Merasa namanya dipanggil Ansel menoleh ke sumber suara. Ia melihat ada Rawnie dan juga Bora di sana.
"Apa kau memanggilku?" tanya Ansel menunjuk dirinya sendiri dengan jari tangannya.
"Iya kemarilah sebentar."
Ansel menurut, ia berjalan mendekati mereka berdua.
"Aku bawakan beberapa makanan untukmu." Rawnie memberi salah satu kantong kresek yang dibawanya.
Ansel membuka dan melihat isi plastik tersebut. Ia mendapati beberapa macam kue serta ada makanan lain yang pastinya belum pernah ia makan sebelumya.
"Tidak ada makanan yang pedas ya?"
"Ansel kau ini kan-"
"Ada, ini ... Apa kau mau?" tawar Bora memotong perkataan Rawnie dengan cepat serta menyodorkan makanannya.
Makanan yang ada ditangannya diambil, namun bukan Ansel yang mengambilnya melainkan Rawnie.
"Apa-apaan kau ini, dia baru saja pulih dari sakitnya. Jangan memberinya makanan yang tidak sehat." Rawnie sedikit kesal dengan tawaran yang Bora berikan.
"Ah iya aku lupa, maafkan aku," ia tertawa kecil sedikit merasa bersalah.
Bora mengulurkan tangannya mengajak Ansel berkenalan. "Aku Bora kau bernama Ansel bukan?"
Ansel menerima uluran tangan itu tetapi dia tidak berekspresi apapun. Sejak kejadian di bar malam itu dia menjadi tidak terlalu mudah tertarik terhadap wanita, bisa dibilang cenderung lebih ingin menutup diri.
"Senang berkenalan denganmu."
"Sangatlah manis."
"Apa yang manis?"
Bora langsung tersadar ia sudah terlena dengan Ansel. Ia mencoba mencari alasan untuk menutupi perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya.
"Owh itu maksud aku makanan yang baru saja Rawnie belikan, aku sarankan agar kau tidak terlalu banyak memakannya jika tidak ingin diabetes."
"Tapikan makanan yang aku beli ini tidak terlalu manis, Bora," ucapnya guna meralat ucapan Bora.
Ansel menjadi bingung sendiri, entah mana yang harus dia percaya. Salah satu cara untuk membuktikannya adalah ketika ia memakannya.
"Tapikan Rawnie ...." Bora memberikan kode agar temannya bisa membantu dirinya menutupi kesalahannya dalam berucap tadi.
"Ah sudahlah kau ini sangat tidak jelas. Aku akan pergi ke atas sekarang untuk mandi." Rawnie menoleh ke arah Ansel, "jangan lupa minum obatmu nanti."
Ansel memutar bola matanya malas. "Iya Rawnie, kau ini sangat cerewet sampai-sampai menyuruh Harsya beberapa kali agar aku minum obat."
Meskipun tidak berada dirumah Rawnie tetap mengingat jam Ansel minum obat. Ia tidak bosan menanyakan kepada Harsya apakah Ansel sudah meminum obatnya. Tapi bagi Ansel hal itu sangat berlebihan baginya, dia bukan lagi anak kecil yang harus dipaksa untuk minum obat. Dia pasti memiliki kesadaran diri untuk meminumnya, toh itu juga untuk kesembuhannya.
"Aku senang karena kau sudah melakukannya."
"Ayo, Bora! Kau tadi bilang ingin cepat-cepat membersihkan badanmu."
"Iya-iya." Bora menurut mengikuti Rawnie yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Tapi ia juga sesekali masih menghadap kebelakang untuk melihat Ansel. Yang dipandang jadi bingung harus bersikap seperti apa. Tidak nyaman namun merasa tidak enak juga jika dia mengabaikannya.
"Rawnie aku baru tahu ternyata Ansel begitu tampan. Astaga aku heran seperti apa kau memotret dirinya saat itu, jauh berbeda dengan yang aku lihat sekarang. Kau ini kan seorang model tapi ternyata tidak pandai memotret orang dengan benar."
Sikap berlebihan yang sangat membosankan bagi Rawnie ini membuatnya ingin tutup telinga. Gadis itu kerap sekali bersikap lebay saat memuji seorang pria. Rawnie selalu berharap jika sahabatnya ini segera sadar akan perilaku gilanya itu.
"Kenapa kau jadi menyalahkan ku? Dari foto maupun secara nyata dia tetap sama kelihatannya."
