Chereads / Beautiful Voice / Chapter 8 - 8. Ayo kita coba

Chapter 8 - 8. Ayo kita coba

Sore tadi setelah wawancara ia sedang bersantai di apartemennya. Ponselnya berdering menandakan voice call. Melihat caller id di layar, Luna langsung tersenyum lebar. Daniel penelponnya.

Pria itu sudah tiga hari berada di Singapura, urusan bisnis. Terakhir ia bertemu, saat Daniel mengantarnya ke apartemen. Lalu malamnya, Daniel menghubungi untuk sekedar minta maaf tidak dapat mengantar jemputnya dan mengabarkan akan berkunjung ke negara sebelah.

Luna merasa senang sekaligus sedih. Ia senang dan tersanjung dengan perlakuan Daniel. Ia merasa dianggap berarti hingga pria itu mau mengabarinya perihal hal remeh. Ia bukan siapa-siapa, itulah yang dipikirkannya. Namun pria itu sangat perhatian. Dan ia merasa sedih, karena akan jauh dengan pria itu. Entah kenapa perasaan melankolis itu tiba-tiba muncul. Membuatnya menjadi tidak nyaman. Sehingga ia menyembunyikannya dengan baik. Mengatakan baik-baik saja dan berpesan untuk makan teratur pada pria itu.

Nah, sore ini Daniel akhirnya menelpon. Luna memang menantikan telepon dari pria itu. Selama Daniel pergi, mereka berdua memang hanya bertukar kabar melalui pesan singkat. Ia berusaha menepis perasaan itu, namun ia hanya dapat berpura-pura tidak terlalu mempermasalahkan berharap dapat membohongi hatinya.

Di telepon itu, Daniel mengabarkan akan segera naik pesawat. Ia menelpon saat tengah menunggu pesawat lepas landas. Ia mengatakan akan datang ke apartemen Luna.

Dan benar saja, saat ia sedang berkutat dengan bahan makanan di dapur. Menyiapkan hidangan makan malam untuknya – Mellisa ada pertemuan dengan temannya, mengatakan tidak makan di rumah – bel apartemennya berbunyi.

Luna berhenti dari kegiatannya. Menghampiri pintu, mengintip melalui lubang intip dan mendapati sosok yang ia rindukan. Tanpa diminta wajahnya merona dan senyumnya melebar. Daniel di depan pintunya dengan penampilan uniknya dengan beberapa kantung di tangannya.

Daniel tersenyum menatap Luna. Luna membuka pintu lebar, membiarkan Daniel masuk. Entah Luna mulai terbiasa atau ia merasa sedikit lelah, Luna melihat Daniel berbeda dari sebelumnya. Terlihat lebih tampan. Tapi ia berani bersumpah, penampilan Daniel tidak ada yang berubah.

Luna menunjuk sofa, mempersilahkan Daniel duduk.

"Apa kabar... " kata Daniel.

"Gimana di..." kata Luna. Mereka mengucapakannya bersamaan. Terdiam sejenak, mereka tertawa bersamaan. Luna yang semula tegang karena antusias menjadi lebih santai.

Daniel melambaikan tangannya. Ladies first.

Luna ingin menanyakan keadaan Daniel selama disana, tapi ia ingat sedang memasak di dapur. "Hm... kamu udah makan?" tanyanya. Daniel mengedipkan matanya, dua kali. Menggeleng pelan. "Makan disini mau? Aku lagi masak di dapur. Yuk!" tanpa sadar Luna mengulurkan tangannya mengajak Daniel mengikutinya.

Daniel tersenyum senang dan menerima uluran tangan lembut itu.

Setelah meminta izin untuk menyelesaikan masakannya, Luna mulai berkutat dengan makanannya yang setengah jadi. Daniel mulai memperhatikan punggung Luna. Gerakan Luna nampak cekatan dan terlihat sangat cocok dengan apron membalut tubuhnya.

Daniel mulai mengkhayal akan mendapati pemandangan menakjubkan ini setiap harinya. Nanti. Saat ia meresmikan hubungannya dan memasuki jenjang sakral. Dengan Luna. Gadis pertama yang membuatnya mau berkomitmen.

Sekuat tenaga Daniel menahan diri agar tidak menyentuh gadis itu. Memeluknya erat. Ia sangat ingin melepas rindunya.

"Sebentar ya, El. Makanannya udah jadi tinggal aku tambahin daun seledri." Ucapan Luna menyadarkan lamunan Daniel. Ia hampir akan menjawab saat ia mendengar pekikan kecil Luna dan desisan lirih. Buru-buru Daniel menghampiri gadis itu.

