Chereads / The wound in my heart / Chapter 5 - Kirim doa untuk Ibu

Chapter 5 - Kirim doa untuk Ibu

Bab 5.

Selepas kepergian Ibu, aku mengadakan tahlilan selama tiga hari berturut-turut. Pengajian di ada kan di Musala depan rumahku. Sedangkan Ivan, mencetak buku yasin untuk di beri kan pada anggota pengajian. Sebagai sedekah, di niat kan pahalanya untuk Ibu yang telah tiada.

Bang Beni bingung melihatku, kok pulang dari pasar bawa belanjaan banyak sekali.

"Dapat uang dari mana? Kenapa belanjaamu banyak sekali?" selidiknya.

"Uang sumbangan dari pengajian. Aku belanja banyak, karena hendak masak nasi berkat, untuk di bagikan ke tetangga dan anggota pengajian," jelasku panjang lebar. 

"Ngaji di Musala sana, jangan di rumah ini!" protesnya.

"Emang iya," jawabku tak mau kalah.

"Halah ... ngapain repot. Kirim doa saja sudah cukup." protesnya.

Aku lebih memilih diam, tak menjawab lagi. Cari aman saja, dari pada di buangnya semua belanjaanku ini, pikirku.

Hari ini tahlilan yang ketiga, biasanya keluarga ahli bait akan membagikan bungkusan berisi makanan, pada anggota pengajian. Sebagai ucapan terima kasih karena telah mendoakan almarhumah. Aku pun melakukan tradisi itu, sebagai bentuk rasa sayangku pada Ibu.

Aku juga mengundang Ustad di pengajian kali ini. Rasanya butuh siraman rohani, sebagai penyejuk hati. Apalagi hati ini masih bersedih karena kepergian Ibu. Aku mengerjakan semuanya sendiri. Masak yang sederhana saja, yang penting niatnya ikhlas untuk ibadah dan mencari pahala.

******

Menjelang siang hari, baru selesai semua masakanku, tinggal membungkus dan memasukkan makanan, ke dalam kotak nasi. Tak lama terdengar ketukan pintu dari luar. Gegas aku keluar melihat siapa yang datang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ternyata adik iparku, (istrinya Ivan) datang berdua, dengan sodaranya. Mereka menenteng kotak di tangannya. Setelah bersalaman, ku persilakan mereka masuk dan duduk di ruang tamu.

"Kak, ini ada kue titipan dari ibuku, untuk tambahan makanan, saat pengajian nanti," ucapnya, sambil menyodorkan kotak yang di bawanya tadi.

"Alhamdulillah, terima kasih dik. Ayok makan dulu, kakak sudah selesai masak ini. Setelah makan, baru kita sambung ngobrolnya lagi," pintaku.

Aku pun menghidangkan makanan untuk mereka. Setelah selesai, kami pun langsung membungkus nasi dan kue, untuk di bawa ke Musala. Karena sebentar lagi pengajian akan di gelar. Tepat jam dua siang pengajian pun di mulai. Hatiku tersentuh dengan isi tausiah Ustad Yusuf, beliau adalah Ustad favoriteku.

"Andai kamu belum bisa membahagiakan Ibu semasa hidupnya, doa kan lah ia di setiap salatmu. Hanya doa anak yang soleh yang sampai padanya. Apabila engkau mempunyai harta, sedekah kan lah atas namanya. Insha Allah pahalanya sampai pada Ibumu."

Hmm ... aku tertegun mendengar ucapan Pak Ustad, yang duduk di depanku. Hanya doa di setiap salat yang bisa ku berikan untuk Ibu. Sedang kan  harta aku belum punya, batinku.

Selesai pengajian di lanjutkan dengan salat Asar berjamaah. Ketika hendak pulang, aku membagikan bungkusan dan buku yasin pada semua anggota pengajian. Sebagai ucapan terima kasihku pada mereka. Untuk Pak Ustad ku berikan bungkusan dan sebuah amplop. Awalnya ia menolak amplop yang ku berikan. Setelah ku jelaskan niat pahalanya untuk Ibu, baru lah ia menerimanya.

"Alhamdulillah, semoga berkah," ucapnya.

"Aaamiinn."

******

Lega rasanya hati ini, telah sampai niatku untuk mendoakan ibu bersama teman-teman pengajian. Alhamdulillah, hampir semua anggota pengajian datang untuk mengirimkan doa buat Ibu. Aku mengucapkan banyak terima kasih juga pada adik ipar dan keluarganya.

