Chereads / The wound in my heart / Chapter 13 - Pilih aku atau dia

Chapter 13 - Pilih aku atau dia

Bab 13.

Malam semakin larut, tetapi mataku sulit terpejam. Tak lama pintu di ketuk lagi. Kali ini terdengar suara Mamanya Rani memanggil namaku. Ada rasa ragu untuk membukakan pintu, tapi aku ingin tau ada maksud apa ia memanggil. Dengan berat hati aku berjalan ke arah pintu, kemudian membukanya.

"Ada apa Bu?" tanyaku.

"Nay ... maaf, boleh Ibu masuk? Ibu ingin jelaskan sedikit." sambil berkata si Ibu mengekor di belakangku.

"Sebenarnya Ibu gak ingin ikut campur, tapi ibu gak mau ada salah paham antara kamu dan Beni."

Aku duduk di pinggiran tempat tidur, di susul oleh Bang Ben dan Mamanya Rani. Sedangkan anak-anak sudah terlelap dalam tidurnya. Syukurnya mereka tak mendengar ketukan berulang kali di pintu.

"Ibu dari tadi di kamar Rani kok, di sana juga ada Beni, mereka hanya ngobrol biasa. Pintu kamar tadinya terbuka, karena ada ac jadi Ibu suruh tutup aja. Tak lama Ibu pun keluar karena hendak tidur di kamar sebelah, cucu yang kecil itu sedang rewel," jelasnya panjang lebar.

"Sudah bicaranya, Bu?!"

"Gak perlu Ibu susah payah kesini untuk menjelaskannya. Aku sudah lihat sendiri kok. Gak perlu Ibu tutupi lagi hubungan mereka," tuduhku.

Mamanya Rani gugup, ia terdiam bingung hendak bicara apa lagi. Dengan rasa malu ia pamit keluar meninggalkan aku dan Bang Ben. Ku tatap tajam ke arahnya, Ia menunduk dan menyembunyikan wajah di balik punggung tangannya sambil menjambak rambut sendiri..

"Percuma menyakinkan aku, setelah apa yang ku lihat tadi. Kalian tak bisa menutupi dan membela diri lagi."

Setelah menutup pintu, ku bereskan semua barang dan memasukkannya ke dalam tas. Bang Ben coba meraih tanganku, tetapi ku tepiskan

"Kita pulang malam ini juga!" Pintaku.

"Nay ... ini sudah larut malam. Besok saja kita pulang, ya," bujuknya.

"Ini maksud kamu ngajak berlibur ke sini, biar bisa berduaan, bermesraan dengan dia. Atau ini hanya akal-akalan kalian saja, pura-pura menjadi saudara angkat, agar bebas berhubungan seperti dulu lagi," tuduhku dengan mata yang mulai menghangat.

"Nay ... gak ada niat seperti itu," ucapnya membela diri.

"Gak ada niat, kamu bilang? Jelas tadi alasan kamu ingin mancing di pondok sana, kok malah ada di kamar?"

"Kalian pikir aku buta? atau batu yang tak punya hati? Ingat ... hukum karma itu akan segera datang, gak tunggu nanti!"

Aku keluar dari kamar, berjalan menuju pondok terapung. Hancur rasanya hati ini, percuma saja, selama ini aku turuti semua keinginannya. Demi patuh terhadapnya, sampai aku di cap sebagai anak durhaka oleh keluarga. Mereka menjalin hubungan di belakangku. Hati seorang istri tak akan bisa di bohongi.

Dari kejauhan. terlihat Bang Ben berjalan ke arah tempatku duduk. Karena terlalu sakit hati, hingga rasa takut pun hilang. Padahal sudah tengah malam. Yang terdengar hanya deburan ombak yang menghempas ke pinggiran danau. Pantulan cahaya lampu dari gedung hotel, masih bisa menerangi pondok terapung ini. Sayup terdengar suara Bang Ben memanggil namaku. Wajahnya penuh ketegangan dan rasa khawatir.

******

Bang Ben mendekat lalu meraih tanganku. Ia berjongkok sambil memegang kaki ini. Aku sedikit heran dengan sikapnya. Apa yang di telah di lakukan nya, sampai ia berlutut seperti ini, pikirku. Seorang Beni yang tak pernah peduli dengan orang lain, kini bersimpuh di kakiku. Setega ini ia memperlakukan aku. Belum pernah sekali pun aku membantahnya. Tapi apa balasan yang ia berikan padaku.

"Nay ... maafin Abang, sudah banyak buat salah ke kamu. Abang nyesal seumur hidup melakukannya."

"Apa yang kamu lakukan, Bang? Jawab jujur!" Bentakku.

"Aku telah melakukannya, Nay! Aku yang memulainya, dan ia memberi respon. Maaf kan aku ... ampuni aku, Nay," ucapnya sambil mengguncang tubuhku.

Tiba-tiba ia mencium kakiku, sambil terisak. Ketakutanku selama ini pun terbukti. Seorang Bang Ben yang kasar, egois, yang bertindak semau hati, tanpa peduli dengan orang lain. Sekarang menangis  sambil berlutut memohon ampun padaku. Angin dingin menusuk ke tubuh seolah mewakili hatiku yang tertusuk sembilu. 