Daniel dapat melihat darah dari ujung jari Luna. jarinya teriris pisau. Sekali sentak Daniel menarik Luna menghampiri keran mencuci darah dari tangan gadis itu. Terdengar ringisan tertahan dan mulut gadisnya, membuat Daniel ikut meringis. Tidak. Tidak. Ia bukannya tidak mau menghisap darah dari jari Luna seperti yang dilakukan para pemain film di layar kaca. Ia tau di mulut terdapat ribuan bakteri yang mungkin membahayakan luka Luna yang seharusnya ringan. Ia juga tidak mungkin menelan darah yang tidak ia ketahui golongannya. Selain itu, ia bukan vampire.

"Kotak obat dimana?" tanyanya cepat. Luna menunjuk kabinet di dekat kulkas. Daniel mengambil kotak obat dan langsung mengambil beberapa barang yang dibutuhkan. Dengan segera ia membalut luka Luna yang tidak seberapa.

Luna terus memperhatikan Daniel yang menurutnya menggemaskan dengan senyuman. Wajah paniknya pada hal sepele ini menghangatkan hatinya. Setelah selesai, Daniel dan Luna memperhatikan hasil karya Daniel yang agak berantakan. Namun tiba-tiba Daniel memeluk Luna.

Luna menegang sesaat. Daniel ingin segera menarik diri, namun tubuhnya seperti bergerak sendiri. Ia sangat panik melihat luka di jari Luna. ditambah dengan keinginan bodohnya untuk melepas rindu, jadilah secara impulsif tubuhnya mengambil alih.

"Maaf, sebentar saja." Ucapnya menenangkan. Tubuh Luna yang kaget sedikit merileks. "Aku panik banget tadi. Kita baru ketemu, tapi aku malah bikin kamu luka." Luna ingin melepas pelukan Daniel untuk menyanggah ucapan pria itu. Namun, Daniel justru mendekap lebih erat. "Please, sebentar saja. Aku kangen..." katanya lirih.

Luna meremang. Ucapannya menggetarkan seluruh tubuh Luna. Tubuhnya menghangat sekaligus menggigil takut. Hembusan napas Daniel semakin memperdalam perasaannya. Ia merasa tidak pantas. Tapi ia merasa sangat ingin. Kali ini saja, bolehkah ia egois?

***

Rasa canggung masih menggelayut terutama untuk Luna. Daniel sendiri benar-benar merasa bersalah telah mengacaukan momen mereka berdua. Ia memang lemah di hadapan gadisnya. Ia mulai menyadarinya. Daniel cukup kecewa, saat semua cara dan topik pembicaraan hanya ditanggapai dengan kaku oleh Luna.

Saat ini mereka berdua dalam perjalanan menuju hotel. Awalnya Luna yang berencana akan menjemput ketiga rekannya harus mengurungkan niatnya setelah larangan dari Daniel. Luna yang menuturkan kegiatan yang akan dilakukannya saat obrolan hampir satu arah mereka langsung ditolak dengan tegas oleh Daniel.

"Bandara tuh jauh, Al. Ini udah malam. Kamu perempuan. Walaupun aku gak keberatan anter kamu kesana, aku tetep gak akan izinin kamu pergi. Lebih baik, aku perintahkan suruhan aku untuk jemput rekan kamu, dan aku antar kamu ke tempat pertemuan kalian. Gimana?"

Udara malam setelah hujan di sore harinya memang dingin. Mambuat Luna malas gerak dan bantuan yang ditawarkan Daniel memang menggiurkan. Meskipun ia merasa canggung akibat kejadian tadi, tapi ia masih merasa tidak ingin mengecewakan pria itu. Akhirnya Luna mengiyakan saja tawarannya.

Dan disinilah mereka. Berada di hotel. Tepatnya, restoran hotel dengan minuman masing-masing di meja berbeda.

Daniel yang merasa tak ingin mencampuri urusan Luna memilih meja terpisah, namun masih dalam jangkauan gadisnya.

Saat ketiga orang datang mengikuti seorang suruhan Daniel, ia berdiri dan menyambut ketiganya. Mereka bersalaman singkat dan menoleh ke arah Luna yang nampak fokus ke layar ponselnya. Daniel membiarkan ketiganya menghampiri Luna dan kembali duduk. Ia juga meminta suruhannya kembali.

