Chereads / Beautiful Voice / Chapter 5 - 5. El

Chapter 5 - 5. El

Luna kembali ke rumah saat menjelang makan malam. Ia cukup lelah setelah menjemput Mellisa dari bandara ke apartemen mereka, dilanjutkan dengan mengantar Mellisa berbelanja keperluan mereka. Ya, mengantar. Karena sepanjang berbelanja, Mellisa lah yang menentukan barang, model hingga merk yang akan dibeli.

Luna tidak banyak mengeluh. Ia bukan tipe orang yang banyak mau, ia juga bukan perfeksionis yang menginginkan kesempurnaan. Lagipula, selama di Aussie, Mellisa yang mengambil jurusan Financial Management memang menjadi personal finance-nya. Bahkan terkadang Mellisa merangkap sebagai personal shopper-nya. Luna buta fashion, selain itu dia selalu bingung menggunakan uangnya sehingga ia membutuhkan sahabatnya untuk membantu permasalahannya.

Luna tidak nyaman menggunakan mobil pinjaman terlalu lama. Biarpun itu milik Mamanya dan tersedia banyak mobil lainnya di rumah. Ia tetap tidak nyaman. Ia sudah berniat untuk membeli mobil baru setelah selesai mengurus administrasi kepindahannya. Ia memang hanya memegang visa selama di Australia, namun ia butuh mengupdate identitasnya disini, mengingat kepergiannya ke Australia sebelum berumur 17 tahun.

Sebelum semua beres, Luna berencana untuk meminjam kendaraan teman-temannya. Atau ia berpikir untuk menyewa kendaraan saja. Itu akan ia bicarakan dengan Mellisa.

Memasuki kamar, Luna membersihkan diri dan sedikit menggunakan krim-krim malam. Selesai berberes, saat ia akan mengambil ponsel terdengar ketukan pintu. Luna mengernyit, ia mendekati pintu dan membukanya.

Disana Thalia berdiri dengan malas. Sebuah senyum sinis langsung tersungging di bibirnya.

Luna berdehem. Kebiasaan. Berharap suaranya membaik, tapi percuma. "Ada apa Tha?" Luna tidak tersenyum. Ia memapilkan wajah datar. Ia tidak ingin membuang energi yang tidak diperlukan. Percuma.

"Pangerang kodok lo dateng tuh! Ada yang mau dibicarain katanya."

Pangeran kodok? Siapa? Luna menatap Thalia heran. Ia berpikir mungkinkah Thalia mengigau bertemu pangeran kodok dari Disney ke rumah kami?

Melihat wajah heran dan tak adanya tanggapan dari Luna Thalia mendengus. "Pangeran kodok itu cowo kemaren yang pake kacamata pantat botol, baju oversize dan rambut klimis, a.k.a your future fiance, idiot!"

Begitu Thalia mengatakan 'cowo kemaren yang pake kacamata' pikiran Luna langsung merujuk ke sosok Daniel. Apa iya? "Daniello maksud kamu?" tanyanya menegaskan.

Thalia memutar bola matanya jengah. "Duh! Iya. Gitu pake di jelasin. Udah cepetan turun, manja banget pake di panggilin ke kamar, sadar diri kek kalo cuma numpang."

Luna tak menghiraukan ucapan Thalia. Ia bergegas menutup pintu dan melewati Thalia. Saat melewatinya, ia mendengar Thalia mengucapkan kata "Kalian cocok banget. Perfect couple ever. Yang satu suaranya menyeramkan, yang satu penampilannya menyedihkan. Hihi."

***

Luna langsung mencari sosok Daniel di ruang tengah. Namun, ternyata tidak ada. Dimana?, pikirnya. Ia melihat palayan melewati ruang tengah menuju dapur. Luna menghentikan pelayan itu. "Mbak, liat tamu saya?" tanya Luna.

Pelayan itu merasa dipanggil menoleh ke arah Luna. Ia tidak mendengar jelas suara majikannya. Akhirnya ia mendekati majikannya itu. "Ada apa Non?"

Luna menghela nepas. Berdehem. "Liat tamu saya? Daniel, yang kemarin kemari."

"Oh, Tuan Daniel sedang di taman belakang bersama Tuan Besar, Non." Jawabnya.

Luna mengangguk, memberikan senyum. "Terima kasih." Ia langsung berjalan menuju taman belakang. Tempat ia dan Daniel bicara kemarin malam.

