Chereads / The wound in my heart / Chapter 2 - Bertemu Ibu

Chapter 2 - Bertemu Ibu

Bab 2.

Setahun lamanya Ibu dan Ivan tinggal di rumahku. Tapi kondisi Ibu semakin memburuk. Awalnya masih bisa jalan, lama kelamaan harus di papah. Pernah sekali Ibu berjalan tanpa bantuanku, saat hendak buang air. Tiba-tiba ia tersungkur terduduk lemas di lantai. Langsung ku topang tubuhnya untuk berdiri. Ku papah menuju kamar mandi sambil memberikan tongkat yang sudah di belikan oleh adikku.

Ternyata Ibu sering mendengar aku bertengkar dengan Bang Beni. Jadi beban di pikirannya. Itu lah pemicu mengapa Ibu jatuh sakit lalu strock. Beliau hanya mau makan, kalau adikku yang memberinya. Sedangkan Ivan sedang giat menabung untuk biaya pernikahannya. Melihat kondisi Ibuku semakin parah, Bang Beni berkata padaku.

"Suruh adikmu cari rumah kontrakan! Sudah banyak itu tabungannya selama menumpang di sini. Nanti mati pula Ibu mu di sini, jadi kerjaan aku," ucapnya dengan kasar.

Ya Allah, seberapa lah cuma makan Ibuku. Sedang kan adikku menanggung biaya makan sendiri. Agar tak membebani aku.

"Adikmu kan hendak menikah, berarti sudah banyak uangnya. Jadi tunggu apalagi, segera suruh cari kontrakan! Nanti kalau dia sudah menikah, bakalan di tinggalkannya Ibumu di rumah ini. Aku tak mau menanggung itu semua," bentak nya.

Berkali-kali itu saja ucapan Bang Beni padaku. Membuat ku muak dengan sikap kasarnya. Kadang aku menyumpahinya dalam hati. Ternyata Ibu yang sedang rebahan di kamar, mendengar semua ucapan Bang Beni. Lalu beliau memberitahukannya pada Ivan. Sebulan lamanya aku dan Ivan tak bertegur sapa, padahal masih tinggal satu rumah. Setelah mendapatkan kontrakan, Ibu dan Ivan pun pindah dari rumahku.

*******

Sejak ibu pergi, hancur rasanya hatiku. Setiap hendak tidur aku menangis teringat dengan kondisi ibu yang sedang strock. Ya Allah, betapa durhakanya diriku yang telah menelantarkan Ibu. Setiap salat selalu ku panjatkan doa untuk beliau. Karena Ibu sendiri di kontrakan, adikku membayar pengasuh untuk merawatnya.

Hingga Ivan menikah pun aku tak juga tegur sapa dengannya. Aku tahu ia pesta dari sepupuku. Mereka menelfonku, kenapa tak nampak di pesta adikku. Jelas lah, aku kan tak di undang. Mereka bilang, adikku menangis di atas pelamin, ketika di ingatkan tentang aku yang tak hadir di sana. Memang sudah jalanNya, harus di jalani semua ini. Apapun yang terjadi pasti atas kehendakNya.

Tiga tahun lamanya aku tak tegur sapa. Ibu pun semakin parah sakitnya. Bicara sudah tak lancar lagi, penglihatannya pun semakin kabur. Sejak punya menantu, aku kira Ibu semakin bahagia. Nyata nya tidak, mereka sering cekcok hanya karena masalah sepele. Sekarang adikku baru merasakan, gimana dulu posisinya seperti aku. Yang harus mendengarkan kata Ibu atau istrinya.

Dery adikku yang bungsu, sering menelfon diam-diam tanpa tahu Bang Beni. Dari dia lah aku selalu tahu kabar Ibu. Setiap bulan ku suruh ia ke rumah, untuk ambil sembako, agar di bawanya ke rumah Ibu. Setiap menerima kiriman dari aku, Ibu selalu nangis berlinang air mata. Ia rindu dengan anak dan cucunya. Menantu Ibu pernah menyarankan untuk menelfon aku, tapi Ivan melarang. Karena masih sakit hati dengan Bang Beni.

Karena sering di bujuk oleh istrinya, hati Ivan mulai luluh. "Bagaimana pun tak ada bekas saudara kandung dan anak kandung. Yang ada bekas istri atau bekas ipar," itu yang di ucapkan Dwi ke Ivan.

