Chereads / Dendam Rana / Chapter 5 - Bab 5. Sahabat Pengkhianat

Chapter 5 - Bab 5. Sahabat Pengkhianat

Zayn masuk ke garasi sebuah rumah, ia menyimpan motornya di antara deretan mobil-mobil mewah miliknya yang harganya mencapai milyaran rupiah. Beberapa di antaranya bahkan termasuk mobil edisi terbatas. Dia masuk ke dalam rumah melalui sebuah lift yang terdapat di samping garasi, lift itu menuju ruang tengah yang ada di lantai dua.

"Kau sudah datang. Kau sudah melihatnya?" tanya seorang wanita, begitu tahu kedatangan Zayn.

Zayn menghempaskan tubuhnya di sofa, "Iya, aku sudah melihatnya," jawabnya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya wanita itu kembali, ia masih sibuk dengan laptop di depannya.

"Cukup kejam, Adrian bahkan mengelak darah dagingnya sendiri," terang Zayn. Ia lalu meneguk sebuah minuman kaleng yang ada di meja.

"Bukan dia, maksudku tentang Kirana." Wanita itu kini memutar tubuhnya melihat ke arah Zayn sembari melepas kacamatanya.

"Mama yakin akan menggunakannya sebagai bagian dari rencana kita?" Zayn balik bertanya.

"Why not? Kita sudah sepakat, apakah kau berubah pikiran?" balas wanita itu.

Belum sempat Zayn menjawab, ponsel di samping wanita itu berdering, ia lalu menjawab panggilan itu dan berbicara sambil berjalan meninggalkan Zayn.

"Ya, saya Sarita. Bagaimana kelanjutan proyek yang ada di ...." Suaranya menghilang seiring langkah kakinya menuju ke lantas atas.

Zayn membuka ponselnya dan menatap sebuah foto seorang gadis yang sedang termangu sendiri, di tepi pantai yang bercahayakan senja. Itu adalah foto Kirana yang ia ambil tadi sore ketika di pantai.

"Kirana," gumamnya.

Kirana tidak bisa memejamkan matanya, pikirannya masih tertuju kepada Adrian. Ia kini tengah merindukannya, meskipun Adrian begitu kejam padanya tetapi perasaan cinta di hati Kirana tidak hilang begitu saja.

"Adrian kamu kejam, tapi aku sangat mencintaimu. Bagaimana aku mengalihkan perasaan rindu ini?" lirih Kirana, dalam tangisnya.

Adrian terbaring di samping Sintia yang sudah terlelap, berulang kali ia mengusap-usap wajahnya karena merasa kacau. Ia kembali melihat-lihat album foto kenangannya dengan Kirana di ponsel. Beberapa hari ini seharusnya ia menjadi pengantin yang sedang berbahagia, tapi itu tidak dirasakan Adrian. Pikirannya selalu dipenuhi Kirana, apakah kini ia sudah mencintai Kirana? Atau hanya karena perasaan bersalahnya saja?

Tiga anak manusia itu tidak bisa memejamkan matanya karena sedang memikirkan satu sama lain. Kelak, mereka akan terus dihubungkan karena takdir mereka dan ini baru awal dari kisah mereka.

Pagi itu, Hermawan dan Ratih sedang berada di meja makan tengah menikmati sarapan mereka.

"Kirana belum bangun Bu?" tanya Hermawan.

"Belum Pah, biarkan saja lagipula ini masih libur semester," jawab Ratih, yang sedang mengoles-oles roti di tangannya.

"Jangan mengungkit dulu soal kehamilan di depannya!" ujar Hermawan.

"Iya, eh Pah apa sebaiknya kita mengasingkan dulu Kirana ke suatu tempat sampai anaknya lahir?" usul Ratih.

"Kita bahas itu nanti saja Bu, tanya dulu bagaimana maunya Kirana," balas Hermawan.

Ratih menghela napasnya kemudain ia kembali bertanya menanyakan tentang perusahaan, "Pah bagaimana di perusahaan?" tanya Ratih khawatir.

"Ibu tidak usah pikirkan perushaan! Aku akan mengatasinya kita masih punya beberapa saham," jawab Hermawan, mencoba menenangkan istrinya. Padahal ia sendiri merasa cemas dengan kondisi perusahaannya. Bahkan beberpa hari ini pihak bank sudah berkali- kali meneleponnya menagih tunggakan yang jumlahnya tidak sedikit.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Hermawan bergegas pergi ke suatu tempat. Dia bermaksud mengajukan proposal yang akan ia ajukan ke beberapa tempat, ia melakukannya sendiri tanpa menyuruh bawahannya. Jika dia berhasil, tentu ini akan membantu kondisi keuangan perusahaanya.

