Chereads / The wound in my heart / Chapter 4 - Ibu telah tiada

Chapter 4 - Ibu telah tiada

Bab 4.

Jam delapan pagi, telfonku berdering. Ketika di cek ternyata Ivan sedang memanggil. Tumben, baru tiga hari yang lalu aku ke rumah Ibu. Gegas ku angkat telfonnya.

"Ada apa Van?" tanyaku.

"Kak, ke rumah Ibu sekarang!" ucapnya dengan nada khawatir.

"Memangnya Ibu kenapa?" tanyaku lagi.

"Tadi aku dapat telfon dari pengasuh Ibu, sejak habis Subuh kaki hingga bagian pinggang Ibu sudah tak bisa di gerakkan lagi. Tadi malam aku nginap di rumah mertua," jelasnya.

"Tapi Sinta dan Raka belum pulang sekolah nih, gimana ya?" jawabku bingung. 

"Jemput mereka, minta izin ke gurunya." Ivan memberi usul.

"Iya, iya," ucapku gugup. 

Duh ... gimana ini, baru kemaren dari sana. Pasti Bang Beni tak memberi izin. Apalagi perginya naik taksi, mahal di ongkos. Tapi tak ada pilihan lagi, pagi ini juga aku harus ke rumah Ibu, batinku.

"Bang, aku izin ke rumah Ibu ya? Lalu ku jelaskan kabar dari Ivan. Abang tak kerja kah? Kalau begitu kita pergi ke sana sekarang yuk! Kali ini aku sedikit memaksa, karena aku khawatir dengan kondisi Ibu. 

"Kau saja lah yang pergi ke sana, bawa anak-anak! Mungkin umur Ibu mu, sudah tak lama lagi itu," ucapnya ketus.

"Oh ya sudah." Aku pun langsung bergerak cepat, sebelum Bang Beni berubah pikiran. Ku jemput Sinta dan Raka di sekolahnya, setelah ku jelaskan ke guru, mereka pun di izinkan untuk ku bawa pulang. 

"Kenapa kita ke rumah nenek lagi, Bu?" tanya si sulung.

"Sakit nenekmu semakin parah," jelasku.

******

Sepanjang perjalanan, aku tak hentinya berdoa, semoga Allah masih memberikan umur panjang, masih bisa bertemu dengan aku dan cucunya. Anak-anak yang biasanya ceriwis, kini duduk terdiam di dalam taksi. Ku suruh mereka untuk mendoakan neneknya.

Sesampainya di depan rumah Ibu, terlihat ramai tetangga sedang duduk di ruang tamu, tak seperti biasanya. Setelah mengucapkan salam, aku pun masuk. Pengasuh Ibu langsung menyambutku dengan wajah tegang.

"Ada apa? Ibu kenapa kak?" tanyaku.

"Nay, sepertinya Ibu sedang menunggumu!" jawabnya sambil menarik tanganku menuju kamar Ibu.

Kreek ... pintu ku buka. Lalu ku dekati Ibu sambil memegang tangannya.

Ya Allah ... kenapa tangan dan kaki Ibu dingin dan kaku begini? matanya tertutup. Sedang kan nafasnya masih terdengar, tapi seperti orang yang sedang mendengkur. Bagaimana ini, batinku.

"Bu ... ini Nayla datang bersama cucu Ibu!"

Bisikku di telinga Ibu.

Tiba-tiba nafasnya berhenti sejenak, kemudian mendengkur lagi. Air mataku mulai meleleh membasahi pipi. 

"Bu ... Ibu kenapa? Ini Nayla datang Bu!  isak tangisku mulai terdengar. 

"Ya Allah, Buuuuu ...! ku guncang dan ku peluk tubuh Ibu yang semakin kaku. Isak tangisku semakin kencang.

Tak lama Ivan masuk ke kamar bersama seorang famili Ibu. Beliau langsung memeluk tubuhku dan berkata.

"Doa kan Ibu kalian ya, biar lapang jalannya." ucapnya terbata-bata.

Aku dan Ivan pun, bersimpuh di samping tubuh Ibu. Isak tangis kami saling bersahutan. Tubuh ini seketika lemas tak berdaya. Terbang rasanya seluruh raga, menguap bersama kenangan masa kecil. Betapa Ibu sangat menyayangi kami. sebentar lagi, Ibu akan pergi meninggalkan semua kenangan itu, untuk selamanya.

"Sendokkan sedikit air minum ke mulut   Ibumu. Ia pasti haus, kering itu tenggorokannya. Dari tadi mendengkur terus," ucap family Ibu.

Ku sendok kan air minum ke mulut Ibu, yang terbuka sedikit. Terdengar suara menelan, tenggorokannya seperti tercekat.

