Pagi ini ku lihat ada yang berbeda dengan Bang Beni. Biasanya mengantar Sinta sekolah, hanya memakai baju kaos oblong. Nah, hari ini tumben memakai kemeja. Padahal baju paforitnya itu berbahan kaos. Hmm ... biar ku pantau saja dulu. Tak boleh su'uzon, pikirku.
"Tumben sekarang Ayah rajin antar Sinta sekolah? Bajunya pun rapi banget. Seperti Pak Guru hendak pergi mengajar," ledek si sulung.
"Ahh, biasa aja kok. Sesekali rapi kan tak apa. Lagian segan pakai kaos oblong, entar kurang sopan di lihat Bu Gurumu," ucap Bang Beni sambil senyam-senyum.
"Cieee, lihat Bu! Ayah ngantar Sinta, sekalian cuci mata sama Bu Guru tuh," ledeknya.
"Biarin aja Sin, biar segar dikit mata ayahmu. Tak hanya oli dan mesin melulu yang di lihatnya," ucapku sambil terkekeh.
"Sinta, Raka, yuk naik! Entar telat lo," ucap Bang Beni. Mereka pun naik ke atas sepeda motor, sambil berboncengan.
Lumayan lah tugas mengantar Raka di ambil alih oleh ayahnya. Aku jadi tak capek lagi. Lagian aku agak repot ngantar Raka sambil menggendong Nina. Kalau menggunakan sepeda motor, setengah jam saja, sudah sampai. Setelah mengantar mereka, Bang Beni bawa sarapan mi goreng seafood itu lagi. Lebih dari seminggu ia rutin membawa sarapan mi goreng. Setiap habis mengantar anak, Bang Beni selalu cerita tentang teman wanitanya itu. Ternyata ... mereka dulu pernah berpacaran. Berarti benar dugaanku, fix bertemu mantan lagi.
"Jadi ceritanya, abang mau jadi pahlawan kesiangan! Sok prihatin dengan nasib mantanmu itu?" sindirku.
"Iya kasihan aja, karena jualannya lagi sepi, makanya aku sering singgah untuk membelinya."
"Berawal dari rasa kasihan, biasanya berlanjut jadi suka dan sayang. Hati-hati saja, jangan main api," ucapku tegas.
"Gak lahh, mana mungkin! Sanggahnya
"Aku cuma mengingatkan, jangan sampai kejadian seperti di sinetron ikan terbang itu," sindirku.
"Oh iya, mulai besok tak usah beli mi goreng lagi. Bosan! Beli sarapan lain saja." Bang Beni langsung terdiam mendengar ucapanku.
Biasanya mengantar Sinta, satu jam sudah sampai di rumah lagi, ini kok belum pulang ya? Begitu ku tanya, alasannya tadi macet di jalan. Seminggu kemudian, terulang lagi, begitu ku tanya, alasannya tadi waktu pulang, ban sepeda motornya bocor di jalan, jadi harus di tambal dahulu. Akibat kejadian ini, Bang Beni sering kesiangan membuka bengkelnya.
Begitu terus selama beberapa bulan.
******
Pagi ini seperti biasanya, Bang Beni mengantar anak-anak dengan pakaian yang rapi. Tetapi ia membawa Nina juga. Karena si bungsu ini sering minta ikut, kalau melihat kakaknya pergi sekolah. Tak apa lah, aku bisa cepat menyelesaikan tugas di dapur, pikirku. Karena keasikan beberes sana-sini, aku baru tersadar. Sudah tiga jam, Nina dan Ayahnya belum pulang juga. Lalu coba ku telfon, siapa tahu terjadi sesuatu. Tetapi panggilan telfonku tak di angkatnya. Mungkin lagi di jalan, aku tetap berpikiran positif.
Mendengar suara kendaraan di depan rumah, aku langsung melihat keluar. Hmm ... panjang umur. Baru saja di telfon sudah nongol orangnya. Melihat aku diam saja, Bang Beni salah tingkah. Ku lihat ia membawa beberapa bungkus mi goreng. Lalu di berikannya ke aku. Selesai sarapan, hati yang dari tadi kesal, ingin marah, langsung saja ku luapkan.
"Mulai besok, biar Sinta pergi sekolah, naik angkot saja seperti biasa! Lagian selama ini pun seperti itu."
Bang Beni terdiam, melihat wajahku yang memerah karena marah.
"Mi goreng ini, beli di warung temanmu itu kan?"
"iya," Bang Beni menganggukan kepala.
"Abang gak usah cari alasan, mengantar anak sekolah ya, padahal niatnya untuk ketemu mantan," sindirku.