Bora menentang dengan gelengan keras. "Tidak-tidak Rawnie! Dia jauh lebih tampan. Aku sangat yakin jika dia memiliki keturunan dari negara lain, yang jelas bukan asli orang Indonesia."
"Terserah apa katamu!" Rawnie melempar pakaian kotornya tepat di wajah Bora membuat dirinya berteriak kesal.
"Rawnie! Kau ini jorok sekali!"
***
Ansel saat ini sedang berada di tepi kolam renang. Karena jenuh berdiam dikamar sepertinya tempat itu cocok untuk Ansel sekedar menghirup angin malam. Belum terlalu malam juga untuk dirinya berada di luar mansion. Ia menatap langit mendapati banyak kerlipan bintang di atas sana. Senyum tipis mulai terlihat saat Ansel melihat bintang tersebut, ternyata kesunyian malam serta cahaya benda langit berhasil menenangkan hatinya.
Meskipun kehidupannya sekarang layaknya seorang raja yang apapun serba ada tetapi hal itu tidak membuatnya bahagia. Walaupun dulunya ia letih bekerja demi uang, namun ada sebuah bahagia yang tersimpan meski hanya sedikit. Ansel pikir Rawnie memanglah keturunan anak konglomerat. Sudah selama ini ia tinggal pada bangunan megah itu, sudah menghabiskan banyak makanan, pun tempat tinggal, namun hingga sekarang tidak pernah Rawnie mempermasalahkan hal itu.
"Ansel." Rawnie yang tidak sengaja melewati kolam renang dan melihat Ansel berada di sana sendiri segera menghampirinya.
"Ansel mengapa kau ada disini? Astaga kau benar-benar keras kepala ya. Angin malam tidak baik untuk kesehatan apalagi kamu itu belum sembuh total. Sekarang cepat masuk kamar atau kau akan kedinginan nantinya."
Terlihat saat Rawnie berbicara, Ansel menyadari jika perempuan itu khawatir terhadap dirinya. Dia senang diperlukan seperti itu daripada sebelumnya. Semenjak kecelakaan saat itu Ansel tidak lagi mendapati sikap Rawnie yang menyebalkan. Tapi jika dia terlalu khawatir seperti itu juga tidak baik sebenarnya. Akan memungkinkan menarik hal yang seharusnya tidak perlu terjadi.
"Aku tahu angin malam memang tidak baik tapi aku merasa suntuk berada di dalam. Tolong beri aku waktu untuk menikmati suasana malam sebentar saja." Ansel harap perempuan itu mengerti dan memberikan izin kepadanya.
Rawnie pasrah ia juga merasa kasian terhadap Ansel. Ia mengurung dirinya layaknya burung dalam sangkar. Mungkin tidak ada salahnya ia memberi sedikit kebebasan untuk Ansel sekarang.
"Baiklah aku mengizinkanmu, tapi aku akan mengambilkan jaket untukmu."
"Tunggu!"
Rawnie membalikkan tubuhnya. "Kenapa?"
"Aku tidak perlu itu Rawnie. Jika kau tidak keberatan maka temani aku duduk disini. Aku hanya butuh teman untuk bercerita, kau tidak perlu takut aku kedinginan. Lagipula aku memakai pakaian panjang dan itu cukup untuk menghangatkan tubuhku," ucap Ansel mencegah Rawnie ketika hendak pergi.
Rawnie mnuruti ucapan pria itu. Mereka duduk bersebelahan saling menikmati setiap desiran angin yang berhembus lirih membawa kenyamanan.
"Apa kau pernah merasa lelah saat menjalani kehidupanmu?" tanya Ansel membuka percakapan diantara mereka berdua.
"Kupikir jika kau bertanya kepada siapapun maka jawabannya akan sama. Lelah, letih itu sudah menjadi porosnya kehidupan, semua pasti merasakan," ujar Rawnie masih menatap lurus ke depan.
"Kau benar, sejujurnya aku ingin seperti mereka yang dengan sabarnya bisa melewati semua itu. Tapi nyatanya aku tidak bisa sesabar dan seikhlas itu. Apa mungkin jika cobaan yang mereka alami tidak sebanding denganku?"
Rawnie menatap lekat manik mata lelaki yang kini menjadi teman bicaranya.
"Tidak Ansel tidak seperti itu. Setiap manusia memang mendapat cobaan yang berbeda-beda, tapi semua itu sudah ada takarannya. Tuhan pasti bersikap adil. Jika sekarang ujian yang kau dapatkan cukup berat yakinlah bahwa dirimu hebat dan kuat, itulah kenapa Tuhan memilih dirimu dalam posisi itu."