Pada akhirnya, dia menghabiskan waktu sepanjang hari untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.
Edwin melangkah di sisi jalan dengan goyah, menatap kosong sepanjang area di depannya.
Kali ini dia tidak repot-repot mempercepat langkah kakinya, karena dibanding ingin cepat sampai ke apartemennya, dia lebih ingin berjalan santai.
Saat ini dia berada di Distrik Perbelanjaan, sedang berusaha kembali ke apartemennya ketika orang-orang di sisi jalan melemparkan pandangan kasihan bercampur beberapa rasa ingin tahu ke arahnya. Yang jelas itu tidak disebabkan oleh penampilannya, tapi lebih karena tindakannya.
Edwin berjalan perlahan sambil membiarkan hujan dengan bebas mengguyurinya. Dia tidak membuat tanda akan berhenti atau mempercepat langkahnya. Dan mata sayunya mengindikasikan bahwa dia tidak memiliki minat untuk berteduh.
Hujan yang turun di pertengahan musim panas adalah fenomena yang langka. Sehingga apa yang dilakukannya saat ini seperti memperjelas gambaran orang aneh ketika berada di lokasi yang aneh.
Dengan alasan itu, orang-orang yang berteduh di sisi jalan tertarik memperhatikannya. Bahkan pemilik kios dan toko yang dia lewati tampak memandangnya dengan bertanya-tanya.
Sementara Edwin tahu bahwa orang-orang di sekelilingnya menyuarakan keprihatinan mereka padanya, dia mengabaikannya. Dia hanya membiarkan dirinya terseret tanpa perlawanan pada keputusasaan tentang betapa tidak beruntungnya dirinya.
Itu bermula ketika dia berada di tengah perjalanan pulang dari kediaman Keluarga Walters dan akhirnya memasuki jalan raya utama Distrik Walters. Tepat pada saat itu sebuah pemikiran terlintas di kepalanya bahwa dia mendadak ingin melihat matahari terbenam dari taman di dekat akademinya. Jadi dia meminta Luke menurunkannya di dekat jalan masuk taman.
Luke terlihat enggan karena dia memiliki kewajiban mengantarkan tuannya dengan aman sampai ke apartemennya. Tapi karena itu perintah dia akhirnya menerimanya begitu saja.
Ketika ketiga mobil melakukan perjalanan kembali ke mansion Keluarga Albern, Edwin memasuki taman dan sampai di sebuah spot yang dia tuju.
Tempat itu cocok sekali untuk melihat pemandangan matahari terbenam karena terlihat seperti puncak dari sebuah bukit tanpa ada bangunan lain yang menghalangi pandangan. Tapi karena areanya lebih curam dari tempat lain di sekitarnya sehingga dibangun pagar besi di sekelilingnya.
Distrik Walters berada di dataran tinggi, jadi tidak aneh kalau taman di bangun di bagian yang lebih tinggi, dengan jalan yang menuju taman adalah lahan yang landai. Taman tersebut didirikan dengan tujuan agar pengunjung bisa menikmati panorama alam yang tersedia.
Masih ada satu jam tersisa sebelum waktu biasanya matahari terbenam, jadi dia memutuskan duduk di kursi taman sambil menunggu waktu berlalu.
Mengingat betapa tidak beruntungnya dirinya, Edwin seharusnya tidak mengikuti keinginannya yang muncul tiba-tiba yang mungkin bisa menjadi pertanda bahwa dia sedang dipermainkan oleh nasib buruknya.
Karena sekitar tiga puluh menit berlalu ketika dia sedang menunggu, awan gelap mulai menampakkan diri jauh di atas kepalanya.
Hanya dalam beberapa menit kemudian, mendung sudah melingkupi wilayah di sekitarnya.
Memperhatikan bahwa keadaan berubah perlahan ke arah yang berlawan dari yang dia inginkan, Edwin tersenyum sinis seolah mengejek takdirnya sendiri.
Tapi dia belum merasa kalah, harga diri dan keinginan kuatnya membuat dia tetap mempertahankan posisinya dan masih duduk di kursi taman.
Bertepatan ketika waktu biasanya matahari terbenam, hujan turun di seluruh wilayah Distrik Walters.
Pada saat itulah Edwin tertawa keras dengan putus asa, menyadari bahwa seharian ini dia telah menjalani kegiatan yang sama sekali tidak diinginkannya.
Tidak ada satu pun dari kegiatan akademi atau mengunjungi rumah seseorang di tengah cuaca panas ada dalam kehendaknya, itu semua hanya kewajiban yang dilemparkan kepadanya oleh kakaknya.
Dan ketika dia benar-benar memiliki sesuatu yang ingin dia lakukan, nasib sialnya malah mengarahkan takdirnya ke arah yang berlawanan. Bahkan alam sendirilah yang ikut campur, menolak dengan jelas keinginannya.