Ku bisikan di telinga Ibu kalimat Syahadat. Lalu ku tuntun Ibu untuk melafalkannya.

******

Tak lama Dery datang. Ia baru saja tiba, setelah di beritahu oleh Ivan. Seketika Dery menangis histeris melihat kondisi Ibu. Kami bertiga pun duduk bersimpuh di sisi tempat tidurnya.

"Bu, kami bertiga sudah ada di samping Ibu. Maafkan lah semua kesalahan kami Bu. Kami ikhlas bila Ibu ingin pergi, agar Ibu tak merasakan kesakitan lagi," ucapku terbata-bata.

Lalu ku baca kan surah yasin di telinganya. Satu-satunya nikmat Allah yang belum di cabut adalah pendengarannya. Ku bimbing terus Ibu untuk bersyahadat dan bersolawat. Dari sudut matanya keluar cairan bening. Iyaaa ... beliau menangis, mendengarkan lantunan Al-qur'an yang ku baca. Lama kelamaan suara nafas Ibu semakin pelan. Selesai salat Zuhur, Ibu pun menghembuskan nafas terakhirnya.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun."

"Ibuuuuuu ... !" isak tangis kami bertiga pun saling bersahutan.

"Maaf kan kamiiii, Bu! huuu ... huuuuu."

Mendengar suara tangis kami, tetangga yang di duduk di ruang tamu, gegas masuk ke kamar. Mereka bergantian menenangkan. Dan membimbing kami untuk keluar kamar. Jenazah Ibu kami angkat ke ruang tamu, lalu meletakkannya di atas kasur kemudian di tutup dengan selendang.

Ivan memberi kabar ke saudara Ibu yang lain. Dengan gerak cepat, kedua adikku melapor pada kepala lingkungan setempat.

Mereka memberi kabar, kalau ada warganya yang meninggal. Awalnya Kepling itu marah, kenapa pindah kemaren, tak melapor padanya. Giliran ada yang meninggal baru repot.

Aku di minta Ivan, untuk ikut berbicara ke Kepling tersebut dan meminta maaf padanya.

"Mohon lah jangan di persulit Pak, kami kan sedang berduka," ucapku memohon.

"Sekalian kami mohon izin, untuk mensalatkan jenazah Ibu, di Masjid dekat sini," pintaku lagi.

"Hmm ... baik lah, kali ini saya maaf kan. Biar sekalian di umumkan melalui Toa Masjid, kalau ada warga yang meninggal," ucap Kepling tersebut. Kami pun mengucapkan terima kasih.

Selesai urusan laporan, kini giliran menghubungi tukang gali kubur. Kebetulan sore ini ada juga yang hendak di kuburkan di TPU setempat, jadi sekalian lah di pesan satu untuk jenazah Ibu. Adikku kenal dengan tukang gali nya, jadi tak ada masalah. Sedang kan untuk mensalatkan jenazah, dengan suka rela, imam Masjid bersedia melakukannya. 

Sedang kan bilal memandikan jenazah, di lakukan oleh famili Ibu. Sambil berlinang air mata, kami bertiga memangku dan ikut memandikan jenazahnya. Ini terakhir kalinya kami menatap dan menyentuh tubuh Ibu. Setelahnya tak kan ada lagi tempatku mengadu, tak ada lagi tempatku berkunjung saat lebaran tiba.

******

Aku perhatikan satu persatu tamu yang datang melayat. Semuanya sudah di beri kabar oleh Ivan. Akan tetapi hanya dua orang yang datang. Sedang kan keponakan Ibu, tak ada yang datang bertakziah. Padahal letak rumah mereka masih terbilang dekat dengan kontrakan ini. Mungkin mereka takut di susah kan kali, batinku. Sedang kan keluarga mertua Ivan yang  rumahnya jauh, datang semua untuk bertakziah.

Tepat jam enam sore, jenazah Ibu di bawa menggunakan ambulans yang di sediakan pihak Masjid menuju TPU. Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah memudahkan segala urusan untuk mengurus jenazah Ibu. Setengah jam kemudian sampai lah di TPU. Ku perhati kan dari jauh, ada seseorang sedang berdiri, di samping kuburan yang baru di gali. Hmm ... aku penasaran, segera ku dekati.

Ia melambaikan tangan ke arahku. Ternyata Bang Beni yang berdiri di sana.

Ya Allah, mungkin hatinya tergerak datang, karena tadi pagi, di lihatnya aku menangis saat hendak pergi. Sesampainya di TPU, di lihatnya ada orang yang sedang menggali kubur. Lalu ia bertanya, "itu kuburan untuk siapa?" mereka menyebut nama ibuku. Karena hampir Magrib, mendung juga, Bang Beni berinisiatif untuk menunggu di TPU ini.

Bersambung ....