GETAR telepon genggam membuyarkan lamunannya. Sandi meraih gawai yang ditaruh dengan sembarangan di atas jok mobil.
["Aku ada di seberang jalan."] Itu pesan yang tertulis di layar ponselnya.
Dada Sandi beredebar-debar. Laki-laki itu menjulurkan kepala keluar jendela. Dia berusaha mencari sosok yang mungkin saja sangat tidak familiar bagi matanya. Namun untuk hatinya?
Untuk hatinya tentu saja sosok Hana Aura adalah belahan jiwanya, kekasihnya, sekaligus wanita impiannya.
Sandi belum melihat siapa-siapa. Meskipun ia sudah keluar dari mobil. Sambil menunggu, sesekali dia melirik ke kiri dan ke kanan. Namun sejauh ini tak juga ditemukan apa yang dicarinya.
Dengan agak bergegas, Sandi menyeberangi jalan. Ia menuju pool taksi onlen yang ramai dengan hilir mudik para penumpang.
Seorang wanita tua dan seorang gadis kecil, terlihat susah payah keluar dari salah satu taksi yang baru saja berhenti.
Di belakangnya, menyusul lagi sebuah taksi yang berhenti tepat di mana Sandi berdiri menunggu. Lelaki berjaket hitam yang membuka pintu depan, menggenggam gulungan Koran di tangannya.
Seorang gadis yang keluar dari pintu belakang, sibuk menyocokkan barang bawaan. Sepertinya khawatir tertukar dengan yang lain.
Sandi terpana. Matanya tiba-tiba tertuju pada sesosok wanita yang menyeruak dari keramaian. Gaun panjang biru benhur yang dipakainya, dikenakan bertumpuk dengan outer warna senada. Gaun itu berkibar saat kakinya mencecah tanah.
Entah mengapa hati Sandi merasa pasti. Wanita yang sekarang berjalan santai itu pastilah Hana Aura. Penampilan yang begitu menawan, Sandi menyipitkan mata. Wanita cantik itu memiliki postur yang sangat proporsional.
Tak banyak yang bisa dinilai Sandi. Kacamata hitam dan lebar itu nyaris menutupi sebagian wajahnya. Sungglass itu terlihat berkilau saat ditimpa cahaya matahari.
Mata Sandi tidak lagi mencari-cari. Bagai terpukau laki-laki itu terus saja mengikuti setiap gerakan wanita bergaun biru benhur. Selain tas tangan yang tersampir di pundak, sepertinya dia tidak membawa apa-apa lagi.
Tanpa sadar Sandi mengusap peluh yang membersit di dahinya. Rasa gugup menyergap pikiran laki-laki itu. 'Inikah Hana Aura. Sang penulis yang menjadi trending topik di dunia perplatfroman itu?' Sandi terlihat mengira-ngira.
'Berapa lama Hana Aura mengumpulkan tekad dan keberaniannya hingga bisa berkunjung ke kotaku...?' decak Sandi dalam hati.
Kini, jarak antara dirinya dengan wanita itu semakin dekat. Sehingga Sandi bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas lagi.
Walau setengah wajahnya ditutupi kaca mata hitam. Walau dia sama sekali tidak tersenyum. Hana tetap saja terlihat memikat,
Apa yang dilihat Sandi sekarang, hampir tak jauh berbeda dengan yang ada dalam bayangannya selama ini.
Jarak mereka tinggal beberapa meter saja. Tiba-tiba wanita itu tertegun, Sandi pun mendadak kikuk, namun ia berusaha untuk tetap berdiri tegak.
"Mas Sandi?" sapa wanita itu. Walau suaranya nyaris berbisik, Sandi masih dapat mendengarnya.
"Hana." Tanpa terasa Sandi menggenggam kunci kontak mobilnya dengan lebih erat.
Sekarang jarak mereka hanya tinggal tiga langkah saja. Sandi yang mengulurkan tangan lebih dulu. "Apa kabar, Hana?" sapanya dengan ramah.
"Baik," jawab wanita itu singkat.
'Hm, Jadi ini Sandi Lakaran, sang Head Editor platformnya itu?' batin Hana. 'Ternyata sosok aslinya jauh lebih memesona.' Hana tergagap menanggapi penilaiannya sendiri.
Dibiarkannya saja tangannya berlama-lama dalam genggaman lelaki bernama Sandi Lakaran itu. Genggamannya yang kuat dan hangat, telah membuat serukir senyuman terpatri cukup lama di bibir Hana Aura.
Ah, senyum yang lembut. Senyum itulah yang telah menemani malam demi malam Sandi belakangan ini. Sandi membalas senyuman Hana dengan tatapan yang nyaris tak berkedip.
"Bagaimana perjalananmu?" tanya Sandi menahan gebu.
"Lumayan baik," jawab Hana. Sekali lagi ia melengkungkan seulas senyuman di bibirnya.
"Oh, ya. Ayo, silahkan masuk." Sandi mempersilahkan Hana dengan membukakan pintu mobil lebar-lebar.
