Chereads / Dendam Rana / Chapter 22 - Bab 22. Tanggung Jawab

Chapter 22 - Bab 22. Tanggung Jawab

Kirana menoleh ke arah Sintia, "Sudah aku bilang, aku dibawa oleh Adrian secara paksa."

"Terserah apa katamu, yang jelas kalian telah pergi berdua dan menghabiskan malam bersama. Aku rasa sekarang sudah cukup bagiku untuk meminjamkan Adrian padamu. Mulai sekarang jangan pernah dekati dia lagi karena dia sudah sah menjadi suamiku, dan sebentar lagi akan menjadi ayah untuk anakku!"

"Ambil saja! Aku juga tidak peduli lagi dengannya dan suruh suamimu itu untuk tidak mengganggu hidupku lagi!" balas Kirana dengan sengit.

Sintia mencoba memaksa senyum dan berkata, "Kau jangan terlalu yakin bahwa dia menginginkanmu, sejak awal kau yang mengejar-ngejarnya bukan? Selain karena kalian dijodohkan, dia sama sekali tidak pernah tertarik padamu dan hanya ingin bermain-main denganmu."

"Apa maksudmu?" tanya Kirana, dia merasa bingung dengan pernyataan Sintia.

"Kirana ... Kirana ... Kamu terlalu naif atau bodoh? Apa kau tidak bisa melihat sikapnya dulu ketika masih bersamamu? Dia selau mementingkan aku di bandingkan dirimu bukan? Bahkan ketika kau menunggunya di hari anniversary kalian yang ke tiga, dia lebih memilih menemuiku dibandingkan harus merayakan anniversary hubungan cinta sepihakmu itu," jelas Sintia.

Melihat Kirana yang tertegun karena ucapannya, Sintia pun melanjutkan, "Sejak kalian dijodohkan, dia selalu mengatakan padaku bahwa pertunangannya itu hanya untuk memuluskan rencana kedua orang tuanya. Untuk mengeruk keuntungan dari keluargamu dan dia tidak pernah mencintai kamu, Kirana!"

Kata-kata Sintia bak petir di siang bolong bagi Kirana. Ternyata sejak awal keluarga Adrian sudah berniat merebut perusahaan ayahnya dan Adrian berperan penting dalam hal ini. Kirana pikir ini hanya sebuah pengkhiantan yang terjadi di akhir, ternyata memang dari awal mereka merancanakan pengkhianatan ini.

'Ayah!' batin Kirana, teringat ayahnya yang menjadi korban manusia-manusia durjana itu.

Melihat roman Kirana yang tampak muram, Sintia semakin senang. Ia menunjukkan sesuatu di jari dan melepasnya, "Kau lihat ini! Ini adalah cincin dengan model yang sama yang Adrian berikan padamu. Dia membelikannya juga untukku bahkan dia mengukirkan insial namaku dan namanya dengan lambang hati di sini," kata Sintia, dengan menunjukakan cincin itu ke dekat Kirana.

Mata Kirana yang sudah berembun melirik ke arah cincin itu. Dia bisa melihat dengan jelas ukiran di cincin itu. Kirana ingat dengan cincin yang diberikan Adrian, tidak ada inisialnya atau ukiran pada cincin yang diberikan Adrian padanya. Hatinya semakin perih!

"Dulu dan sekarang sudah berbeda Sintia, buktinya suamimu sekarang masih menginginkanku." Kini Kirana mencoba memanasi Sintia dengan memaksakan senyum.

"Dan kau percaya padanya? Sudah aku bilang dia hanya sedang bermain-main denganmu dan memang seperti itulah laki-laki. Tapi tetap saja di hatinya hanya ada aku seorang dan akan selalu kembali padaku," kata Sintia dengan percaya diri.

"Jika dia memang mencintaimu, seharusnya dia berhenti bermain-main lagi denganku! Karena aku sudah bosan membuatnya mengerang di atasku seperti yang dilakukan Adrian kemarin malam. Oh dia sangat ganas, seolah dia tidak melakukan itu selama bertahun-tahun," tukas Kirana.

Kata-kata yang baru diucapkan Kirana begitu telak dan menohok Sintia, raut wajahnya berubah menjadi merah padam.

Setelah puas menyaksikan ekspresi Sintia, Kirana pergi meninggalkan wanita itu dengan menaiki angkutan umum. Di sana Kirana menumpahkan air matanya yang coba dia tahan sejak berhadapan dengan Sintia.

Kirana duduk bersimpuh dan mengusap nisan ayahnya. "Auah, kita telah ditipu sejak awal, mereka sudah merencanakan kehancuran bagi kita. Benar-benar tidak punya hati," ucap Kirana, air matanya tak berhenti mengalir.

Setelah beberapa saat, tangisnya mereda ia mengecup nisan milik ayahnya, kemudian berdiri dan berkata, "Aku pergi dulu. Kau jangan khawatir, aku pasti bisa melewati ini! Sekarang aku akan melihat ibu."