"Hahaha sialan!" Bersama tawa yang kering, dia berteriak dengan putus asa.
Pada titik ini Edwin merasa seharusnya wajar jika dia tidak mempercayai instingnya sendiri sejak awal. Nasib buruk selalu mengikuti ke mana dia pergi secara alami.
Edwin masih berusia tujuh tahun saat dia menyadari bahwa dirinya secara tidak sadar menarik berbagai macam kesialan ke arahnya. Saat itu dia sedang menjalani tugas dari keluarganya untuk berkunjung ke setiap tempat, dan dia ingat dengan jelas bahwa dia hampir terbunuh berkali-kali karena itu.
Bahkan saat ini, keinginan sederhananya untuk melihat matahari terbenam tidak menjadi kenyataan, dan itu sudah pasti karena ada campur tangan dari nasib buruknya.
Karena keinginannya tidak menjadi kenyataan − karena pemandangan matahari yang terbenam malah berganti menjadi hujan, dia hancur dan rusak karena merasa dipermainkan.
Untuk alasan itulah, saat ini dia berjalan tanpa memedulikan apa pun. Zombi yang melangkah di tengah guyuran hujan, mungkin deskripsi itulah yang cocok untuknya saat ini.
Tepat ketika dia tiba di tengah wilayah Distrik Perbelanjaan−
"Hei, bocah! Apa-apaan penampilanmu itu?! Apa cintamu habis ditolak?"
Seorang pria paruh baya berteriak memanggilnya dari depan toko kue.
Edwin mengenali toko kue itu, itu adalah toko tempat dia menerima sekotak kue tadi pagi. Tentu saja dia juga kenal dengan orang yang memanggilnya, dia adalah suami dari dari nenek pemilik toko.
Jika boleh jujur, dia ingin segera pergi. Tapi karena dia tahu jika dia melakukannya malah akan lebih merepotkan, akhirnya dia memilih menjawabnya.
"Cih! Sudah kuduga kalau kesialanku belum berakhir. Di saat seperti ini aku malah bertemu denganmu, Pak Tua!"
Dia menyipitkan matanya dan menampilkan wajah dengan kerutan tidak senangnya. Edwin sedikit mendekat ke arah toko kue tapi dia tidak cukup dekat sehingga hujan masih mengenainya.
"Apa kau bilang?! Karena inilah kau tidak populer. Kau harus belajar sopan santun dulu, bocah!!"
Pria itu mengomentari tindakannya, dengan blak-blakan mengeluarkan isi pikirannya.
"Oy Pak Tua, singkirkan kesimpulan itu dari kepalamu!! Aku tidak ditolak, lagi pula aku tidak berniat mengungkapkan perasaan kepada siapa pun. Aku tidak seperti siswa akademi kebanyakan, karena bagiku sesuatu seperti cinta tidak berguna. Tapi jika ada perempuan yang cintanya tidak membutuhkan balasan tapi bersedia membuatkanku makanan dan minuman, juga tidak mempermasalahkan jika aku tidur di sofa seharian, jika ada perempuan seperti itu, aku mungkin bisa mempertimbangkan untuk menjalin hubungan."
"Kau terlalu banyak meminta, kau bahkan tidak sadar kalau kau lebih parah dari siswa biasa yang tidak populer. Berkacalah dulu! Kau tidak memiliki sesuatu yang bisa membuat gadis terkesan. Dan ada apa dengan wajahmu itu?! Jika ada yang melihatnya, bahkan beruang sekalipun akan lari dan memutuskan untuk hibernasi dini."
Mendengar itu, Edwin menyipitkan matanya dengan jengkel. Perkataan pria itu membuat wajahnya terdengar seperti bentuk lain dari mimpi buruk.
Inilah alasan Edwin tidak ingin menanggapi pria itu dari awal. Dengan cara apa pun mereka memulai percakapan, mereka tetap akan berakhir saling berkelahi dan mencela satu sama lain.
Edwin menghela napas, berniat membalasnya dengan kata-kata lain yang lebih tajam. Tapi sebelum dia melakukannya, seseorang menghampiri mereka.
Nenek pemilik toko kue datang dan langsung memukul sisi belakang kepala suaminya dengan punggung tangannya.
"Kau tidak boleh berkata seperti itu. Dan seharusnya kau menyuruhnya untuk masuk dan berteduh."
Pria itu memegangi kepalanya walaupun pukulan tadi tidak terlihat menyakitkan. Tepat ketika dia menoleh ke arah istrinya, dia mendapati tatapan tajam darinya.
"Bocah itulah yang memulai lebih dulu."