Ibuuu .... 

Aku butuh hadirmu, ke mana lara ini

akan ku bawa. Lelaki tempatku bersandar, telah mengkhianatiku. Ini dosa ku terhadap mu. Maaf kan aku, Ibuuuu ... jerit hatiku.

"Sekarang pilih aku atau dia?" ucapku sambil berdiri di pinggiran danau.

Tak peduli lagi, kapan dan di mana ia melakukan nya. Sumpah ... seketika hati ku merasa kosong. Aku sudah berada di pinggiran danau, sejurus kemudian tubuh ini mulai oleng, rasanya akan jatuh ke dasar danau. Tetapi ... tangan kekar itu langsung menyambar tubuhku.

"Nay ... jangan lakukan ini! Jangan berbuat konyol, ingat anak-anak!" Bang Ben menarik aku ke dalam pelukannya.

"Aku hanya punya kamu dan anak-anak. Aku mencintai kalian!" Bang Ben terisak, tapi aku tak bergeming sedikit pun.

"Lepaskan ... kenapa harus aku yang di suruh ingat anak-anak? Kenapa bukan kamu? Aku capek harus di suruh ngertian terus." Ia melepaskan pelukannya. aku pun berlari masuk ke kamar hotel. Aku tak mau, anak-anak sampai tahu kejadian malam ini. Sesampainya di kamar, aku langsung naik ke atas ranjang. Lelah menghadapi ini semua.

"Malam ini, kamu tidur di bawah saja!" Pintaku sambil memberinya selimut tebal. Aku tak lagi menuturnya dengan panggilan "Abang." Aku benci dengannya. Ia menipuku terang-terangan.

******

Efek tidur hampir pagi, bangun pun kesiangan. Salat Subuh terlewatkan. Aku lalu bangun, langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu keluar dari kamar mandi, Bang Ben dan anak-anak sudah bangun. Aku lalu menanak nasi serta menyiapkan mi seduh yang kami bawa kemarin. Untung masih ada sisa saos semalam, lumayanlah untuk menambah selera makan.

Sebenarnya perutku tak begitu tahan, makan dengan mi seduh ini, karena lambung ku bermasalah. Maka nya aku campur dengan sedikit nasi panas. Aku lebih banyak diam, hanya bicara kalau perlu saja dengan anak-anak. Kepala ku terasa pusing, badan terasa hangat. Semalaman aku tak bisa tidur, masih teringat kejadian tadi malam.

"Bu ... kita jadi pulang pagi ini, ya?" tanya si sulung Sinta.

"Iya ... bantu Ibu beberes ya," sahutku.

Bang Ben berjalan keluar kamar, menjumpai abangnya Rani. Ia memberitahu, kalau pagi ini, kami akan pulang. Kalau mereka masih ingin lama di sini, kami akan pulang naik bus saja. Ia santai saja mendengar alasan Bang Ben. Tetapi semua tergantung ibunya, karena ia yang menentukan pulang hari ini atau tidak. Banyak ku lihat bus besar, lewat di depan hotel ini. Setelah berunding, Mamanya Rani yang memberi keputusan. Ia setuju, pagi ini pulang bersama kami. Karena perginya sama, jadi pulangnya pun harus bersama, ucapnya.

Mungkin mereka tahu, apa yang terjadi dengan kami. Ingin membela diri pun percuma, pikirnya. Karena aku melihat langsung kecurangan mereka. Setelah membereskan semua barang bawaan, kami pun chek-out dari hotel. Aku dan anak-anak masuk ke dalam mobil. Masih dengan posisi duduk yang kemarin. Bang Ben masuk ke mobil, lalu memegang kemudi. Abangnya Rani diam saja. Ternyata ia tak mau capek. Padahal kemarin, janjinya menyetir mobil secara bergantian.

Kami semua saling diam, hanya Mamanya yang sesekali bertanya. Aku menjawab sekenanya saja. Ku lihat Rani santai saja, seperti tak ada kejadian. Ia dan adiknya sibuk memainkan hape. Sepertinya keluarga mereka ini jarang komunikasi satu dengan yang lainnya. Sibuk aja dengan urusan sendiri.

"Bu ... minum!" Raka terbatuk sambil merengek minta minum. Ia terhirup  asap rokok nya Rani.

"Sebentar, Sayang! Ibu buka tas dulu, untuk ambil minum."

"Sinta ... minum kan air ini, ke Raka ya! Biar tak tumpah di baju nya,"  

Mamanya Rani terlihat kesal dengan anak nya. Ia mengomel panjang lebar, tapi si Rani santai saja. Hmm ... dasar wanita tak beres, pikirku. Sedangkan Bang Ben melirik aku dari kaca spion di depannya. Cukup lah terakhir ini aku mengenal mereka. Aku tak ingin mereka datang lagi ke rumahku. Berharap bisa menjadi saudara angkat, ternyata salah besar. Mereka memanfaatkan situasi, sering meminta bantuan, kadang sering meminjam uang juga pada Bang Ben.

Bersambung ....