Luna melihat Daniel dan Papanya sedang bercengkrama. Papanya terlihat lebih banyak bicara, Daniel lebih banyak mengangguk dan sedikit menanggapai. Papanya memang orang yang hangat, ia selalu berusaha mencari topik pembicaraan dengan lawan bicaranya. Hanya saja, Luna merasa tidak nyaman.

Luna mendekati mereka dan berdehem. Papa dan Daniel sama-sama menoleh. Papanya tersenyum, begitu juga Daniel. Luna membalas senyum mereka.

"Nah, Luna sudah datang, kalau begitu Om tinggal dulu, Dan." Katanya seraya berdiri dan menepuk bahu Daniel. Ia mengacak rambut Luna dan mulai meninggalkan mereka berdua.

Luna duduk di kursi Papanya tadi. Mereka diam, belum ada yang berbicara. Luna selalu merasa aneh saat berada dalam suasana hening dengan pria di sebelahnya. Ia tidak merasa risih dan justru menikmati keheningan di antaranya. Bukan berarti ia tidak suka adanya pembicaraan di antara keduanya, ia juga menikmatinya.

Luna melihat sekilas penampilan Daniel. Pria itu mengenakan polo shirt lengan panjang dan celana bahan menggantung seperti kemarin dengan ukuran yang sama besarnya. Wajahnya nampak segar, namun terlihat sedikit gurat lelah, mungkin ia baru pulang bekerja. Tetap memakai kacamata kemarin dan tatanan rambut klimis yang sama, yang berbeda rambutnya nampak beberapa senti lebih pendek. Atau Luna salah lihat?

"Kamu... potong rambut?" tanya Luna.

Daniel tersenyum dan menoleh ke arah Luna. Ia terkekeh kecil, menggaruk belakang kepalanya sekilas. "Iya. Kamu sadar? Padahal aku cuma potong sedikit. Sepanjang hari gak ada yang berkomentar, baru kamu." Daniel tersenyum tipis. "Lagian mereka juga pasti maleslah merhatiin penampilan aneh aku. Hehe." tambahnya santai.

Luna membalas senyum. "Nggak kok, emang gak terlalu jelas. Aku juga takut salah liat makanya aku tanya. Hmm... kamu gak aneh kok. Kamu unik." Ujar Luna.

Daniel mengernyit. Dalam hati ia ingin tertawa. Unik? God, gadis ini. Apa yang sebenarnya ia lihat? Tidak cukupkah penampilannya membuat gadis ini menjauh. Apa lagi? Apa karena nama Abrams? Namun, ia tidak dapat melihat kesan matrealistik pada penampilannya. Atau belum? Semakin ia mengetahui gadis ini, semakin ia ingin mengenal gadis ini. Ia memang polos seperti kelihatannya atau ini hanya topeng?

"Unik? Well, yeah, unik atau aneh, memang punya arti yang hampir sama."

"El, kenapa bilang begitu." Ucap Luna tidak terima. "Semua orang punya stylenya masing-masing. Aku percaya kamu juga. Aku tau gak sulit membuat penampilan kamu sekelas artis hollywood kalo kamu mau. Tapi yang sulit itu menjadi diri sendiri, mengungkapkan jati diri kita ke orang lain. Aku sendiri gak mungkin seberani kamu." Katanya sambil mengulas senyum menenangkan.

Senyumnya memang menenangkan. Ada yang aneh dengan dadanya, seperti ada yang bergemuruh. Tapi apa? Dan,El? Siapa El? Apa gadis ini mengetahui namaku? Apa dia tak mendengarkan saat Daddy mengenalkanku padanya?, batin Daniel.

El? El?

Flashback on

"te-terima ka-sih Kak El, ss-sudah menemaniku dis-sini. Aku ber-erdoa a-tas kes-sembuh-an ib-ibumu."ucap seorang gadis kecil dengan terbata-bata. Bayangan gadis kecil manis dengan senyum merekah di wajah sendunya. Ia sadar gadis kecil itu sedih karena harus kembali sendirian di tempat asing yang mengerikan ini. Suaranya serak dan bicaranya terbata, setiap mengeluarkan suara tubuhnya sedikit bergetar. Seolah ia mengeluarkan segenap tenaga untuk mengeluarkan suaranya. Namun gadis kecil itu cantik, sangat cantik dan murung.