Adrian terburu-buru memacu mobilnya menuju tempat Kirana bekerja, dia tidak ingin terlambat untuk menemui Kirana. Entah berapa kali panggilan telponnya tidak dihiraukan Kirana, bahkan wanita itu telah memblokir nomornya. Akan tetapi dia tidak menemukan Kirana berada di halte tempat kemarin ketika menemuinya. Hanya tampak Nita dan Septi. Adrian memutuskan bertanya pada kedua wanita itu, "Di mana Kirana? Kalian tidak bersamanya?"

Septi menggelang dan menjawab, "Dia hari ini katanya dipecat oleh Pak Riko."

"Di Pecat?" tanya Adrian sedikit tersentak, tetapi dia senang mendengar itu setidaknya Riko tidak akan menjadi ancaman bagi Kirana. Tapi di mana dia bisa menemukan Kirana, dia sama sekali tidak mengetahui di mana Kirana tinggal sekarang.

"Apa kalian tahu di mana Kirana tinggal?" tanya Adrian kembali.

"Kami tidak tahu," jawab Nita.

"Baiklah terima kasih," pungkas Adrian. Setelah berpikir sesaat, dia mendapatkan petunjuk ke mana harus mencari Kirana.

Adrian masuk ke lobi gedung dan bertanya pada salah satu karyawan di sana, dan itu adalah Widia, "Boleh saya bertanya sesuatu?"

"Iya, ada apa Pak?"

"Bolehkah saya meminta alamat salah satu office girl yang kemarin sempat bekerja di sini, namanya Kirana?" Adrian meminta dengan penuh harap.

"Ada apa Anda bertanya tentang Kirana?" tanya Riko, yang tiba-tiba sudah berada di belakang Adrian.

Adrian terkejut dengan kedatangan Riko. Karena Riko tidak tahu hubungannya dengan Kirana, dia bingung untuk menjawab pertanyaan Riko. Melihat masih ada Widia di sana, Riko menyuruh Widia untuk pergi, dan Widia mematuhi atasannya itu.

"Apa kau tertarik dengan office girl itu?" tanya Riko kembali penuh selidik.

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya," jawab Adrian, "Ini masalah pribadi."

"Bekas pegawaiku itu ternyata memang sangat menarik bukan? Aku menyesal juga telah memecatnya tadi pagi," kata Riko. Bukan hanya itu dia pun kehilangan akal ketika bersamanya di lift tadi pagi.

"Dia mantan tunanganku!" ucap Adrian, jujur.

Riko yang mendengar pengakuan jujur Adrian cukup terkejut, tapi itu hanya sesat. Pantas saja waktu itu Kirana terkejut, hingga menjatuhkan nampan saat bertemu dengan Adrian, pikirnya.

Riki melipat kedua tangan di dadanya dan berkata, "Ow ini menarik! Tapi kau sudah menikah Pak Adrian, jadi untuk apa mencarinya lagi?"

"Karena dia sedang mengandung anakku!" ungkap Adrian. Dia sengaja seolah tidak ingin memberi kesempatan kepada Riko untuk mendekati Kirana.

Kali ini Riko benar-benar terkejut dengan pengakuan Adrian, wanita yang sudah menarik hatinya itu ternyata sedang hamil oleh laki-laki yang sudah beristri.

"Ternyata Anda pemain juga rupanya, aku penasaran apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Maaf Pak Riko, tapi ini akan menjadi urusan pribadiku dengan Kirana. Aku tidak bisa menghubunginya sekarang, jadi aku kemari ingin meminta alamat di mana dia tinggal sekarang."

Riko bisa menduga jika saat ini Kirana sedang menghindari Adrian, jadi dia memutuskan untuk tidak mengabulkan permintaan Adrian.

"Jika begitu, maaf juga aku tidak bisa membantumu, Pak Adrian," tolak Riko.

"Pak Riko tolonglah! Saya harus menemuinya sekarang, ini demi anak dalam kandungannya," Adrian memohon.

"Kau peduli terhadap Kirana atau anak yang di kandungnya?" tanya Riko. "Jawaban Anda akan menentukan keputusanku untuk memberitahukan alamat rumahnya atau tidak."

Ini jawaban yang mudah bagi Adrian, tapi dia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Riko jika dia menjawab dengan jujur.

Setelah menghela napas berat, Adrian menjawab, "Demi anak yang di kandungnnya!"

Setengah tersenyum Riko berkata, "Anda memang bukan pasangan yang baik, tapi setidaknya kau tidak menjadi seorang ayah yang pengecut."

Mendengar itu Adrian merasa tertampar dan merasa malu dengan dirinya sendiri. Seandainya Riko tahu betapa pengecutnya dia, yang pernah tidak mengakui anak yang dikandung Kirana.

Namun, Adrian dibuat tercengang dengan kata-kata yang diucapkan Riko selanjutnya.

"Kau bisa bertanggung jawab dengan anaknya dan aku yang akan bertanggung jawab atas Kirana!"