Mereka sedang menikmati makan malamnya dengan canggung. Papa duduk di kepala meja. Di sisi kirinya terdapat Mama, Kimberly dan Thalia. Di sisi kanan Papa terdapat Om Rizal, Tante Rini dan 'orang itu'. Luna duduk di kepala meja satunya, berhadapan dengan Papa. Bisa dikatakan Luna duduk tepat disebelah 'orang itu'.
Beberapa pasang mata dari masing-masing orang akan menatap orang itu. Luna sendiri hanya menunduk menatap makanannya. Yang terdengar di meja makan hanya suara dentingan piring dengan sendok. Atau cekikikan lirih dua orang gadis setiap menatap 'orang itu'.
"Oh jadi ini anak kamu Jeng?" tanya Mama saat semua orang sudah menghabiskan hidangan utamanya. Ia mencoba memecah suasana.
Tante Rini terlihat kikuk wajahnya agak memerah dan menahan jengkel. "Ii... iya Jeng Win. Ini Daniel, kakak Demian. Anak sulung saya." Mama membalas dengan senyum dan anggukan kepala. Terdengar kembali cekikikan.
"Ehm... Dan, kamu masih kenal Om Arman kan? Perusahaannya pernah bermasalahan dengan salah satu manager perusahaan karena kesalahan iklan. Ingat?" tanya Om Rizal.
'Orang itu' – Daniel – mengangguk. "I-i... inget Dad." Jawabnya. Luna mengangkat wajahnya. Ia melihat ekspresi Daniel yang nampak tenang. Tapi anehnya, suaranya terdengar gagap. Om Rizal yang malah mengernyit aneh.
"Ini anakku Man, Daniel namanya. Daniello Alexander Abrams, tepatnya."
"Ya, ya. Kamu gak terlalu menampilkan profil kamu di publik, Daniel, jadi Om baru tahu penampilan kamu." Katanya dengan penekanan di satu kata. "Ini istri Om. Kamu bisa memanggilnya Tante Win." Katanya seraya merangkul sang istri. "Disebelahnya anak tertua Om, namanya Kimberly, tunangan Arkhan, teman adik kamu Demian." Lanjutnya menunjuk Kimberly. "Lalu disana Thalia. Dia seorang model. Ibumu mengenalnya saat sebagai juri. Bukan begitu?" katanya seraya menunjuk Thalia. Orang-orang yang ditunjuk merespon dengan senyuman. "Dan terakhir disana, Luna. Dia lebih muda dari Kimberly, hanya selisih sedikit dengan Thalia."
Daniel terlihat mengangguk. Dia merasa aneh, saat teman ayahnya hanya mengenalkan anaknya yang terakhir dengan sepintas lalu.
"Nah, Luna. Bagaimana kalo kamu mengajak Daniel mengobrol? Kamu bisa mengajaknya ke taman." Ujar Papanya. Bukan meminta tapi memerintah.
***
*Flashback on*
Semua orang terdiam mengalihkan perhatian pada orang yang ada di akses masuk ruang tengah. Seorang pria.
"Se-selamat ma-malam." Sapanya sopan.
Semua orang terkesima menatapnya. Bukan. Bukan tatapan kagum. Namun, tatapan heran yang terpancar. Semua masih menatap heran, namun sepasang tamu di ruangan itu mulai menampakkan ekspresi aneh.
"Lo siapa?" tanya Thalia dingin.
Pria itu menggaruk kepalanya. Kutuan kah?
Om Rizal berdehem. "Ini... ini anakku Daniel."
Lagi, semua nampak heran ditambah kaget. Semua menatap pria itu dengan pandangan tak percaya. Mama dan Papa memasang senyum kikuk. Kimberly dan Thalia memasang senyum miring, meremehkan dan nampak menahan tawa. Luna hanya menatap datar. What? Apa yang aneh? Semua orang punya gayanya sendiri, pikirnya. Lagi-lagi ia merasa asing karena tak dapat berekspresi serupa dengan yang lain.
Yeah, penampilan pria itu memang unik. Ia mengenakan sepatu pantofel hitam dengan kaus kaki putih. Celana bahan yang nampak kebesaran mencapai atas mata kaki – sehingga kaus kaki dapat terlihat. Kemeja putih yang dilapisi jas kebesaran dengan warna serupa jasnya. Tampilannya dilengkapi dengan dasi kupu-kupu. Kacamata tebal dan besar menutup matanya, serta tatanan rambut rapi – kelewat rapi – dengan belahan yang nampak licin dan klimis menyempurnakan penampilannya. Well, ini yang disebut unik.
