Seorang gadis membawa dua buah mangkuk dengan menggunakan sebuah nampan. Kemudian, dia meletakkan kedua buah mangkuk yang berisi makanan itu ke atas meja. Dia melakukannya dengan wajah yang berseri-seri. Membuat wajahnya yang sudah cantik terlihat lebih cantik.
Lalu, gadis itu mengenakan sebuah celemek berwarna putih. Dibalik celemek itu, dia mengenakan setelan berupa baju lengan pendek berwarna putih serta celana pendek berwarna hitam.
Rambut violet panjangnya ia ikat dengan model ponytail. Lalu ditambah payudaranya yang cukup besar, dia terlihat sempurna.
"Sip, semuanya sudah selesai."
Wajahnya terlihat lega.
Kemudian, diatas meja selain terdapat dua buah mangkuk yang barusan gadis itu taruh, terdapat pula dua piring berisi nasi, beberapa gelas untuk minum, serta sebuah teko berisi air minum.
"Sisanya... Tinggal menunggu kakak pulang."
Sekarang, wajah cantiknya terlihat khawatir. Berbeda dengan sebelumnya.
"Kakak bilang cuma jalan-jalan sebentar, tapi kok belum pulang juga. Apa terjadi sesuatu?"
Dipikirannya terbayang sesuatu yang buruk. Namun, dia meyakinkan hatinya.
"Jika terjadi sesuatu, kakak pasti bisa mengatasinya. Itu pasti.", gadis itu mengatakannya dengan yakin.
Lalu terdengar suara pintu terbuka. Wajahnya mengembang dan wajahnya kembali berseri-seri.
"Itu pasti kakak."
* * *
Seseorang yang mengenakan sebuah gaun pendek berwarna putih membuka pintu. Dia kemudian melepaskan sepatunya dan naik ke lantai rumah yang terbuat dari kayu.
"Aku harus segera ganti baju."
Setelah beberapa langkah, seorang gadis yang mengenakan celemek berwarna putih datang menghampirinya.
Mereka memiliki penampilan yang mirip. Wajah, warna rambut, warna mata, bahkan tinggi mereka persis. Hal ini tentu saja hanya satu hal, mereka saudara kembar.
Namun, meskipun mereka memiliki kemiripan--bahkan hampir semua hanya satu hal yang dapat membedakan mereka. Yaitu dengan membandingkan dada mereka.
Gadis itu kemudian memberikan selamat datang.
"Kak Ash, selamat datang."
Kedua mata gadis itu terbuka lebar.
"Kakak, kenapa pakaiannya jadi begitu?"
"Nanti kakak jelaskan. Kakak mau ganti baju dulu.", Ash berjalan melewati gadis yang merupakan adiknya itu.
Namun, gadis itu memegang tangan Ash.
"Jangan."
"Kenapa?"
"Nanti makanannya keburu dingin. Sekarang makan dulu aja."
Kemudian terdengar suara perut keroncongan.
"Tuh kan... Kakak pasti sudah sangat lapar. Jadi makan dulu."
"Eh, tapi itu kan suaranya-"
Wajah gadis itu memerah. Dia malu. Rupanya Ash tahu bahwa itu adalah suara perut keroncongan itu berasal dari perut adiknya.
"Sudahlah nurut aja."
Gadis itu lalu menarik Ash ke meja makan.
"Tunggu, Ashe..."
Sedangkan Ash hanya bisa pasrah.
"Duduklah."
Ashe melepas celemek yang ia pakai. Ia menaruh celemek tersebut disebuah gantungan yang ada di ruangan tersebut. Ashe lalu duduk tepat dihadapan Ash.
"Aku membuat sup telur untuk makan siang kita."
"Sup telur ya?"
"Kalau gitu, mari kita mulai makan.", kata Ashe.
Sebelum makan, mereka berdua mengangkat kedua tangan, berdoa kepada Tuhan sebagai ucapan terimakasih telah diberikan berkah berupa makanan.
* * *
"Gimana kak?", Ashe bertanya kepada Ash--kakak kembarnya tentang makanan yang ia buat. Ash berhenti makan sebentar.
"Tak perlu ditanya, semua masakan buatanmu pasti enak."
Ashe memang pandai memasak. Semua masakan buatannya pasti enak. Namun, selain pandai memasak, ia juga suka makan. Tapi entah kenapa, meskipun makannya banyak tetapi tubuhnya masih terlihat bagus.
"Benarkah? Terimakasih.", wajah Ashe terlihat senang dan dia tersenyum.
"Oh iya, kak."
"Ada apa?"
"Nanti tolong bereskan meja dan cuciin piringnya ya."
"Ok."
"Tolong ya."
Mereka berdua melanjutkan makannya.
* * *
"Kakak."
"Ada apa?"
Ash bertanya kepada adiknya, Ashe. Sambil memegangi pagar tangga, Ashe menuruni sebuah tangga. Sebuah tangga yang menuju lantai dua rumah mereka.
"Rumah ini ternyata besar juga ya.", kata Ashe sambil melihat seisi rumah.
"Benarkah?", jawab Ash sambil mencuci piring. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian biasanya, yaitu baju putih lengan pendek dan celana hitam panjang.
"Iya, sepertinya rumah ini terlalu besar untuk kita berdua. Kamar tidurnya juga banyak."
