Ini hari Senin. Luna akan memulai harinya dengan menghadiri panggilan wawancara di sebuah perusahaan. Ia sudah mengirim lamarannya sudah sejak memutuskan akan kembali ke Indonesia. Sekitar dua bulan sebelum kepindahannya. Dan kemarin, ia baru sempat memeriksa email dan ternyata ada balasan dari perusahaan itu.
Ruben memang sudah berjanji mencarikan posisi yang tepat dan mungkin kosong di kantornya bekerja, tapi ia tidak mau menutup kesempatan yang ada.
Perusahaan tempatnya melamar ini memang perusahaan baru yang sedang merintis, sehingga terlihat membuka lowongan secara besar-besaran. Melihat visi dan misi dari perusahaan ini membuat Luna sangat tertarik dan dapat memperkirakan kredibilitas perusahaan tersebut walaupun masih sangat baru.
Luna keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi. Saat di dapur ia menemukan Mellisa sedang sarapan di meja bar dengan penampilan yang juga rapi.
Ya. Luna dan Mellisa sama-sama akan mulai mencari sesuap nasi untuk kelangsungan hidup. Bedanya, Luna menyanggupi panggilan wawancara setelah mengirim lamaran. Mellisa menghadiri panggilan wawancara setelah menghubungi mantan pacarnya, pegawai HRD di salah satu perusahaan di bidang pariwisata.
Ya. Semudah itu bagi Mellisa. Baru menghubungi kemarin, pagi ini disuruh menghadap. Mellisa dengan kemampuan sosialisasinya, sedangkan Luna dengan kerja kerasnya.
Setelah mengikuti Mellisa sarapan. Mereka segera menuju parkiran untuk berangkat bersama dengan Luna sebagai ojek girl. Bukan karena, Luna yang terlalu baik hati atau Mellisa yang terlalu arogan, ini murni kebetulan tempat tujuan Luna melewati tempat tujuan Mellisa.
Setelah mengedrop Mellisa di depan gerbang kantornya, Luna langsung tancap gas. Meninggalkan Mellisa yang masih bersungut-sungut karena harus jalan puluhan meter dengan heels barunya.
Luna memandangi plat nama kantor yang akan di masukinya. ABR'S CONSTRUCTION. Itu yang tertulis. Yap, kantor di bidang konstruksi memang, namun ia melamar di bagian interior designnya.
Ia menghampiri resepsionis. Salah satunya sibuk menerima telepon dan satunya sibuk menulis sesuatu. Keduanya terlihat repot dan tidak menyadari kehadiran Luna.
Luna berdehem. Belum ada respon.
Luna mengetuk meja resepsionis. Direspon dengan tangan terangkat. Isyarat menunggu.
Lama menunggu. Luna mulai menyapa. Berdehem pelan. "Permisi." Suara yang diharapkannya tidak terwujud. Alih-alih lembut dan sopan dengan intonasi yang tepat, justru serak mengerikan dan lantang.
Responnya, kedua resepsionis sok sibuk itu berjengit kaget hampir melonjak. Keduanya menoleh bersamaan. Luna hanya nyengir bersalah. Si penerima telepon kesal dan tampak tak bisa diganggu. Ia malah membalikan tubuhnya membelakangi Luna dan menyenggol temannya si penulis pesan.
Si penulis pesan berdiri ogah-ogahan, mendengus dan menatap Luna dengan tajam. Luna tersenyum kecut. Kalau begini mah, mending langsung nanya ke satpam aja, pikirnya.
"Ada yang bisa di bantu Ibu?" sapanya dengan senyum kaku.
Berdehem. "Iya. Saya menerima panggilan wawancara, kemana saya harus pergi?" tanyanya.
"Ooh, pelamar baru." Katanya meremehkan. "Dari sini, Ibu naik menggunakan lift disebelah sana..." ia menunjuk lift di sebelah kiri dari pintu masuk. "Langsung menuju ke lantai 4, bagian HRD. Ibu bisa langsung menemui Pak Kavi atau pegawai yang ditujuk di undangan interview." Dengan alis mengernyit, senyum terpaksa dan gigi merapat si penulis pesan mengarahkan.
Mengangguk. Berterima kasih pelan dengan senyuman di bibir. Luna menuju lift yang ditunjuk tadi.
Di lift ia membaca undangan wawancara di emailnya. Ia diperintahkan menemui Bapak Yudis. Sampai di lantai 4, ia langsung menghampiri satpam petugas di lantai itu dan bertanya.
Ternyata bukan hanya ia yang mendapat panggilan wawancara. Ada sekitar 7 orang termasuk Luna sedang menunggu sesuatu. Kursi tunggu hanya ada 5, terpaksa ia dan seorang pria menunggu dengan berdiri.
Tak lama, datang seorang menghampiri mereka dan mengabarkan pihak HRD sudah siap dan meminta pelamar mengumpulkan berkas yang diminta dan menunggu untuk di panggil.