"Wah sayang sekali, kami baru saja menandatangani kontrak," ucap lelaki di hadapan Hermawan.

Hermawan terlihat kecewa dan menyesal mendengarnya, andai saja ia lebih cepat menawarkan proposal itu mungkin masih ada harapan untuknya.

"Tunggu, ini mengapa mirip sekali dengan poroposal yang baru saja kami tandatangani," ucap lelaki itu sambil membuka-buka lembaran kertas yang tadi disodorkan Hermawan.

"Maksud Anda," tanya Hermawan tidak mengerti.

"Iya, ini bukan saja mirip tapi sama persis dengan milik Pak Ferdian," jelas lelaki itu.

"Apa! Ferdian?" Hermawan terlonjak kaget. Tentu saja sama karena Hermawan menyerahkan salinan perencanaan itu kepada Ferdian.

"Iya."

Hermawan pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan marah. Bagaimana tidak marah, Ferdian melakukan itu tanpa persetujuannya terlebih dahulu dan malah mengklaim sebagai miliknya. Dia segera menuju perusahaannya, akan tetapi saat hendak masuk seorang satpam mencegahnya.

"Maaf Pak, Anda tidak diperbolehkan masuk!" cegah satpam itu.

"Apa katamu? Mengapa saya tidak boleh masuk ke dalam perusahaan saya sendiri?" Hermawan kesal.

"Ini atas perintah Pak Ferdian, maaf saya hanya menjalankan tugas," jawab satpam itu.

"Kamu tidak tahu siapa saya? Saya pemilik perusahaan ini, kamu mau saya pecat?" hardik Hermawan.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Sebuah suara mengalihkan mereka.

"Ferdi, kau sudah keterlaluan! Kau mengajukan proposal rancanganku tanpa persetujuan dariku, dan sekarang kau melarangku masuk ke perusahaanku sendiri," ucap Hermawan, dengan geram.

"Itu dulu, sekarang perusahaan ini sudah bukan milikmu lagi," cetus Julia, yang tiba-tiba datang dengan melipat kedua tangan di dadanya begitu angkuh.

"Apa maksudmu? Kau jangan kurang ajar ya! Setelah apa yang kalian lakukan kepada putriku, apa itu belum cukup?" Hermawan sudah mulai tersulut emosi.

"Dewan direksi sudah menyetujui itu, perusahaanmu beralih menjadi milik kami karena kami adalah pemegang saham terbesar di sini. Kau tahu bukan sekarang kau hanya memiliki beberapa saham kecil yang sama sekali tidak ada artinya, dan kau tidak mampu menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan," cela Julia, dengan lantang. Para karyawan mulai berdatangan ingin menyaksikan keributan itu.

"Itu tidak mungkin, kalian sudah berbuat curang. Aku yang mendirikan perusahaan ini sendiri dengan susah payah, tidak mungkin beralih tangan menjadi milik kalian begitu saja. Kalian ... benar-benar peng ... khia ...."

Hermawan tidak mampu meneruskan kata-katanya, napasnya tersengal-sengal dengan tangan memegang dadanya, pandangannya menjadi kabur. Beberapa detik kemudian tubuhnya ambruk dan tersungkur di lantai.

"Hermawan," seru Ferdian, ia terlihat kaget.

Namun reaksi berbeda di tunjukkan Julia, wanita itu tampak santai tanpa merasa bersalah. Ia kemudian memerintahkan salah satu pegawainya untuk memanggil ambulans.

"Singkirkan dia dan panggilkan ambulans! Menghalangi pemandanganku saja," titahnya. Kemudian ia pergi meninggalkan tempat itu dengan diikuti Ferdian di belakangnya.

Para karyawan yang menyaksikan itu merasa prihatin dengan yang menimpa Hermawan, selama ini Hermawan dikenal sebagai atasan yang baik, bijaksana, dan perhatian kepada bawahannya. Mereka kini tidak bisa membayangkan jika perusahaan itu akan dipimpin oleh manusia selicik Ferdian, apalagi dengan istri macam Julia.

Di sudut ruangan itu, duduk seorang wanita yang sejak tadi menyaksikan adegan itu. Dengan majalah di tangannya sebagai penutup wajahnya.

"Seekor ular meskipun tidak berbisa tetaplah ular!" decaknya.