"Apa kalian tahu, di area akademi juga terdapat banyak mitos dan cerita yang terdengar tidak masuk akal. Jika kalian bisa mengumpulkan cerita itu dan membagikannya kepada para siswa, aku cukup yakin bahwa itu akan mendapatkan respons yang positif. Sebanyak tujuh puluh persen siswa di akademi ini adalah perempuan, dan perempuan sangat menyukai cerita yang berhubungan dengan misteri atau percintaan."
Tiga orang di ruangan mendengarkan Rin dengan serius. Mereka sangat fokus dan tidak membiarkan satu kata pun terlewat.
"Klub jurnalistik tidak perlu memulai dengan sesuatu yang sulit. Kalian bisa mulai dengan bertanya kepada para siswa tentang pengetahuan mereka pada cerita-cerita aneh yang terjadi di akademi. Jangan lupa juga untuk menanyakan kepada mereka kisah seperti apa yang membuat mereka tertarik. Setelah itu, kalian bisa mengumpulkan semua cerita itu dan memilihnya untuk ditulis di majalah bulanan akademi berdasarkan minat mayoritas siswa."
Laura memikirkan kata-kata Rin. Jika klub jurnalistik bisa mendapatkan cerita di dalam akademi yang dapat membuat kebanyakan siswa berniat membacanya, maka di masa depan, mereka dipastikan akan mendapatkan banyak pembaca setia.
Laura tersenyum, dia terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Seolah-olah dia sudah melupakan bahwa tulisannya pernah ditolak beberapa saat lalu.
Dia merasa Rin memang pantas dikagumi. Dia memang tidak mengizinkan tulisannya untuk dimuat di majalah bulanan akademi, tapi sebagai gantinya, dia memberikan jalan keluar lain bahkan sampai repot-repot menjelaskannya. Laura merasa bahwa dia harus serius menanggapi kebaikan Rin.
"Ketua, menurut Anda cerita seperti apa yang membuat kebanyakan siswa di akademi tertarik untuk membacanya?"
Laura bertanya dengan antusias. Rin tersenyum gembira karena merasa bahwa sarannya diterima dengan baik.
"Coba kupikir-pikir... Mungkin kebanyakan siswa akan tertarik dengan topik yang berhubungan dengan percintaan. Tidakkah kalian setuju kalau anak remaja tidak bisa dipisahkan dengan masalah percintaan? Dan kebetulan sekali, aku pernah mendengar beberapa mitos di akademi yang berhubungan dengan topik itu. Apa kalian tahu tentang pohon besar di taman yang ada di bagian utara area akademi?"
Dua orang anggota klub jurnalistik tampak berusaha keras mengingat pohon yang dimaksud oleh Rin.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Akademi menampilkan senyuman hangat ke arah Rin yang menikmati percakapannya.
"Ah, pohon itu! Aku ingat, pohon tua di ujung taman."
Setelah berusaha keras, akhirnya teman Laura mengingatnya.
"Ya, kamu benar! Banyak siswa yang menganggap pohon itu sebagai pohon keberuntungan. Diceritakan bahwa seorang Dewi yang kelelahan saat sedang dalam perjalanan pernah berteduh di sana. Ketika Dewi itu selesai beristirahat dan hendak pergi, dia mengucapkan terima kasih kepada pohon itu dengan memberikan pohon itu sebagian kekuatannya. Rumornya, jika seorang gadis datang ke pohon itu, mereka bisa menyerap kekuatan Dewi tersebut sehingga membuat wajah mereka kelihatan lebih cantik. Oleh karena itu, kebanyakan siswa perempuan menggunakan pohon itu sebagai tempat istimewa ketika ingin mengungkapkan perasaan mereka kepada orang yang mereka suka. Dan kabarnya, tidak ada satu pun dari mereka yang menerima penolakan."
Rin menjelaskan kepada mereka mitos yang beredar terkait pohon itu.
"Itu cerita yang menarik! Aku tidak tahu kalau ada cerita seperti itu tentang pohon itu."
"Benarkan!!"
Teman Laura memberikan tanggapan setelah mendengarkan cerita yang disampaikan Rin. Dan Rin memberikan respons balik dengan antusias.
(Ternyata Ketua bukannya tidak percaya pada cerita semacam itu, hanya minatnya saja yang berbeda denganku.)
Laura melihat temannya dan Rin berdiskusi dengan bersemangat, mereka seakan seperti gadis yang sedang mengadakan pesta teh lalu berbincang tentang orang yang mereka suka.
Rin yang kehilangan ketenangannya karena terlalu antusias terus menceritakan mitos lain yang ada di akademi pada dua orang anggota klub jurnalistik.
Misalnya mitos tentang larangan mengungkapkan perasaan di kursi panjang yang ada di taman atau mengungkapkan perasaan di atap gedung akademi saat senja, karena dikabarkan kalau semua orang yang melakukannya akan mendapatkan penolakan.