Hana sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdiri. Wanita di depannya itu hanya tersenyum-senyum dengan cara yang begitu membuat gemas.
"Ada yang salah?" Sandi bertanya sambil kembali menahan gebu.
"Aku hanya ingin meyakinkan diriku," jawabnya.
"Soal Apa?" tanya Sandi sedikit bingung.
"Kalau aku memang sudah bertemu denganmu."
Dug! Jantung Sandi berdegub. Suara yang lembut itu terasa membelai-belai telinganya. Hanya sebentar. Sandi cepat-cepat menguasai dirinya kembali.
"Lantas?" tanyanya.
"Lantas?" Hana mengulangi pertanyaan itu sambil mengedikkan bahu.
"Apa yang kau lihat?" tanya Sandi lagi.
"Hm ...," gumam Hana berlagak pilon.
"Aku mengecewakanmu?" tanya Sandi dengan mimik lucu di wajahnya.
"Tidak!" jawab wanita itu tergelak. "Aku orang yang cepat menyesuaikan diri," sambungnya cepat.
"So …?" Sandi melipat kedua tangannya di dada.
"Tentu saja aku ikut," jawab Hana sambil tertawa.
Dengan setengah membungkuk, dia memberi jalan pada Hana untuk masuk ke dalam mobil. Mulutnya masih dipenuhi senyuman, sampai dia kembali duduk di belakang kemudi.
PUKUL dua belas lewat lima menit, waktu ibu kota.
Dari kejauhan pasir pantai terlihat berkilau diterpa terik matahari. Beraneka ragam model bangunan vila terlihat menghiasi sepanjang mata memandang.
Warna dan design bangunan, sengaja dibuat beraneka ragam. Semua bangunan memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing.
Begitulah cara para pegiat pariwisata menarik minat pelancong dan wisatawan untuk datang berkunjung.
Sandi Lakaran memacu mobilnya dengan santai. Mulutnya menyenandungkan sebuah lagu.
Bukan senandung, hanya gumaman samar-samar. Keceriaan Sandi sedikit demi sedikit mulai melumerkan kecanggungan Hana.
Cara Sandi memperlakukan dirinya. benar-benar mengagumkan. Lelaki itu bersikap seolah-olah ini bukanlah pertemuan pertama mereka.
Hal itu membuat Hana jadi merasa, kalau Sandi adalah bagian dari kehidupan yang sudah begitu lama dikenalnya.
"Lagu apa itu?" tanya Hana sambil melirik lelaki di sampingnya.
Sandi tergelak, "It's Magic, Lagunya, Pilot Band. Memang kenapa?" Laki-laki itu balas bertanya.
"Nggak kenapa-kenapa. Hanya surprise saja, ternyata mas Sandi suka menyanyi juga."Hana Aura membiarkan Sandi bersiul sambil mengedipkan mata
Cara menyanyi Sandi yang kocak membuat Hana jadi ikut-ikutan ketawa. Lihat saja, lelaki itu menyanyi sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tangannya bahkan memukul-mukul stir mobil, layaknya seorang drummer.
"Bila sedang senang, aku suka menyanyi. Tidak perlu bagus. Setidaknya bisa mewakili suasana hatiku yang sedang cerah." Sandi menjelaskan panjang lebar sembari mengerlingkan matanya ke arah Hana.
"Jam berapa dari Jakarta?" tanyanya pada wanita itu.
Hana menoleh mendengar pertanyaan yang ditujukan kepadanya. "Sembilan tiga puluh," jawabnya.
"Untung cuaca hari ini bagus, ya. Kupikir bakalan hujan, karena kemaren hujan nggak berhenti seharian." Sandi membanting stir ke kiri, menghindari seorang pengendara motor yang terlihat ugal-ugalan.
"Pembukaannya jam berapa, Mas?" Pertanyaan Hana seolah ingin mengalihkan.
Sandi pura-pura tak paham. "Besok sore," jawabnya.
"Sudah cek-in?" Lelaki yang penasaran itu, tetap saja bandel bertanya.
Sandi memang ingin tahu semua hal tentang Hana Aura. Tentang perjalanan wanita itu jelang pertemuan mereka.
"Begitu sampai aku cek-in dulu, selesai beres-beres baru ke sini." Akhirnya Hana menjelaskannya juga.
"Pantesan, wangi banget. Ternyata sempat mandi dan dandan juga." Wajah Sandi terlihat berseri-seri saat berkomentar soal penampilan wanita yang duduk di sampingnya itu
Truk yang berada di depan mereka, mendadak menurunkan kecepatan. Sandi menginjak pedal rem sambil mencari posisi agar berjarak dari truk gandeng yang sarat muatan itu.
"Hati-hati!" Hana mengingatkan.
"Siap, Mom." Sandi tergelak. Jawabannya dibalas cibiran oleh Hana. Oh, cinta. Lihatlah bagaimana hati keduanya terasa begitu berbunga-bunga.*
~ Happy reading Beib ~