*******

Hingga suatu hari menantu Ibu menelfon aku. Ia hendak mengadakan syukuran, acara ulang tahun anaknya yang pertama.

Kami sekeluarga di undangnya untuk datang. Tapi acara di adakan di rumah orangtuanya. Bukan di rumah Ibu. Ku sampaikan kabar ini ke Bang Beni. Awalnya ia diam saja, begitu tiba harinya, kami pun sekeluarga pergi ke acara syukuran itu. Alhamdulillah ... rasa bahagia tak terkira, kami pun berbaikan lagi dengan adikku. Semua ini karena inisiatif adik ipar dan ibunya yang menyarankan untuk memberi kabar ke kami.

Seminggu kemudian aku dan anak-anak menjenguk Ibu ke rumahnya. Setelah mencari alamatnya, kami pun tiba di depan rumah kontrakan yang berjejer tiga pintu. Aku bingung, tak tahu rumahnya yang sebelah mana. Anak sulungku melihat ada pintu rumah yang terbuka. Dan Ia pun berseru.

"Ibu! Itu nenek kan?" ucap Sinta putri sulungku. Ia menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Aku menoleh ke arah yang di tunjuknya. 

"Oh iya, bener!" Kami pun langsung menghampirinya dan mengucapkan salam. Terlihat Ibuku menoleh dan menjawab salam kami.

"Ibuuuu ...!" Aku langsung memeluk dan  mencium tangannya. 

"Nayla ... Kau itu Nak?" beliau mengenal suaraku. Sedang kan matanya sudah kabur, tak jelas melihat orang.

Dari dapur keluar seorang wanita, ternyata ia yang merawat Ibu. Beliau mengatakan Kalau Ibu sudah tahu kalau aku hendak datang bersama anak-anak. Karena kemaren aku telah memberi kabar ke Ivan. Ibu minta di mandi kan, lalu di pakaikan baju daster yang baru di beli adikku. Pantesan beliau sudah duduk dan menunggu di depan pintu, sebelum kami datang.

Aku bawakan sembako dan cemilan ke sukaan ibu. Betapa senang hati beliau, mendengar ceritaku dan  canda tawa anak-anak ini.

"Bu, maaf kan Nayla ya. Baru sempat menjenguk ke sini," ucapku lirih.

"Tak apa, Ibu mengerti kok. Yang penting kalian sehat sekeluarga," ucapnya sambil terbata-bata. Lalu ibu bertanya, 

"Mengapa Beni tak ikut ke sini?

"Ia sedang sibuk," jawabku sekenanya. Di izinkan Bang Beni menjenguk Ibu, aku sudah bersyukur sekali, batinku.

Sedangkan Ivan dan istrinya, langsung menghampiriku dan bersalaman. Ku peluk mereka berdua. Hilang lah semua rasa benci dan marah  di antara kami. Mereka memasak makanan kesukaan aku dan Ibu. Ketika hendak makan, ada suara ketukan pintu dari luar. Ternyata yang datang adalah besan Ibu. Ivan dan istrinya yang mengundang mereka untuk datang. 

Hati ini terasa mengharu biru, kami pun saling bersalaman dan berkenalan.

Ya Allah, ternyata Engkau mengijabah semua doa-doaku. Aku berharap di sisa umur Ibu, walau pun tak bisa memberikan harta, setidaknya aku bisa melihatnya lagi dan membahagiakan hatinya. Ternyata selama ini, Ivan sering di nasihati oleh mertuanya. Bersaudara itu biasa sering terjadi selisih faham. Tetapi tak baik saling bermusuhan dalam jangka waktu lama. Apalagi masih ada orangtua. Pasti itu melukai hati Ibu kalian. Itu yang di jelaskan mertua Ivan, saat kami sedang duduk di ruang tamu.

Ternyata Ivan meneteskan air mata saat pernikahan dan resepsinya, karena aku dan keluarga tak datang menghadiri undangan tersebut. Hendak bagaimana lagi, semua sudah terjadi, aku tertekan dengan aturan yang di buat oleh Bang Ben, tapi tak berani membantahnya. Lebih memikirkan mental anak-anak, tak baik ribut terus. Selama ini mereka sering melihat kami bertengkar hebat. Aku tak mau itu terulang lagi, sebisa mungkin aku mengalah demi ketiga anak ini.

Bersambung ....