Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 12 - Rumah Sakit

Chapter 12 - Rumah Sakit

"Apa itu sakit?"

Dia Wiyana, menunjuk pada tangan kecil yang baru saja selesai diperban sebab terdapat luka yang cukup dalam di sana.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tadi, darahnya tak berhenti untuk mengucur seperti air yang mengalir dari tempat tinggi ke dataran rendah.

"Enggak lagi sekarang," jawab Ken lugas. Ya, bocah yang duduk di atas brankar rumah sakit itu adalah Ken.

"Kenapa kamu harus tahan pisaunya? Sekarang kamu jadi luka gini, kan?" Wiyana sangat khawatir melihat luka Ken, walau sudah diperban dan dokter bilang Ken tak apa apa.

Tetap saja Wiyana tidak enak pada Ken, karena berusaha menyelamatkan dirinya dari tusukan benda tajam yang berasal dari pemuda SMA sialan itu. Ken jadi terluka, Wiyana masih tak habis pikir bagaimana bisa Ken datang di waktu yang tepat.

"Kalau aku nggak tahan, Tante Bodoh yang bakal kena, kan? Dan, posisi Tante pasti jauh lebih parah," katanya.

Wiyana tahu Ken sakit, siapa yang tidak akan merasa sakit dengan luka yang begitu serius. Tapi, anehnya Ken terlihat datar. Dia tampak biasa saja.

"Apa kamu nggak kesaktian, Ken? Dan, ya. Ngomong ngomong kenapa panggil aku dengan sebutan tante bodoh, sih?"

Pertanyaan dibarengi dengan protesan itu Wiyana berikan pada Ken, Ken yang sejak tadi menatap ke tangan kanannya yang terluka kini melihat pada Wiyana.

"Aku udah sering merasa sakit, Tan. Dan, luka kayak gini nggak bisa bikin aku nangis. Setiap aku nangis aku selalu inget sama papa, papa selalu tegaskan sama aku. Buat nggak nangis, kalau papa tau aku nangis dia bakal pukul aku atau kurung aku di tempat sempit," akunya tanpa ragu.

Wiyana terdiam mendengar penuturan Ken, bagaimana bisa Haidar berbuat seperti itu. Di otaknya hanya berputar pertanyaan pertanyaan yang sama.

"Gue nggak menduga dia sekejam itu," gumamnya masih bisa didengar baik dengan Ken.

Tapi, Ken tak ingin ambil pusing. Dia biarkan Wiyana untuk terus memikirkan apa yang baru saja dirinya katakan, sementara itu Ken melirik jam yang terpasang di dinding ruang rawatnya.

"Tante, boleh aku pinjem hpnya? Aku lupa bawa hp, aku yakin papa pasti lagi panik cari cari aku."

Wiyana yang sejak tadi sibuk berpikir dengan melamun tak jelas, langsung tersentak kaget sebab Ken menyentuh lengannya. Kesadaran Wiyana kembali, dia mengangguk cepat.

Wiyana mengelurkan ponselnya, dia mendelik ketika melihat ada begitu banyak panggilan masuk dari Alea. Tapi, hanya bertahan selama beberapa detik. Sebab Wiyana ingat di sana ada Ken yang ingin meminjam ponselnya.

Tanpa ragu Wiyana memberikan ponselnya pada Ken.

"Sebentar, ya. Tante Bodoh!" katanya lagi masih saja memanggil Wiyana dengan panggilan kesukaannya.

Jemari Ken tampak sangat lihai menari nari di atas layar ponsel Wiyana, dia mengetikkan nomor papanya yang sudah Ken hapal di luar kepala.

Tak lupa Ken menamai kontak Haidar dengan sebutan papa terbaik padahal itu adalah ponselnya Wiyana.

Ken tersenyum tipis mengingat dia akan mendengar suara Haidar, tapi harapannya pupus begitu mendengar suara operator yang menginformasikan kalau ponsel murah Wiyana itu sudah tidak memiliki pulsa.

"Apa hidup, Tante. Melarat?" tanya Ken, terdengar sangat tak enak sebenarnya bagi Wiyana. Tapi, apa boleh buat. Wiyana memang melarat, dengan amat sangat berat hati Wiyana mengangguk.

"Iya, kenapa memangnya?"