Cukup lama menunggu gilirannya dipanggil. Beberapa keluar dengan wajah antusias, ada yang menunduk lesu, dan adapula yang nampak biasa. Luna berharap dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
Tiba gilirannya dipanggil. Ia menarik napas pelan, melancarkan pernapasannya dan – berharap memperbaiki – pita suaranya. Memasuki ruangan dan duduk di bangku di tengah ruangan di hadapan 2 orang. Luna sedikit heran. Di hadapannya di pisahkan meja panjang yang dibaliknya terdapat 3 bangku. Menandakan seharusnya ada 3 orang penguji.
"Sebelumnya memang Pak Direktur ikut mewawancara, tapi di pelamar keempat beliau harus menerima panggilan dan sepertinya hanya kami berdua yang akan mewawancara." Kata pengeksekusi pria. Ia terlihat ramah dan penuh senyum. "Siap?" tanyanya. Basa-basi, tentunya. Luna mengangguk asal. "Oke, saya Yudis dan disebelah saya Bu Naima."
Yudis ini terlihat seperti pria berkepala tiga atau berumur awal empat puluhan. Wajahnya ramah dan penuh senyum. Sedangkan Naima, merupakan gadis yang cantik dengan wajah jutek dan terlihat keras.
"Silahkan perkenalkan dirimu! Semua..." titah Yudis.
Naima melambaikan tangannya, memotong ucapan Yudis. "Aih... sudahlah Pak. Ini pelamar terakhir, saya bosan mendengar perkenalan diri yang itu-itu saja, sementara kita sudah membaca profilnya." Katanya dengan wajah malas. "Langsung eksekusi saja." Ia menyeringai. Terlihat semakin mengerikan.
Menghembuskan napas pelan. Yudis melanjutkan. "Iya. Hari Senin memang menyebalkan, apalagi ditambah datang bulan dan terjebak macet, bukan begitu Bu Naima." Sindirnya halus. Naima sendiri tampak biasa dan malah memutar bola matanya.. "Baik. Jadi kamu lulusan Australia?"
Luna mengangguk. "Iya benar." Mulainya. Seperti biasa orang akan mengernyit seperti Yudis, Naima hanya memiringkan kepala. Luna sudah terbiasa. "Saya lulusan Monash University, Australia, jurusan Interior Design yang syukurnya dengan predikat cumlaude."
Keduanya mengangguk. "Saya melihat banyak pengalaman dan penghargaan yang kamu terima. Alasan kamu melamar disini?"
"Masa pendidikan saya sudah usai. Dan waktunya saya melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang baik dengan kembali pulang dan membuat Indonesia lebih maju lagi." Luna menyebutkan alasan klasik para lulusan luar negeri.
"Kalo yang saya lihat, klien kamu pasti sudah banyak disana. Apa tidak rugi pindah ke perusahaan baru yang dalam tahap merintis ini?"
Luna tersenyum percaya diri. "Apa sih yang menjadi tolak ukur banyak atau sedikit klien? Atau saya biasa menyebut mereka partner. Karena bagi kami, partner itu lebih dari klien. Mereka adalah bagian dari bisnis kami, mereka juga men-support kami sehingga terus dapat berkembang dan menjadi lebih baik melalui opini, kemauan dan kritik mereka." Luna menarik napas sejenak.
"Menurut saya pribadi, banyaknya kolega tidak menentukan keberhasilan suatu bisnis. Tapi bagaimana mereka puas terhadap pelayanan yang kami berikan." Luna terdiam sebentar. "Dan apa saya rugi? Tentu tidak, justru perusahaan ini yang akan diuntungkan. Dalam bisnis, pebisnis yang baik bukan mereka yang mengejar klien tapi klien yang mencari mereka. Bukan begitu? Dan, saya sendiri akan berbangga diri menjadi bagian dari kesuksesan ABR's Construction ini."
Luna memperhatikan kedua orang dihadapannya. Mereka tampak puas, setidaknya itu yang tampak di wajah Yudis. Tapi di wajah Naima, ia nampak tidak terima dengan jawaban Luna.
Hinga terdengar tepuk tangan di salah satu sisi ruangan. Luna menoleh dan baru menyadari ada pintu lain di ruangan ini, mungkin menembus ke ruangan lain. Ia menemukan sesosok pria, tinggi, tubuh atletis, tampan dan berwajah ramah. Ia mengakui bahwa sosok itu merupakan tipe pria idaman semua wanita. Yeah, wanita, tidak terkecuali Luna. Wajahnya enak dipandang. Bahkan terkesan menjual.
Sosok pria itu mendekati meja dan duduk di salah satu kursi kosong. Mungkin pria ini pergi melewati pintu samping, sehingga Luna tidak melihatnya keluar atau masuk selama menunggu namanya dipanggil wawancara.
Pria itu tersenyum ramah. Naima yang diapit kedua pria ramah itu nampak jomplang. Namun terlihat ia sedikit menjaga sikap dari sebelumnya. Sedikit.