Flashback off

Ingatan Daniel yang sempat kembali saat umurnya 13 tahun membuatnya sedikit sendu. Hal itu ditangkap oleh Luna. Luna merasa salah bicara.

"Mmm... maaf kalo aku menyinggung kamu El. Aku hanya ingin kamu tidak merasa disisihkan karena penampilanmu." Luna mencoba meminta maaf. "Kamu tau, aku punya teman di Aussie, ia seorang yang perfeksionis. Ia sangat menyukai keselarasan, hingga penampilannya pun harus selaras. Ia selalu memakai pakaian yang matching. Misal hari ini ia memakai pakaian merah, bawahan pun berwarna merah, hingga sepatu, tas, serta asesoris pun berwarna merah. Pernah, ia menggunakan motif polkadot, semua yang melekat di kulitnya juga bermotif senada. Kalo aku tak bertanya, aku tak kan tau kalo pakaian dalamnya pun berwarna senada." Senyum kembali tersungging di wajah Luna saat mengingat keunikan-keunikan orang yang menjadi temannya. Ia tertawa lirih, berpikir apakah ia adalah magnet yang menarik orang-orang unik itu. Dan Luna juga tertawa karena merasa ia cukup banyak bicara malam ini, dengan orang yang baru dikenalnya kemarin.

Perkataan dan tawa lirih Luna menyadarkan pikiran Daniel yang sempat terbang ke dimensi waktu yang lain. Ia ikut tersenyum dan tertawa mendengar Luna. Bukan karena ceritanya, namun tawanya. Sangat mengundang.

"Oh... tadi kamu memanggilku El? Kamu tau namaku kan?" tanyanya heran.

Luna kembali menoleh ke Daniel. "Eh? Maaf, memang seharusnya aku memanggilmu apa?" Luna meringis merasa tidak enak. Ia takut Daniel tidak nyaman dengan panggilannya. "Nama kamu Daniello kan?"

Daniel mengangguk. Gadis ini tau namanya, namun kenapa memanggil dengan penggalan yang tidak biasa?

"Tidak ada orang yang memanggilku seperti itu sebelumnya." Selain gadis kecil itu, tambahnya dalam hati.

"Kamu tidak nyaman ya? Aku berpikir, penggalan Nil, tapi mungkin akan lebih membuat tidak nyaman. Bagaimana aku harus memanggilmu?" tanya Luna. Ia menggingat memiliki teman bernama Daniel dan temannya itu sangat tidak suka dipanggil 'Nil. Seperti kudanil katanya. Sedangkan untuk memenggal menjadi 'Dan', ia takut orang akan bingung dengan kata 'dan' sebagai kata sambung. Ia selalu merasa kasihan dengan orang dengan nama yang sulit dipenggal.

Daniel tersenyum. Ia menebak ke arah mana penggalan 'Nil' ini. "Orang-orang biasa memanggilku 'Dan'. Tapi aku suka kamu memanggilku El. El untuk Niel atau Ello?" tanyanya.

"Untuk Niel." Luna tersenyum makin lebar. Ia senang panggilannya tidak menyakiti orang lain. Apalagi pria disebelahnya, ia merasa tidak ingin menyinggung pria ini. Tapi...

Daniel kembali mengangguk. "Aku tidak punya nomor ponselmu." Seru Daniel. "Kalo boleh, aku berniat mengantar jemput kamu. Kamu bisa menghubungiku kalo membutuhkan bantuanku." Sahutnya. Ia kembali teringat tujuannya datang kemari. Bukan bohong sepenuhnya, ia bisa saja mendapatkan nomor ponsel gadis ini dengan mudah. Tapi ia butuh alasan.

"Ah... iya kita belum tukar kontak. Bisa kamu catat nomor ponsel kamu?" kata Luna seraya menyerahkan ponsel digenggamannya.

Daniel mencatat nomor pribadinya ke kontak ponsel Luna. Nomor pribadi yang hanya ia berikan pada orang terdekat saja, terutama keluarga. Setelah selesai ia menggunakan ponsel Luna untuk memanggil nomornya. Terdengar bunyi dering dari ponsel di saku celananya. Ia mematikan panggilan itu dan mengeluarkan ponselnya sendiri. Ia menyerahkan ponsel Luna.

"Aku sudah menyimpan nomorku. Aku menyimpan dengan nama Daniello. Aku juga akan menyimpan nomormu." Kata Daniel. Luna mengambil ponselnya dan menyerukan terima kasih dengan lirih.