"Nggak ada pulsa, nih!" Ken menyodorkan kembali ponsel bercase merah muda itu pada pemiliknya, Wiyana meringis mendengarnya.

Tak lama setelahnya Wiyana menyengir lebar, dia sangat malu ketahuan tak punya pulsa oleh Ken.

"Hehehe, aku lupa beli pulsa. Tapi, memang pulsa nggak penting, sih. Karena bagiku lebih penting makan, lagi pula nggak ada yang mau aku hubungi," kilahnya hanya mencari cari alasan saja.

Wiyana banyak berasalan hanya tak ingin terlihat sangat miskin di depan Ken.

"Ck, aku jadi inget apa yang Tante bilang samaku waktu pertama kali bertemu."

Ken membuang muka, dia sedang menyindir Wiyana itu. Wiyana menggaruk pipinya yang tak gatal, jujur saja diejek oleh anak kecil jauh lebih memalukan dari pada diejek dengan orang dewasa.

"Tente, terus bilang aku anak gelandangan cuma karna aku berdiri di bawah pohon besar. Tante, juga hina hina aku karena nggak pernah naik angkot sama makan ikan goreng...." Ken menjeda, mulutnya terus mengoceh. Dan, dia menarik napas sejenak sebelum kembali menyindir Wiyana sampai puas.

"Aku memang nggak pernah naik angkot, tapi bukan karena hidupku melarat melainkan karena aku cuma dibolehkan naik mobil mewah, aku juga nggak pernah makan ikan goreng gembung, bukan karena aku anak gelandangan. Tapi, karena di rumahku koki kami nggak masak makanan nggak bergizi kayak gitu," tambah bocah sebelas tahun itu panjang lebar.

Rasanya dia sangat puas mencibir Wiyana, keadaan mereka sekarang berbalik. Jika, saat pertama kali bertemu Wiyana yang banyak bicara dan merasa dia kaya.

Kini posisinya terbalik, sebab Ken adalah putra seorang CEO yang memiliki perusahaan raksasa di kota besar itu. Wiyana saja yang tak tahu, sampai kemarin dia tahu siapa Ken itu dan siapa papanya. Wiyana sampai syok hingga berakhir demam tak bisa berkata kata lagi.

"Ya, udah sih! Kenapa nyinyir mulu, sih? Mulut kamu pedes banget perasaan, lebih pedes dari cabe, ya. Masih kecil, loh. Ken!"

Wiyana tampak sangat pasrah dikatai apa pun itu oleh Ken, lagi pula dia bisa bicara apa untuk membalas Ken.

Ken kembali menoleh pada Wiyana, dia mengangguk dua kali.

"Okey, tapi karena sekarang kita nggak bisa hubungi papa. Lebih baik aku langsung pulang aja," usul bocah itu pada Wiyana.

"Kamu kamu pulang sekarang? Tapi, luka kamu gimana?" Wiyana tampak sangat mengkhawatirkan luka Ken itu.

Sementara Ken sendiri tampak santai, dia mengangkat tangan yang sudah diperban dengan santai dan berkata.

"Udah sembuh, kok!" katanya mantap.

Wiyana memajukan bibirnya, dia sedikit menyipitkan matanya melihat dengan seksama luka Ken. Memastikan apa yang Ken katakan benar, tapi sayangnya Wiyana merasa kalau luka Ken masih harus dapat pengawasan oleh dokter.

"Enggak, lukanya masih basah!" tolaknya cepat.

"Ck, apa aku harus jemur, Tan. Supaya lukanya kering?"

Wiyana mendelik, Ken itu sangat berbeda dari bocah kebanyakan. Ken sangat pandai bicara dan membuat Wiyana mati kutu.

"Kamu kalo ngomong suka bikin orang kaget, ya. Belajar dari mana, sih. Ngomong kayak gitu, Hem?" tanyanya berturut turut, sebab Wiyana pikir bahasa Ken sangat tidak pantas untuk bocah seusianya.

"Kenapa memangnya? Aku dibesarkan di lingkungan yang keras, apa yang ada sama diriku adalah apa yang selama ini papa bentuk. Aku kayak gini karena papa yang mau," akunya.

Lihatlah bagaimana Ken sangat terbuka pada Wiyana yang notabenenya orang asing, harus Ken akui. Setiap kali dia mengatakan hal hal yang mengganjal di hatinya pada Wiyana, seakan beban beban itu menghilang.

***