"Makin sering abang ketemu dengan wanita itu, pasti muncul kembali rasa yang dulu pernah hilang. Apalagi ia menjual kesedihan, membuat orang jadi kasihan dengan dia." Kalau aku yang berbuat seperti itu, berteman lagi dengan mantan. Bagaimana perasaan abang?" Bang Beni diam seribu bahasa, tak berani membela diri. Biasanya kalau bicara, kasarnya minta ampun, ia mengaku salah, dan tak pernah lagi berhubungan dengan wanita itu.
Ada-ada saja ulah nya, mentang aku hanya di rumah saja, di pikirnya bisa berbuat sesuka hati. Aku memang tahu, Bang Beni itu banyak teman wanitanya. Tapi itu dulu, waktu ia masih lajang. Kini setelah berumah tangga, masih ada juga wanita yang datang ke dia. Pernah dulu di awal kami menikah, ada mantannya yang ngajakin kawin. Bahkan wanita itu mau membiayai hidup Bang Beni. Saat itu ia belum tergoda.
******
Sejak ibuku meninggal, Bang Beni sering sekali mengajakku untuk berkenalan dengan Ibu angkatnya. Dulu ia punya teman, orangtuanya baik sekali, sayang ke dia. Lagi-lagi temannya itu seorang wanita. Awalnya, aku tak mau di kenal kan dengan orang yang di sebutnya itu. Ia selalu cerita, kalau orangtua angkatnya itu sangat baik. Tapi rumahnya masih di tempat lama atau tidak, nah itu lah yang hendak di cari tau.
Kok aku jadi penasaran ya, sebaik apa sih orang yang di ceritakan Bang Beni itu?
Akhirnya saat bengkel libur, kami pun pergi mencari alamat rumah yang di maksud. Ternyata alamat itu ketemu di tempat lama, rumahnya pun masih ada.
"Assalamualaikum," ucap kami berbarengan.
"Waalaikumsalam." terdengar sahutan dari dalam rumah.
Tak lama keluar seorang Ibu separuh baya, wajahnya masih kelihatan cantik.
Bang Beni langsung menyapa Ibu tersebut.
"Masih ingat dengan saya, Bu? Saya Beni, teman lamanya Rani," jelasnya.
Ibu tersebut mengerutkan dahinya. Mencoba untuk mengingat orang yang berdiri di depannya. Sekian menit kemudian, baru lah si Ibu mengingatnya. Langsung kami di persilakan masuk.
"Ini istri dan anakmu ya?" tanya Ibu tersebut sambil tersenyum padaku.
"Iya, Bu. Maaf sewaktu pesta tak ingat mengundang Ibu sekeluarga," ucap bang Beni.
"Istrimu cantik sekali, anakmu juga lucu dan menggemaskan," ucap si Ibu, sambil mencubit pipi Nina yang gemoy.
"Kok sepi Bu, yang lain pada ke mana?" tanyaku.
"Oh, kalau Bapak belum pulang kerja. Sedang kan Rani dan dua adiknya tak tinggal di sini. Mereka mengontrak dekat sekolah adiknya. Kalau dari sini, pergi sekolahnya kejauhan. Biasalah ngejar kan sekolah SMA Negeri," jelas si Ibu panjang lebar. Bang Beni tampaknya mulai penasaran, lalu bertanya lagi.
"Jadi Rani dan suaminya masih tinggal di sini, ya Bu?"
"Mereka sudah tiga tahun berpisah. Anaknya baru satu, perempuan. Itu pun di bawa suaminya, karena hak asuh jatuh ke tangannya."
Hmm ... kami diam sejenak mendengar penjelasan si Ibu. Setahu aku, kalau hak asuh jatuh ke tangan suami, berarti ada yang salah dengan si istri, pikirku. Tak lama si Ibu mengeluarkan album foto dari bawah meja. Beliau menunjukan foto mereka dan foto anak-anaknya yang sekarang.
Ku perhatikan foto Rani, lumayan cantik lah. Biasanya kalau sudah janda keluar aura pesonanya itu, pikirku. Tapi aku masih berfikiran positive, apalagi si Ibu kelihatannya sangat ramah. Tak apa lah, kalau di jadikan orangtua angkat, karena aku masih merindukan sosok seorang ibu di hidupku. Setelah dua jam saling bercerita, kami pun pamit pulang. Si Ibu terkesan denganku, beliau bilang aku itu asik di ajak ngobrol, langsung akrab. Padahal baru pertama kali bertemu. Lain waktu kami datang lagi, janjiku ke Ibu yang cantik ini.
Bersambung ....