Orang lain mungkin akan menyebut penampilan ini dengan sebutan nerd style atau geek style. Namun, itu bukan masalah untuk Luna. Ia terbiasa bergaul dengan siapa saja saat di Australia. Ia akan berteman dengan semua orang yang tidak pernah meremehkannya – karena nada suaranya -, tidak terkecuali. Ia punya kenalan dari anak punk, eksekutif muda, anak muda jaman now, pegawai magang, buruh bangunan, dan banyak lainnya. Penampilan seperti ini sangat biasa baginya.
*Flashback off*
Orang itu – Daniel – berdehem, menyadarkan Luna dari lamunannya. "Ja-jadi nama kamu Luna." Ucapnya, lebih pernyataan daripada pertanyaan.
Luna terdiam sejenak. "Iya." Katanya menunduk.
Daniel mengernyit. Lirih. Suaranya terlalu lirih. Ia tidak dapat mendengar jelas. Bahkan ia belum dapat menebak sifat gadis ini karena selalu menunduk. Yap, menilai. Ia terbiasa menilai sifat seseorang terlebih dahulu sebelum mengenalnya. Ia seorang pengusaha. Ia harus cermat dalam menilai agar tidak mudah ditipu. Lagipula, baginya ini semacam kesenangan, seperti saat ia berhasil menebak sifat seseorang baik atau buruk hanya dengan sekali tatap. Tidak ada yang didapat atau dipertaruhkan, hanya kesenangan semata karena berhasil menilai tanpa harus membuang waktu untuk mengenal.
"Ka-kata Daddy kamu lulusan Australia ya? Ambil jurusan apa?"
Luna mengangkat wajahnya, menarik napas dalam sebelum mulai bicara. Jika benar Papanya mempunyai rencana dengan pertemuan ini, ia harus berani menghadapinya.
"Interior design." Luna harus berusaha tetap menahan dorongan untuk mengalihkan pandangan melihat lawannya mengernyit.
Daniel mengernyit mendengar suara Luna. Suaranya mengganggu. Sangat mengganggu. Tiba-tiba seperti ada yang keluar dari ingatannya. Ia merasa pernah mendengar suara ini. Suara ini nampak familiar. Terasa dekat. Seperti suara orang yang telah dikenalnya – membekas di otaknya, namun lama tak dijumpainya. Siapa? Lama Daniel termangu, melupakan keberadaan Luna yang mati-matian mempertahankan pandangannya.
Namun, Luna kecewa saat lama menunggu Daniel tidak juga bersuara. Ia akhirnya mengalihkan perhatian ke kolam ikan di hadapannya. Daniel masih terdiam.
"Sebaiknya kita..." Luna baru akan berdiri saat Daniel mulai bicara.
"Apa... apakah kita pernah bertemu?" tanyanya. Kini matanya menatap Luna intens.
Luna ikut yang sudah berdiri kembali duduk. Dalam hati ia berseru senang. Pertama karena pria di sebelahnya kembali membuka obrolan sehingga ia bisa tetap disini. Di luar. Jauh dari orang-orang di dalam yang membuatnya tidak nyaman. Bukan karena ia sudah merasa nyaman dengan pria ini, namun bersama satu orang asing lebih baik dari pada enam orang asing. Terlebih mata biru itu. Sangat menenangkan dan menenggelamkannya.
Adalagi alasan lain yang membuatnya senang. Ia senang karena akhirnya dapat berekspresi seperti yang lainnya. Mengernyit.
Ia heran dengan perkataan Daniel. Bertemu? Kapan? Dimana? Luna merasa ini kali pertama ia bertemu dengan pria disebelahnya ini. Apa ia lupa pernah berhutang pada seseorang dan lupa membayarnya? Jangan-jangan pekerjaan sampingan pria ini renternir? Tapi ia merasa tak pernah memiliki hutang. Atau ada seseorang yang memalsukan identitas dengan miliknya untuk berhutang – aish, sudahlah, rutuk Luna dalam hati.