Setelah tiga puluh menit berlalu, mereka mengakhiri percakapannya. Wakil Ketua Komite Akademi mengingatkan bahwa dia dan Rin perlu bertemu dengan seseorang sebentar lagi.
Sebelum pergi, dua orang anggota klub jurnalistik itu meminta maaf karena sudah memberikan masalah dan berterima kasih atas saran dari Komite Akademi.
Setelah dua orang anggota klub jurnalistik meninggalkan ruang komite akademi dan hanya menyisakan Rin dan Wakil Ketua Komite Akademi−
"Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona Rin."
"Ya, kamu juga, Nabil. Terima kasih atas kerja kerasnya."
Ketika hanya mereka berdua yang ada dalam ruangan, Nabil, Wakil Ketua Komite Akademi akan memanggil Rin dengan namanya disertai gelar kehormatan yang menunjukkan kalau status sosial Rin lebih tinggi darinya.
Begitu juga dengan Rin, dia akan memanggil Nabil dengan namanya.
"Mohon maafkan saya karena harus menginterupsi percakapan Anda tadi."
Nabil menundukkan kepala dengan sopan, meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
"Tidak perlu meminta maaf. Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu sudah mengingatkan kalau kita memiliki janji untuk bertemu dengan seseorang."
"Terima kasih atas kebaikan Anda. Tapi saya masih merasa tidak enak, karena sepertinya Anda menikmati percakapan itu."
Nabil mengangkat wajahnya, lalu dia tersenyum masam. Jarang sekali bisa melihat Rin dengan gembira berbicara dengan orang lain. Nabil bisa menebak bahwa itu disebabkan karena topik pembicaraan tadi begitu menarik bagi Rin.
"Apa aku terlihat seperti itu ...? Mungkin benar kalau aku menikmati percakapan tadi. Tapi tidak masalah, karena kita memiliki beberapa hal penting untuk dipikirkan sekarang."
"Pertama tentang dokumen itu, benar?"
"Ya. Data di dalam dokumen itu cukup akurat. Aku tidak menyangka kalau dia bisa mendapatkan data sebanyak itu hanya dalam waktu dua minggu."
Rin mengingat kembali isi dokumen milik Laura yang baru saja dibacanya.
"Sepertinya dia menggunakan koneksi ayahnya. Apa kita perlu membuat teguran kepada Komisaris Besar Keamanan Kota?"
"Sepertinya itu akan jadi pilihan terakhir. Kita masih bisa merebut dokumen itu dari ruang klub jurnalistik. Selama gadis itu tidak melakukan sesuatu yang melebihi batas, kita juga tidak akan bertindak."
"Baik, saya mengerti."
Rin bersandar di kursinya dan mengistirahatkan tubuhnya. Dia mengambil gelas yang ada di mejanya dan menyesap teh di dalamnya. Kemudian dia mendesah lelah.
"Sepertinya aku masih perlu belajar untuk menjadi lebih tenang. Kita beruntung bisa mengalihkan topik pembicaraan. Itu semua berkatmu, Nabil. Sekali lagi aku berterima kasih, terutama saat kamu mengambil peran untuk menghentikan gadis itu yang terus menekan."
Rin merenung tentang kejadian yang baru saja terjadi.
Sejujurnya, dia mengalami panik ketika Laura tiba-tiba melemparkan topik tentang Albern. Dia beruntung karena Nabil berhasil membuat gadis itu menyerah.
"Anda tidak perlu berterima kasih. Saya hanya berusaha melakukan pekerjaan saya."
Nabil tidak merasa berbuat banyak untuk bisa mendapatkan terima kasih. Lagi pula, dia melakukannya karena itu berhubungan dengan pekerjaannya. Dia hanya membantu Rin yang kesulitan menjawab pertanyaan Laura.
Nabil memahami dengan sangat baik kalau Rin tidak mungkin membenarkan kepercayaan gadis itu, karena dia memiliki alasannya sendiri untuk menutupi keberadaan Albern.
Rin juga tidak mungkin sanggup untuk berbohong dengan mengatakan kalau dia tidak mempercayai keberadaan Albern, karena Nabil tahu kalau Rin adalah orang yang paling mempercayai keberadaannya.
"Sepertinya kita tidak memiliki pilihan lain, kita perlu mengawasi gadis itu. Nabil, setelah pulang dari akademi, langsung kirimkan orang untuk mengawasi gadis itu. Sementara aku dan kamu akan pergi untuk menyelidiki alasan gadis itu tertarik pada Albern."
Sebenarnya Rin tidak ingin melakukan hal ini karena mempertimbangkan posisi Komisaris Besar Keamanan Kota, dan Laura adalah anak dari orang itu. Tapi, menilai bahwa masalah ini tidak bisa diremehkan, dia berniat mengawasi gadis itu.
