Chereads / Fatal Twin / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

Tuk! Tuk! Tuk!

Ash dengan tenang mengetuk pintu sebuah kamar. Sebuah pintu berwarna coklat yang terbuat dari kayu. Itu adalah pintu kamar adiknya, Ashe.

"Ashe, ayo kita berangkat."

"Tunggu bentar, kak.", terdengar suara teriakan Ashe dari dalam kamar.

"Kalau gitu, kakak tunggu didepan ya."

"Iya...", jawab Ashe dengan nada yang panjang.

* * *

Didepan rumah, Ash berdiri mematung. Dia sedang menunggu adiknya, Ashe. Ia tampak sudah siap berangkat. Ia mengenakan sebuah jaket berwarna biru gelap. Ia tidak mengancingkan jaketnya sehingga baju dalamnya yang berwarna putih terlihat. Lalu, celananya yang panjang juga berwarna biru gelap.

Bersama dengan Ashe, mereka berdua akan pergi untuk makan malam.

Rumahnya ini cukup besar. Rumah yang terdiri dari dua lantai ini sebagian besar masih terbuat dari kayu. Namun, bagian-bagiannya masih terlihat sangat bagus.

Tepat disamping kiri rumah ini terdapat sebuah halaman yang lumayan luas. Ditengah-tengah halaman ini terdapat sebuah pohon yang rindang. Daunnya yang hijau sangat lebat. Lalu, bersebelahan dengan halaman ini, mengalir sebuah sungai.

"Langitnya sangat indah."

Ash menengadahkan tangannya ke langit. Hari ini cerah sehingga langitnya terlihat penuh dengan lautan bintang lengkap dengan bulan purnama yang terang dan juga tak kalah indah.

Pintu rumah terbuka. Lalu keluar seorang gadis, dia adalah adik kembar Ash, Ashe.

"Maaf lama, kak."

Ash mengalihkan pandangannya kepada Ashe. Malam ini, ia mengenakan gaun pendek berwarna merah muda dengan roknya berada diatas lutut. Lalu, ia memakai sepasang flatshoes berwarna putih.

"Kalau gitu, ayo berangkat.", setelah mengatakannya Ash mulai melangkahkan kakinya.

"Kak Ash, tunggu!"

"Ada apa?"

Ash menghentikan langkahnya.

"Ashe punya permintaan."

"Permintaan apa?"

"Umm... Boleh kita bergandengan tangan?", kata Ashe dengan wajah yang malu-malu. Kedua pipinya mulai memerah. Ia juga merapatkan tubuhnya.

"Bergandengan tangan? Maksudmu..."

"Iya, yang seperti itu. Seperti orang yang berpacaran.", kali ini wajahnya Ashe benar-benar memerah.

"Tapi untuk apa?"

"Gak salah kan, lagipula kita ini saudara, orang-orang juga mengira kita sama-sama perempuan."

"Tapi..."

"Kumohon.", kata Ashe dengan wajah memelas.

"Baiklah."

Ash mengalah. Ia menjulurkan tangan kanannya dan Ashe langsung menggenggamnya dengan erat menggunakan tangan kirinya.

"Ayo berangkat."

Ashe mengepalkan tangannya kedepan dan mereka berdua mulai berjalan.

* * *

"Terimakasih telah berkunjung."

Seorang gadis maid mengatakannya kepada seorang pengunjung yang baru keluar dari kafe. Ia berdiri disamping pintu masuk kafe. Wajahnya sedikit gelisah.

"Ash belum datang. Mungkin masih di jalan.", Nina melihat kearah jalan dimana orang yang dia tunggu pasti lewat situ.

"Sebentar lagi dia pasti datang."

* * *

"Kak Ash, apa tempatnya masih jauh?"

"Tidak terlalu jauh kok, sebentar lagi sampai."

Raut wajah Ashe menunjukkan sepertinya ia sudah tidak sabar.

"Perutku sudah lapar.", kata Ashe sambil memegangi perutnya. Ia memang suka makan. Tapi, entah kenala tubuhnya tidak gemuk, efek yang biasanya didapat jika banyak makan.