Pikirannya justru melenceng kemana-mana. Tanpa sadar Luna memukul kepalanya sendiri. Membuat pria – Daniel – dapat melihat lebih jelas karena Luna tak lagi menunduk. Menunduk setelah tak tahan tenggelam menatap mata pria itu.
Manis. Cantik. Terlihat pintar. Pendiam. Ramah. Baik. Baik? Apa iya? Dari semua orang yang berekspresi biasa dan tidak meremehkan, hanya gadis ini. Ia bahkan terlihat datar dan tidak tertarik. Atau itukah ekspresi jijik dan meremehkannya? Datar, tak beriak dan tampak tak peduli. Daniel merasa harus mengenal lebih dalam sosok ini, ia tidak ingin salah menilai.
Daniel sempat kesal dengan keinginan Mommy untuk mengenalkan seseorang padanya. Sudah berkali-kali ia mengenalkan wanita kepadanya. Saat di Amerika, ia masih dapat mengelak dan berbuat sesuka hati untuk menghindari wanita yang dikenalkan Mommy. Namun, sialnya disini, saat ia yang baru tiba dan masih jet lag diminta – paksa – untuk menemui orang pilihan Mommynya. Pertemuan secara keluarga pula. Ia sempat uring-uringan hingga memikirkan cara konyol untuk mengelak pertemuan dari ini.
Nah, kalo benar gadis dihadapannya ini akan dijodohkan dengannya, ia harus mengenal betul sifat dan perangai gadis ini. Menguntungkan atau merepotkan. Ya, lagi-lagi, sebagai pembisnis ia tetap harus memperhitungkan segala keuntungan yang dapat ia raup.
"Ehmm... sepertinya ini pertama kali kita bertemu. Apa kamu punya pekerjaan sampingan?" tanya Luna memberanikan diri mengkonfirmasi 'hutang' seseorang. Siapa tau pikiran melanturnya benar.
Daniel nampak berpikir. "Pe-pekerjaan sam-sampingan? Kalo kamu berpikir mempro-produseri film, i-ikut menilai kelayakan tayangan te-televisi dan menjadi do-dosen tamu merupakan pe-pekerjaan sampingan? Ma-maka jawabannya iya."
Luna menghela napas lega. Daniel melihatnya dan tersenyum tipis. Ia menyukai ekspresi di wajah gadis ini, tentu saja saat ia merasa nyaman. Bukan tertekan seperti saat di dalam tadi.
Entah apa yang ada dipikiran gadis ini. Daniel hanya berpikir mungkin gadis ini lega karena ia tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang legging di tanah abang.
"Aku boleh bertanya? Ini sedikit tidak sopan mungkin?" Luna bertanya dengan suara seraknya. Entahlah, Daniel merasa terlalu lelah mungkin. Ia merasa suara Luna mengganggu pikirannya. Bukan mengganggu yang menyebalkan, namun seperti sesuatu yang menari-nari di otak, menempel tak mau hilang dan membuatnya tenang. Daniel mengangguk akan pertanyaan Luna.
"Kamu betulan gagap? Mm... I mean, beberapa kalimat kamu ucapkan dengan lancar, beberapa kamu ucapkan tersendat. Maaf, tapi kamu seperti hanya tergagap saat kamu ingat harus terlihat begitu. Anu... aku punya beberapa teman yang gagap, gagu bahkan bisu. Namun, cara bicaramu berbeda. Eh, sudah lupakan saja, aku tadi..."
Luna merasa tidak enak mengutarakan pikirannya. Ia memang sering menjadi pribadi 'kepo' pada orang yang sudah membuatnya nyaman. Ia jadi merasa bebas mengeluarkan pikirannya. Namun, ia langsung menyadari bahwa ia tidak sedekat itu untuk menanyakan hal yang mungkin sensitif. Ia bahkan baru bertemu pria ini kurang dari 2 jam.
Betul tebakannya, tak hanya cantik, ia juga pintar, pikir Daniel. Namun, tak ayal pertanyaannya membuat Daniel harus berhati-hati. Kalo baru sebentar saja gadis itu sudah menyadari keanehannya, bagaimana nanti. Percuma saja segala rencana konyol yang dilakukannya. Ia cukup terkejut dengan tebakan gadis itu yang tepat, namun ekspresi Daniel tetap tenang.
"Kamu benar. Aku memang tidak gagap. Aku hanya merasa harus melakukan itu."
Jawaban Daniel membuat Luna terperangah.