"Sesuai perintah Anda, Nona Rin."
Nabil membungkuk dengan sopan menandakan kalau dia bersedia menjalankan perintah dari Rin.
Setelah memastikan bahwa mereka selesai mendiskusikan masalah itu, Rin mengubah posisi duduknya menjadi tegak. Dia menampilkan ekspresi yang serius di wajahnya.
Nabil memperhatikan perubahan itu, dia mengerti kalau akhirnya mereka sudah sampai untuk membahas masalah utama.
Suasana di ruangan menjadi sunyi untuk beberapa saat. Suara siswa akademi yang sedang menjalani kegiatan klub mereka di lapangan olahraga samar-samar bisa terdengar.
"Nabil, bisakah kamu jelaskan urutan kejadian tadi siang di kelas itu? Kenapa Tuan Muda bisa sampai mengajukan diri sebagai kandidat perwakilan kelas?"
Rin sepertinya sudah tidak sabar mendengar cerita dari Nabil yang hadir di tempat kejadian, karena dia langsung menanyakan inti masalahnya.
Kemudian, Nabil menceritakan kejadian itu sesuai permintaan Rin. Dia menjelaskan bahwa dia sampai di tempat itu ketika kelas sedang berada di tengah diskusi untuk menentukan kandidat perwakilan kelasnya. Nabil menceritakan dengan rinci urutan kejadian yang merujuk pada peristiwa di kelas Edwin.
"... Saya sangat terkejut ketika Tuan mengangkat tangannya. Saat itu, dia sepertinya sengaja membatalkan hells miliknya yang bisa membuat aura kehadirannya tidak dapat dirasakan. Tujuannya mungkin agar semua orang di kelas bisa menyadari kehadirannya. Tapi siswa lain sepertinya lebih tertarik pada fakta bahwa kehadiran Tuan mendadak muncul di depan mereka. Agar Tuan tidak kerepotan karena harus meladeni mereka, saya menggunakan hells milik saya untuk mempengaruhi tekanan udara di kelas itu agar orang di dalamnya merasa lebih lelah dari biasanya. Tentu saja, saya menahan diri agar Tuan tidak ikut terpengaruh."
Nabil selesai menjelaskan, dengan menyembunyikan fakta bahwa dia melupakan kehadiran Glen di kelas itu sehingga dia sempat melihat Glen terlihat pusing saat kelas berakhir. Dia juga merahasiakan kemungkinan kalau tuannya menyadari kehadirannya yang saat itu berdiri di luar kelas.
"Jadi begitu .... Sepertinya keputusanku memang tepat karena memintamu memeriksa kegiatan pemilihan perwakilan kelas di tahun pertama. Tapi jika dia sampai repot-repot melakukannya sejauh itu, apa menurutmu Tuan serius ingin jadi perwakilan kelas?"
Rin langsung mengajukan pertanyaan lain setelah Nabil selesai menceritakan kejadian itu.
Berdasarkan pengalamannya, tuannya bukan tipe orang yang ingin melibatkan diri dalam kegiatan seperti itu, terutama dia sendirilah yang secara sengaja mengajukan diri sebagai perwakilan kelas.
Karena yang Rin tahu, tuannya lebih terbiasa untuk menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dinilainya akan merepotkan.
Peristiwa tadi siang baru kali ini terjadi, sehingga wajar jika Rin sangat serius menanggapinya.
"Maafkan saya, saya tidak tahu jawabannya. Tapi ...."
"Tapi?"
Rin mendesak Nabil yang kelihatan ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Mungkin saja tuan memang bermaksud menjadi perwakilan kelas. Jika memang seperti itu, mungkin alasannya karena dia mendapat perintah dari Lady Lisa. Tapi ini hanya berdasarkan perkiraan saya."
Rin mempertimbangkan pendapat Nabil. Dia merasa itu masuk akal. Lagi pula, tuannya mendaftar ke akademi juga karena paksaan dari kakaknya.
Jika bisa menolaknya, mungkin tuannya akan dengan senang hati melakukannya. Sayangnya, perintah dari kakaknya tidak bisa dibantah.
"Ya, kamu benar. Ada juga kemungkinan seperti itu. Kita kekurangan informasi untuk mengetahui tujuan Tuan Muda. Aku ingin sekali bertanya langsung kepadanya, tapi aku tidak ingin jika nanti dia malah menilaiku tidak kompeten."
Rin menggembungkan pipinya seperti orang yang merajuk.
"Jika begitu, saya pikir ini waktu yang tepat untuk menjemput Tuan Glen dan Nona Noemi ke sini. Anda bisa menanyakan beberapa hal pada mereka, dan mungkin saja mereka mengetahui sesuatu. Tolong tunggu sebentar."
Nabil keluar dari ruang Komite Akademi.
***