Dia mencoba membela dirinya tapi istrinya hanya menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan betapa kekanak-kanakan sikapnya.
Sepertinya menegurnya tidak berguna, jadi nenek pemilik toko kue mengalihkan pandangannya ke arah Edwin. Dia tersenyum ramah.
"Tolong untuk memaklumi tindakannya. Meski dia berkata seperti itu, dia sebenarnya sangat mengkhawatirkanmu."
"Ya, tidak masalah. Kami hanya bicara seperti biasa, jadi jangan khawatir."
Dia dan pria itu memang sudah biasa beradu argumen, jadi dia merasa bahwa tidak perlu mempermasalahkannya.
"Jadi begitu. Kalau begitu maukah kamu masuk ke dalam? Kamu bisa berteduh dan menghangatkan diri."
Edwin sudah menyangka akan ditawari untuk masuk ke dalam toko. Nenek pemilik toko kue selalu baik kepadanya dan dia melakukannya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan, karena alasan itulah dia selalu kesulitan menolak kebaikannya.
Memang tidak sopan menolak tawaran darinya, tapi Edwin punya dorongan kuat untuk tidak menerimanya saat ini.
"... Maaf aku harus menolak. Aku memiliki keperluan jadi aku ingin segera kembali ke rumah."
Edwin merasa sedikit bersalah, dia tersenyum canggung ketika mengatakannya.
"Hah!? Kau berani juga menolak tawaran kami, bocah. Apa kau− Ah!"
Ketika pria paruh baya itu akan memulai ceramahnya lagi, dia merasakan sakit seperti sebuah gigitan kecil di tangan kirinya.
"Kau diamlah!"
Nenek pemilik toko kue mencubit lengan pria itu dengan keras, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah Edwin. Dia tidak kelihatan marah karena tawarannya ditolak, tapi dia tampak mengerutkan kening dengan sedih.
"Kalau begitu maaf karena sudah menahanmu. Tapi sebelum pergi tolong terima ini."
Nenek itu membawa payung yang terlipat ke hadapannya.
Edwin menatap payung itu dengan ragu-ragu, sepertinya kesulitan menentukan akan menerimanya atau tidak.
Bagaimanapun keputusannya ditentukan berdasarkan fakta bahwa saat ini dia sudah terlanjur basah, dan jika dia baru memakai payung saat ini maka tetap akan percuma.
Tapi Edwin mempertimbangkan bahwa menolak dua kali kebaikannya akan sangat tidak sopan. Terlebih lagi pria tua itu pasti akan terus menahannya sampai dia menerimanya, jadi dia mengambil payung itu agar urusan mereka saat ini selesai dengan cepat.
"Terima kasih. Akan aku kembalikan payungnya nanti. Kalau begitu, permisi."
"Ya. Setelah sampai di rumah pastikan untuk menghangatkan tubuhmu."
Edwin hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia berbalik dan membuka payung, kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke apartemennya.
Tampaknya pilihannya kali ini tepat karena pria tua itu terlihat diam saja tidak menanggapi apa pun lagi.
"Bukankah kau ingin mengajaknya masuk dan berteduh?"
Ketika Edwin sudah berjalan cukup jauh, nenek pemilik toko kue menanyakan itu kepada suaminya.
Mendadak mendapatkan pertanyaan, pria paruh baya itu mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kenapa aku harus melakukan itu? Siapa yang peduli dengan bocah itu."
Istrinya menghela napas dengan tidak berdaya.
"Kalau kau khawatir, kau tidak perlu menyembunyikannya."
"Apa kau tidak mendengarnya? Aku bilang aku tidak peduli dengan bocah itu!"
Pria itu membantahnya dengan tegas, tapi istrinya mengabaikannya dan hanya berbalik kemudian masuk kembali ke tokonya.
Setelah beberapa menit kemudian Edwin sampai di depan pintu apartemennya. Kamarnya ada di lantai dua jadi dia harus naik tangga dulu untuk sampai ke sana, dan tentu saja dia mengeluh saat melakukannya.
Dia mengambil kunci dari dalam tas sekolahnya, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam.
Sejujurnya, dia ingin sekali cepat-cepat istirahat. Tapi dia perlu membersihkan tubuhnya sebelum masuk ke kamarnya, jadi dia berendam sebentar di kamar mandinya.
Dia tidak punya tenaga untuk mempersiapkan makam malam, jadi setelah mandi dia memutuskan untuk langsung merebahkan tubuhnya di kasurnya.
Edwin merasa kelopak matanya terasa berat, sehingga membuatnya secara perlahan memejamkan matanya.
Dan pada saat terakhir, ketika kesadarannya mulai memudar, dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa besok mungkin akan menjadi hari yang lebih baik untuknya.
***