Sudah banyak membantu mulai dari mengurus jenazah Ibu hingga sampai tahlilan hari ketiga. Lebih baik bersaudara dengan orang lain. Dari pada dengan saudara sendiri. Karena dengan saudara sendiri malah mereka tak peduli seolah takut di susah kan. Mentang hidup mereka lebih mapan dari pada aku. Kadang pepatah itu ada benarnya juga ya.

Pulang dari Musala, ku lihat Bang Beni duduk di ruang tamu. Hari ini ia tak pergi kerja, alasannya karena tak enak badan.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam." jawabnya, tanpa menoleh.

Sepertinya ia sedang fokus menonton tivi.

Aku ikutan duduk juga di sebelahnya melepas lelah. Tak lama ia pun membuka suara.

"Oh iya, katanya keluargamu yang orang kaya itu, tak datang saat takziah Ibu ya? tanya Bang Beni.

"Iya! sama saja dengan keluargamu, jangan kan datang, bertanya atau mengucapkan lewat nelfon pun enggak, pada kami," jawabku tegas.

Bang Beni terdiam, pura-pura tak dengar dengan penjelasan ku. Biasa lah manusia, saat punya waktu lapang, tak mau mengunjungi saudara, batinku.

"Banyak dapat sumbangan dari pengajian?" selidiknya.

"Tak banyak, sudah di pakai semua uangnya untuk belanja tadi pagi," ucapku ketus. Ia pun terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Tak lama terdengar suara orang mengucapkan salam dari luar. Setelah ku buka, ternyata ada tiga orang tetangga yang tak datang ke pengajian tadi. Ku ajak duduk di teras rumah saja, malas masuk ke dalam. Soalnya Bang Beni suka julid, kalau ada temanku yang bertamu.

Mereka datang hanya sebentar, ingin mengucapkan turut berduka cita atas berpulangnya Ibuku. Ketika hendak berpamitan, mereka menyelipkan amplop ke tanganku. "Alhamdulillah, terima kasih. Semoga di tambah rezeki kalian ya," ucapku. Dan mereka pun berpamitan.

Aku pun masuk kembali dan menutup pintu.

"Mau ngapain mereka datang?" nah benarkan Bang Beni kumat keponya, batinku.

"Mereka mengucapkan turut berduka cita, dan memberi sedikit rezekinya padaku. Niatnya isi amplop ini akan aku infak kan ke Masjid atas nama Ibu." Bang Beni terdiam mendengar ucapanku.

******

Keesokan harinya, tumben Bang Beni sebelum berangkat kerja. mengantar si sulung dulu sampai ke sekolahnya. Padahal selama ini tak pernah. Sinta pergi dan pulang sekolah selalu naik angkot. Tapi tak apalah hemat ongkos, pikirku. Kadang Sinta merasa sedih, karena hampir semua temannya di antar jemput. Ingin seperti mereka, ucapnya padaku. Karena sekolahnya ini lumayan jauh. Hampir satu jam kalau naik angkot. Tapi aku selalu mengajar kan ia supaya mandiri dari kecil. Semakin jauh melangkah untuk menuntut ilmu, semakin besar pahalanya, hiburku.

Bang Beni bekerja di bengkel, usahanya sendiri. Jadi tak ada yang mengatur, mau buka bengkel itu cepat atau lama. Awalnya aku tak curiga. Selesai mengantar Sinta, ia  selalu membeli mi goreng untuk sarapan kami di rumah. Lalu aku bertanya.

"Beli di mana mi goreng ini, kok enak ya. Pake udang atau cumi lagi," tanyaku.

"Teman lama aku yang jual, namanya Lili. Kasihan dia, sekarang hidup berdua saja sama anaknya. Ia menumpang di rumah kakaknya. Jadi setiap pagi, mereka membuka usaha dengan menjual mi dan nasi goreng, di depan rumahnya," jelasnya panjang lebar.

"Terus kenapa bisa ketemu," tanyaku penasaran.

"Rumah kakaknya, dekat dengan sekolah Sinta. Suami si Lili itu dulu temanku juga. Tapi sekarang mereka sudah berpisah," jawabnya.

Diam-diam ku cerna semua ucapan Bang Beni. Tak mungkin kebetulan ia bertemu dengan temannya itu. Sedangkan ia baru sekali mengantar Sinta ke sekolahnya. Atau sengaja mencari alasan, agar bisa bertemu teman wanitanya itu.

Bersambung ....