"Apa yang membawamu kemari? Aku tahu tujuanmu kemari bukan sekadar bernostalgia denganku."
Kaisar selalu dapat menebak dengan tepat isi kepala seseorang, wanita itu tersenyum mengangguk singkat seakan sudah tahu jika kedatangan sudah terduga oleh adiknya.
Lucy mengeluarkan sebuah amplop coklat besar, meletakkan diatas meja berlapis kaca tebal dengan ukuran bunga didalamnya. Kaisar meraihnya dengan segera, ia membuka amplop dan menemukan isinya.
Kaisar menatap wajah kakaknya yang terlihat antusias, berharap adiknya menyetujui ide miliknya.
"Kau betulan ingin melakukannya?"
Lucy mengangguk mantap, itu adalah rencana sempurna. Kaisar menghembuskan nafasnya berat, ia kali ini harus membuka tabir lama kembali. Kenangan lama yang telah tertutup, dan disembunyikan dengan begitu rapat, hari ini karena kakaknya Kaisar akan kembali menjadi dirinya yang lama.
Pria itu menelan ludah karena tiba-tiba kenangan buruk terlintas didalam otaknya, bagaimana ruangan itu berubah menjadi merah darah dengan bau anyir yang membuat mual.
"Apa kau takut Kai? Bukankah kau sudah menunggu saat seperti ini sejak dulu?" Wanita itu menyeringai tipis, ia menyesap anggur yang dituang oleh Ed untuknya.
Salah satu kakinya menumpuk dikaki lainnya, wanita itu duduk dengan begitu anggun dan terlihat begitu menikmati minumannya, juga pemandangan didepannya. Kaisar tampak tak terlalu antusias mendengar rencana yang ia buat, lebih tepatnya ia takut akan kenangan itu.
"Tidak, aku akan melakukannya."
Kaisar menyembunyikan tangannya yang gemetaran, wajah piasnya berubah menjadi keras dan kaku. Pria itu bersedia membuka kenangan lama, menyelesaikan sesuatu yang tak pernah selesai.
.
[ Boundary Street ]
"Siapa kalian?"
Gadis itu berdiri dengan raut wajah penasaran melihat beberapa orang berpakaian formal hitam-hitam tengah mengawasi tempat tinggalnya. Beberapa orang lainnya mengenakan pakaian konstruksi, lengkap dengan helm berwarna kuning cerah.
Salah satu dari mereka mendatangi Leana, tersenyum hormat dan menyerahkan sebuah kertas. Dengan ragu Leana mengambilnya dari uluran tangan pria itu, ia sempat menyapanya dengan ramah.
"Tempat ini telah dibeli untuk kepentingan negara, Nona," katanya dengan ramah dan penuh hormat.
"Tapi, kami telah menyewa tempat itu satu tahun penuh."
"Benar, dan sepertinya pemilik bangunan ini dan juga bangunan lainnya dikawasan ini telah menyerahkan semuanya. Kawasan ini akan dibersihkan, negara tengah melakukan pembersihan kawasan kumuh. Jadi, kami memberikan waktu 24 jam untuk kalian segera berkemas."
Leana diam tidak mengatakan apapun, ia tertegun dengan keterangan dari pria yang sekarang tengah berbicara dengan anggota lainnya. Mereka mulai memberikan arahan pada pekerja konstruksi.
Dalam surat yang ia terima, uang yang mereka berikan sebagai bayaran hanya akan dikembalikan sebesar 30% saja. Itu bahkan takkan cukup untuk menyewa flat yang lebih layak, atau lebih buruk dari tempat tinggalnya sekarang.
"Siapa mereka nona?" Leana yang hanyut dalam lamunan tidak menyadari kedatangan Anne, gadis itu terlihat kelelahan dengan beberapa kantong belanjaan. Mungkin, isinya hanya sayuran dan beberapa bahan makanan dengan harga murah lainnya.
Leana tidak menjawabnya, ia hanya mengulurkan surat yang baru saja ia baca. Anne yang kewalahan dengan kantong belanjaan tersebut meletakkannya di tanah, membersihkan kedua tangan berkeringatnya dengan baju bagian belakangnya.
Raut wajah Anne mulai berubah murung, ia kedua matanya yang beriris biru terang itu juga berkaca-kaca. Anne berjalan cepat menghampiri mereka, meninggalkan Leana yang masih berdiri termangu, dan kantong belanjaan yang teronggok diatas tanah.
"Hei, kalian tidak bisa seenaknya saja mengambil tanah ini!"
"30% dari uang pembayaran? Dasar kalian pemerintah tidak berperasaan, kalian pikir dengan uang beberapa dolar aku dapat menyewa flat lainnya?"
Teriak Anne murka, ia bahkan menghabiskan banyak tabungan untuk menyewa flat di tempat kumuh itu, dan hari ini ia akan kehilangan segalanya? Yang benar saja.
Pria yang tadi menghampiri Leana, berjalan mendekati Anne. Wajahnya selalu terlihat tenang, ia bahkan masih bicara dengan hormat.
"Maaf, Nona. Seperti yang sudah dijelaskan dari surat yang Anda terima, kami hanya melakukan tugas. Jadi, dalam waktu 24 jam ini silahkan berkemas dan segera meninggalkan kawasan ini," setelah mengatakannya pria itu kembali bekerja.