"Ya salah sendiri. Siap-siapnya lama.", Ash sedikit menggoda adiknya.

"Kayak kakak gak tahu aja, cewek itu siap-siapnya lama. Soalnya banyak hal yang harus disiapkan.", Ashe melepaskan genggaman tangannya serta memberitahu kakaknya dengan wajah yang ingin menceramahi.

"Lihat, kita sudah sampai.", Ash menunjuk kearah depan. Kearah kafe yang ia tuju. Disana berdiri seorang maid.

"Nina, selamat malam."

Ash menyapa seorang gadis yang berdiri didepan sebuah kafe. Ia mengenakan pakaian maid. Tentu dia merupakan seorang pelayan di kafe ini. Mendengar ada yang menyapanya, gadis itu berbalik.

Wajahnya mengembang karena senang.

"Ash, selamat malam juga."

Kedua mata Nina terbuka lebar. Ia tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ash ada dua?"

"Ah, biar kuperkenalkan. Ini adik kembarku, Ashe."

"Senang bertemu denganmu."

"Namaku Nina, juga senang bertemu denganmu."

Nina memperkenalkan dirinya kepada Ashe serta membalas salam perkenalannya.

"Aku panggil Nina saja ya, karena kita kayaknya seumuran."

"Iya boleh.", kata Nina sambil memberikan sebuah senyuman.

Nina mencoba mengingat sesuatu.

"Ash memang bilang kalau punya seorang adik, tapi aku tidak pernah menyangka ternyata adik kembar. Aku sedikit terkejut, aku pikir Ash ada dua. Soalnya kalian benar-benar sama persis.

Ash tertawa kecil menanggapinya. Kemudian Nina memerhatikan Ashe dari atas hingga bawah dengan seksama.

"Adikku perempuan."

"Perempuan?"

"Iya. Aku ini perempuan.", Ashe meyakinkan Nina bahwa dia memang seorang perempuan.

Pandangan Nina terhenti pada bagian payudara Ashe yang benar.

"Memang benar. Tidak mungkin itu adalah palsu."

"Tapi, punya Nina juga besar. Malahan lebih besar daripada punyaku."

Mereka berdua sama-sama tersenyum. Sedangkan Ash tidak bisa menyatu dengan pembicaraan Nina.

"Ada apa, Nina?"

Datang seorang maid yang lain. Pakaiannya sama persis dengan pakaian yang Nina kenakan. Semua pandangan teralih kepadanya. Seorang maid yang berpembawaan tenang dengan wajah yang dingin.

"Ah, Carol, mereka berdua temanku. Aku mengundang mereka datang kesini."

"Begitukah. Kalau gitu, segera ajak mereka masuk."

Maid--yang bernama Carol itu memiliki nada bicara yang datar.

"Benar. Aku lupa. Ash, Ashe, ayo masuk."

* * *

"Kalian bisa duduk disini."

Nina menunjukkan meja yang kosong. Meja ini berbentuk bulat dan memiliki empat buah kursi.

"Iya."

Ash dan Ashe duduk saling berhadapan.

"Tunggu bentar ya."

Nina meninggalkan mereka berdua. Ia menuju meja bar.

"Kafenya ramai ya."

"Benar juga.", Ash merespon perkataan kakaknya.

Kafe ini sangat ramai. Meja-meja sudah banyak yang terisi. Kebanyakan yang datang merupakan para petualang. Pasti mereka lelah karena bekerja hari ini.

Nina kembali dengan membawa sebuah buku besar dengan sampul berwarna coklat.

"Silahkan dilihat menunya.", kata Nina sambil menyerahkan buku tersebut yang kemudian diterima oleh Ashe.

Ashe melihat-lihat menunya. Matanya sangat awas. Ia membuka halaman buku itu berulang-ulang.

"Syukurlah Ash ternyata datang. Aku takut kamu gak jadi datang."

"Jangan khawatir. Aku gak lupa kok."