Ashe lalu menarik kursi makan dan duduk disitu.
"Ibu katanya tinggal disini ya."
"Iya, katanya ibu tinggal di kota ini. Tapi, setelah menikah mereka putuskan untuk pindah."
"Begitu ya."
Beberapa saat kemudian, Ash sudah selesai mencuci piring.
"Udah beres kak?"
"Udah."
"Terimakasih, taruh di rak aja ya."
Ash membawa piring-piring yang telah dicuci itu ke dapur. Dapur ini terletak bersebelahan dengan tempat mereka berdua berada. Satu persatu Ash meletakkan piring-piring itu ke sebuah rak.
"Oh iya kak, tentang pakaian itu.", Ashe baru teringat.
* * *
"Hei kamu.", kata seorang pria. Pria itu cukup gemuk dan pendek. Ia mengenakan setelan berupa jas dan celana hitam panjang. Salah satu fitur khas dirinya ialah kumisnya yang tebal.
"Aku?", Ash menunjuk dirinya sendiri.
"Benar sekali."
"Tapi, ada apa?"
"Ikut saja. Aku butuh bantuanmu."
"Baiklah.", Ash berpikir mungkin pria itu benar-benar membutuhkan bantuan. Mungkin seperti mengangkat barang atau semacamnya.
Ash kemudian mengikuti pria itu masuk kedalam tokonya.
"Tunggu disitu.", pria pemilik toko itu lalu pergi entah kemana.
"Baik."
Ash hanya bisa diam berdiri. Ia kemudian melihat-lihat keadaan toko. Disana-sini terpajang berbagai jenis pakaian. Baik untuk pria maupun wanita.
"Dia mungkin pemilik toko pakaian ini. Tokonya besar dan baju-bajunya bagus."
Tak lama kemudian, pria tadi kembali. Sekarang ia datang bersama seorang wanita. Salah seorang pegawai toko ini.
"Ini hadiah untukmu.", pria itu memberikan isyarat kepada wanita yang ada disampingnya. Wanita itu menyodorkan sebuah tas jinjing polos berwarna biru langit.
"Hadiah? Tapi bukannya paman minta bantuanku."
"Sudahlah terima saja."
"Baiklah aku terima." Ash menerima tas itu. Ia lalu membuka isinya. "Ini..."
Ia mengeluarkan isinya. Sebuah pakaian wanita berupa gaun berwarna putih.
"Pakaian yang kamu pakai sama sekali tidak cocok denganmu. Ayo cepetan pakai.", pria itu melihat Ash dari atas hingga bawah.
Ash memakai pakaian sederhana berupa baju lengan pendek berwarna hitam dan juga celana panjang hitam.
"Eh tapi aku-"
"Tenang saja. Aku kasih gratis. Selain itu, aku akan menuduhmu sebagai pencuri jika kamu tidak mau memakainya.", wajah pria itu menjadi terlihat menyeramkan. Ash hanya bisa pasrah.
Pria itu memberi isyarat kepada wanita pegawainya. Ia mengangguk.
"Silahkan lewat sini."
"Iya.", kata Ash dengan lesu.
* * *
"Begitulah ceritanya. Lalu baju yang tadi kakak pakai ia ambil. Katanya sebagai ganti baju ini."
"Memang benar.", Ashe menyilangkan kedua lengannya, wajahnya mengisyaratkan bahwa ia mengerti apa yang terjadi.
"Dia pasti mengira kakak adalah perempuan. Tapi bersyukur aja, kakak dapat pakaian baru."
"Tapi kakak gak butuh, untuk-"
"Nggak, itu punya kakak. Ashe gak akan mau."
Ashe kemudian tertawa kecil.
"Ada apa?"
"Nggak ada kok... Ashe hanya teringat tadi, kakak benar-benar cocok memakainya."
Ash hanya diam menanggapinya. Lalu ingat ada hal yang harus ia sampaikan kepada adiknya.
"Oh iya. Untuk makan malam... Bagaimana kalau makan diluar?"
"Maksud kakak misalnya seperti di kafe atau restoran..."
"Iya."
"Boleh aja. Tapi kenapa?"
"Ah, itu...", Ash berusaha memikirkan alasan apa yang akan ia katakan kepada adiknya. Ash putuskan untuk menceritakan apa yang belum ia ceritakan.
"Ini tentang kejadian tadi."
Ash kemudian menceritakan tentang apa yang terjadi pada saat dia pergi keluar untuk berjalan-jalan disekitar kota. Ia menceritakan tentang seorang gadis yang dihadang oleh seorang preman.
* * *
"Begitu, ya. Kakak menolong gadis itu. Memang kakak banget."
"Maksudmu?"
"Jadi gadis itu meminta kakak untuk datang ke kafenya.", Ashe mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan topik lain.
"Iya."
"Ashe mengerti."
Ash sudah selesai menyusun piring kedalam rak.
"Ka..kak...", kata Ashe pelan.
Ashe berjalan dengan mengendap-ngendap lalu tiba-tiba memeluk Ash dari belakang.
"Apa yang kamu lakukan?", Ash terkejut dengan apa yang dilakukan oleh adiknya.
"Lagi pengen aja...", Ashe mengatakannya dengan wajah yang berseri-seri.
"Heh?"
Ash bingung dengan apa yang terjadi sedangkan Ashe hanya tersenyum saja.