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan rumahku!" teriak Anne histeris namun, tidak membuat pria-pria itu peduli.
Pekerja konstruksi itu bahkan ada yang sudah mulai merobohkan pagar dari bangunan di seberang, Leana hanya membisu. Ia tidak bodoh, gadis itu tahu siapa yang telah merencanakan semuanya. Kaisar–adik ibunya– lah yang telah membuat mereka kehilangan tempat tinggal.
"Anne, berdirilah." Leana menghampiri Anne yang terduduk diatas tanah, ia masih terus menangis berusaha membuat mereka memperlihatkan sisi peduli. Tapi, sia-sia. Anne kini menangis meratapi barang-barangnya dikeluarkan dengan paksa.
"Tapi, Nona. Dimana kita akan tinggal? Menjadi seorang penjual surat kabar tidak akan cukup untuk menyewa flat lainnya."
Leana menghela nafasnya dengan kasar, ia juga tahu itu. Jika ia datang kepada Kaisar, pria itu akan tertawa bangga karena Leana jelas kalah.
Bekerja di cofee shop? Ada benarnya juga, boleh jadi akan sangat sulit untuknya. Ia memang lulusan SMA terbaik, tetapi tidak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
"Aku akan mencari jalan lain, Anne."
"Mencari jalan apa nona? Kau bisa dengan mudah datang pada pamanmu, meminta bantuan atau bahkan tinggal disana." Katanya penuh harap, tapi sayangnya gadis itu bergeleng pasti.
"Aku tidak akan datang," lirih Leana.
Anne mengusap air matanya, wajahnya yang penuh kesedihan berubah galak. Leana tidak tahu jika Anne bisa marah juga, karena selama ia mengenal gadis itu, ia tak pernah marah. Ia pelayan paling sabar yang melayaninya diantara puluhan pelayan lainnya.
"Kau mau bekerja nona? Bahkan mencuci piring saja kau tidak bisa! Menjual surat kabar? Kau bahkan terus mengeluh sepanjang waktu!"
"Kau akan bekerja bagaimana? Aku bisa melakukan apa saja, aku tidak bisa selamanya menjadi wali mu. Kau bahkan akan genap dewasa tahun ini, dan aku tidak akan bisa lagi membiayaimu nona. Aku juga harus mengurus keluargaku, aku akan kembali ke kampung halaman. Tidak mungkin membawamu nona, keluarga kami sudah cukup miskin untuk menghidupi tiga orang saja!"
Semua perkataan Anne membuat Leana sadar, selama ini ia hanya merepotkan Anne. Membuatnya terus bekerja dua kali lipat, mengeluarkan biaya yang cukup banyak, dan menghancurkan peralatan rumahnya. Terakhir, ia membuat flat sederhana miliknya maksimal sampai tahun depan disita dengan pengembalian biaya yang minim.
Leana menundukkan kepalanya, sekeras apapun pendiriannya tak ada jalan lain kecuali datang dan mengemis pada Kaisar, atau jauh lebih buruk. Ia akan mendapatkan uang dengan cara kotor, menjual diri? Leana bergidik ngeri tak berani membayangkannya.
"Maafkan aku Anne, aku tahu. Aku memang tidak bisa diandalkan, hanya merepotkan semua orang saja." Lirihnya dengan menggenggam tangan berkeringat Anne.
"Nona, aku tidak bermaksud untuk mengusirmu. Hanya saja–melihat apa yang terjadi kali ini membuatku tak bisa menahan akal sehatku," katanya sembari terus menggumamkan kata maaf pada Leana.
Gadis itu mengangguk, memeluk Anne dengan erat. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi selain terimakasih yang bahkan tak pernah cukup untuknya.
Sore itu berakhir dengan cepat, langit berubah menjadi gelap. Kedua gadis itu telah berkemas. Tak banyak barang yang mereka bawa, hanya perlengkapan yang mungkin akan mereka butuhkan. Masa bodoh dengan peralatan rumah milik Anne yang akan merepotkan perjalanan mereka.
Malam semakin larut ketika kedua gadis berbeda usia itu sampai disebuah terminal bus, disana sepi beberapa toko sudah tutup sejak beberapa jam lalu. Perut Leana berbunyi, beruntung Anne tak mendengarnya. Gadis itu sibuk melihat apakah masih ada bus yang beroperasi, seperti rencananya ia akan pulang kampung.
Sementara Leana, ia hanya mengatakan ingin datang pada Kaisar. Meskipun pada kenyataannya, ia memilih untuk hidup dengan usahanya sendiri.
Dari kejauhan sebuah lampu menyoroti tubuh mereka, Anne segera tahu jika itu adalah bus terakhir yang menuju tempat tinggalnya. Gadis itu segera memeluk Leana dan berpamitan, tak lupa banyak sekali kata maaf yang ia ucapkan.
"Berhati-hatilah, Anne! Semoga kita dapat berjumpa dikesempatan lain," katanya sebelum Anne benar-benar pergi dengan bus.
Tinggallah Leana yang duduk lesu, ia tidak tahu akan mulai darimana hari yang penuh dengan masa sulitnya.