wiyana pergi langsung hilang begitu saja, Wiyana membuang napas kasar. Dia memejamkan matanya sejenak guna mengontrol dirinya agar tak bertingkah berlebihan.
Perlahan Wiyana berbalik, dia berusaha memberikan senyum pada Ken. Berlagak baik baik saja, padahal jantungnya terpacu cepat. Mengingat dia akan bertemu lagi dengan Haidar.
"Ah, iya. Kenapa aku bisa lupa kalau kamu itu pinter," puji Wiyana sembari tersenyum senyum tak jelas.
Jika, biasanya orang lain senang karena dipuji. Maka, berbeda dengan Ken. Dia tampak biasa saja saat dipuji oleh Wiyana, seperti sebuah pujian itu tidak ada artinya untuk seorang Ken.
"Apa alasannya, Tente?"
Wiyana menutup bibirnya rapat, ternyata Ken bukan bocah biasa. Sebab sekali dia bertanya, maka. Ken akan terus mempertanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sampai dia mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
***