Ash mengalihkan pandangannya kepada Nina. Ia masih memakai pakaian yang sama saat mereka pertama kali bertemu tadi siang.

"Benar juga. Ash kelihatannya orang baik, jadi gak mungkin ingkar pada janjinya."

"Aku bingung."

Sekarang perhatian Ash dan Nina tertuju kepada Ashe yang terlihat kebingungan.

"Makanan disini kelihatannya enak-enak. Aku jadi bingung harus pilih yang mana."

"Bagaimana kalau aku berikan rekomendasikan daging sapi pedas manis. Ini menu favorit disini."

"Kelihatannya enak. Iya itu aja."

"Kalau Ash?"

"Aku juga sama."

"Kalau untuk minumnya?"

Nina bertanya kepada mereka berdua.

"Aku jus jeruk."

Ashe terlihat bersemangat.

"Kalau aku...", Ash berpikir sejenak, "Teh manis saja."

"Baiklah, tunggu ya."

Sekarang, Nina benar-benar meninggalkan mereka. Ia menuju ruangan lain. Menuju ke dapur.

* * *

Ketika Ash dan Ashe sedang menunggu makanan mereka tiba, terjadi sesuatu yang tak terduga.

"[Freeze]"

Sebuah rapalan sihir. Itu dari Carol. Ia mengarahkan telapak tangannya kepada seorang pria yang mencoba untuk kabur. Namun, kedua kakinya membeku. Ia berusaha untuk melepaskan kakinya, tapi itu sia-sia.

Pria itu merupakan seorang petualang. Tubuhnya tinggi besar. Ia mengenakan pakaian berupa kaus kutang yang memamerkan otot-ototnya yang besar.

Para pelanggan di kafe ini hanya diam tak berkata apapun termasuk Ash dan Ashe.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?"

Nada bicara Carol lebih tinggi daripada ketika dia biasa berbicara.

"Kabur setelah makan disini dan tidak melakukan kewajibanmu dengan membayar, apa itu seorang pria!", kata Carol dengan keras.

"Kumohon lepaskan dulu aku. Aku pasti akan membayar."

"Apa aku percaya perkataanmu? Serahkan dulu uangnya, baru aku akan melepaskanmu."

Namun, pria itu mengeluarkan pedangnya. Ia tersenyum sinis. Namun pedang beserta tangannya ikut membeku. Ia sama sekali tak bisa menggerakkan tanggannya.

"Apa?!"

"Sekarang tak ada yang bisa kau lakukan."

Carol tersenyum puas.

"Cepatlah bayar. Sebelum aku melakukan sesuatu yang lebih kepadamu."

Sekarang pria itu ketakutan. Ia sama sekali tak berdaya. Dengan tangan kirinya, ia menjatuhkan beberapa lembar uang kertas ke lantai.

"Tolong biarkan aku pergi."

Saat sihir pembeku itu hilang, pria itu menyarungkan pedangnya dan langsung lari tunggang langgang.

Carol mengambil uang yang dijatuhkan pria tadi.

Nina bergegas setelah mendengar ada suara keributan itu. Ia melihat Carol terlibat dalam kejadian itu.

"Carol..."

Nina mengatakannya dengan khawatir.

* * *

"Semuanya, maafkan perbuatan saya."

Setelah kejadian itu, Carol meminta maaf kepada semua pengunjung kafe ini. Sekarang ibunya yaitu Bibi Sella juga ada disampingnya.

"Sebagai pemilik kafe ini, saya mohon maaf karena terjadi keributan disini. Sebagai permintaan maaf, saya berikan diskon untuk kalian semua."

Para pengunjung kafe bersorak. Mereka sepertinya sudah melupakan apa yang terjadi barusan.

"Ibu, maafkan aku."

"Tak apa. Yang kamu lakukan itu tidak salah."

"Tapi, bu, aku-"

Bibi Sella menyentuh pundak Carol sembari tersenyum.

"Lanjut bekerja."

"Iya."

Carol mengangguk.