Pria itu membaca profil Luna singkat. Ia berdehem dan kembali tersenyum.
"Well, Ms. Melody saya suka jawaban kamu barusan. Mungkin bagi Pak Yudis dan Bu Naima sudah merasa cukup?" tanyanya pada kedua orang disebelahnya. Yudis dan Naima mengangguk dan bergumam cukup. "Nah, pertanyaan terakhir. Klise. Mengapa kami harus menerima Anda?"
"Saya sudah mendapat pelajaran dari tempat yang baik, kemampuan yang cukup diakui, pengalaman yang cukup dan tim yang solid. Saya yakin dapat membantu perusahaan dan saya juga berkeinginan menjadi bagian dari perusahaan ABR."
Wajah pria itu nampak bingung. "Kalo saya tidak salah menangkap. Sebelumnya Anda menyebutkan 'kami' berulang-ulang, tentu maknanya jamak. Lalu barusan tim yang solid, bisa dijelaskan."
Luna meringis. Ia sudah menebak ini. "Sebenarnya saya sudah mencantumkan ini di email dan di berkas yang Bapak dan Ibu pegang pun juga ada. Saya melamar di perusahaan ini sebagai tim, bukan perseorangan." Itulah maksudnya. Ia sudah menjelaskan secara detail di berkas. Namun, mungkin karena banyaknya berkas pendahuluan membuat penyeleksi dan pengeksekusi malas.
Ketiganya langsung mengangkat alis heran. Nampak jelas di wajah ketiga semakin tidak mengerti dan mulai membuka berkas Luna hingga akhir.
"Jadi maksud kamu, kamu melamar untuk 4 orang? 4 orang? Geez!" tanya Naima.
Luna tersenyum maklum. "Benar."
Naima tersenyum sinis. "Memangnya ada lamaran seperti ini. Ini lebih seperti kerjasama. Sama seperti kami hanya menyewa tenaga kamu dan bukannya mengangkat menjadi pegawai. Lagipula, apa yang membuat kamu yakin kami akan menerima kamu. Menerima mereka. Bahkan kami belum melihat mereka. Apa ini dapat dibenarkan?" katanya sambil menunjuk berkas dihadapannya.
Yudis nampak mengangguk setuju pada Naima. Pria satunya – yang tidak ia ketahui namanya – malah menatap Luna tajam. Wajah ramahnya tidak luntur. Ia hanya seperti menantang Luna untuk menjelaskan.
"Mereka juga baru selesai mengurus keperluan mereka untuk menetap disini. Dua dari orang di tim saya berkewarganegaraan luar sehingga membutuhkan visa. Malam ini mereka baru akan tiba disini. Saya tau mungkin berkas seperti itu saja tidak dapat memvalidasi kebenarannya. Namun, saya dapat menjamin keaslian berkas itu. Saya ketua tim itu dan beberapa sertifikat kami dapatkan bersama. Apabila masih belum cukup, kalo Anda sekalian berkenan mereka akan datang kesini dan turut melakukan wawancara. Anggap saja, kedatangan saya hari ini semacam lamaran pendahuluan. Saya yakin kalian tidak akan kecewa." Jelasnya panjang lebar.
Luna berdehem. Tenggorokannya sakit. Pertama karena terlalu tegang. Kedua karena banyak sekali kalimat persuasif yang dilontarkannya. Hal itu membuat suaranya semakin buruk. Ia hanya berharap hal ini tidak mempengaruhi penilaian.
Ketiga orang itu masih berkasak-kusuk berunding. Lebih kepada dua orang sebenarnya, Yudis dan Naima. Sedangkan pria tanpa nama hanya mengangguk atau menggeleng. Setelah diskusi selesai dengan Naima nampak semakin sinis.
"Baik. Kami akan luangkan waktu kami, terutama saya." Saat itu Naima langsung mendengus mendengar pria tanpa nama bicara. "Saya minta kehadirannya besok lusa dengan tim yang disampaikan Ms. Mellody." Ia berdiri, menatap ramah dan mengulurkan tangan.
Ini tanda untuk Luna mendekat dan balas menjabat. "Terima kasih, Pak, atas kesempatannya. Saya pasti akan datang besok lusa." Serunya antusias.
"Demian."
Luna mengangkat alisnya. Heran. "Maaf?"
Pria itu tersenyum. "Nama saya Demian, Nona Melody. Panggil saya Demian." Jelasnya.
Mulut Luna membulat lantas mengangguk paham. "Terima kasih Pak Demian." Tuturnya. Kemudian Luna menjabat Naima yang berwajah masam dan Yudis yang berwajah bingung.
Mbuh lah, moga aja ini berarti baik. Luna pun kaluar ruangan.
Pria itu, Demian, tersenyum miring. Ia masih mengawasi Luna dengan intens hingga tubuhnya tak terlihat. Aluna Melody. Well, finally I met her, batinnya.