Di perjalanan pulang, ternyata keadaan canggung diantara keduanya belum hilang. Ia sadar kali ini tanggapan Luna berbeda dari sebelumnya karena Luna dalam keadaan sadar dan sedang tidak butuh ditenangkan. Saat itu Daniel yang merasa butuh.

Saat Daniel menepikan mobilnya dan berhenti, membuat Luna bingung. Langsung saja ia menoleh ke arah Daniel yang ternyata sedang memperhatikannya.

"Ada ap..." ucapan Luna langsung terpotong saat Daniel menggenggam tangan Luna lembut. Pria itu mengusap tangannya seakan memberikan ketenangan. Luna mengangkat wajahnya, memandang wajah Daniel yang sendu.

"Aku tau kamu pasti nggak nyaman karena tindakanku tadi. Maaf. Maafin aku. Tapi tolong jangan diemin aku kaya gini. Tadi aku benar-benar panik." wajah Daniel tampak bersalah. Luna juga tidak suka keadaan ini. Ia tidak suka melihat ekspresi itu di wajah Daniel. "Setengah mati aku udah nahan diri untuk gak langsung terkam kamu di awal ketemu tadi." Luna membelalak terkejut. "Tapi aku bener-bener gak bisa liat kamu terluka. Maafin aku. Please. Aku juga mulai berharap pada perjodohan kita. Jadi..." Mata Daniel yang biasanya tajam, melembut.

Luna menggeleng pelan. Berdehem. "Ini bukan salah kamu. Mm... maksud aku, kamu belum tau siapa aku. Aku udah pernah bilang, mungkin aku gak pantas untuk kamu. Asal-usulku akan membuat keluarga kamu tidak nyaman." Luna mulai resah. Ada rasa takut Daniel akan menyetujuinya untuk memikirkan ulang dan akhirnya dengan keputusan pembatalan. Tapi ini yang terbaik, setidaknya bagi pria itu.

Daniel menggeleng tak setuju. Ia mengeraskan rahang, memejamkan mata dan kembali membukanya dengan rahang yang sudah mengendur. Ia sangat tidak suka dengan perkataan Luna tentang kepantasan. "Kita bahas tentang kegelisahan tak beralas kamu nanti. Yang aku khawatirkan disini, mungkin saja aku sudah menyakiti kamu tadi. Mungkin saja kamu tidak nyaman dan memilih menjauhiku. Mungkin saja kamu benci pria arogan seperti ini. Mungkin saja aku tidak cukup layak untuk menjadi bagian hidup kamu."

"El. Ini murni karena aku." Ia menunduk tidak berani melihat Daniel. "Se... sebenarnya ak... aku..." Luna menelan ludahnya, membasahi tenggorokan. Daniel masih setia menunggu. "sebenarnya aku nyaman dengan pelukan itu." Daniel mengangkat alis terkejut. "Aku juga rindu dengan kehadiranmu. Aku memang tidak suka dengan kontak fisik. Tapi aku benar-benar terkejut saat aku tidak merasa takut, gelisah atau risih dengan sentuhan kamu. Aku nyaman. Tapi kembali lagi, aku benar-benar takut perasaan ini akan membebani kamu. Aku..." wajah Luna memerah, malu.

Buru-buru Daniel menarik Luna, refleks. Lagi. Bentuk refleks baru Daniel yang baru mungkin. Memeluk Luna. Namun, begitu sadar ia langsung melepaskannya, tidak ingin Luna kembali menjauh.

"Eh, maaf maaf." Daniel tersenyum lebar. Wajah sendunya hilang berganti wajah bahagia yang tak dapat ditutupi. Luna justru merona oleh pelukan singkat barusan. Dan juga mengapa Daniel menjadi lebih tampan dengan ekspresi manusiawi di wajahnya. Bukan wajah konyol yang kaku seperti biasa. Daniel menggenggam tangan Luna. "Aku senang sekali kamu bilang seperti itu Luna. Sungguh! Ketakutanku menyakitimu langsung hilang saat mendengarnya. Aku bahagia. Terlepas dari ketakutanmu akan masa depan dan masa lalu. Bagaimana kalo kita jalani saat ini dulu? Kita berjanji untuk saling mengenal. Kamu gak perlu terburu-buru menceritakan ketakutan kamu, aku akan mencoba sabar menunggu. Pertemuan kita juga masih sebentar. Jangan lantas mengambil keputusan. Beri aku kesempatan untuk meyakinkan kamu. Aku mohon."

Seakan ada bunga bermekaran di hatinya. Luna yang takut untuk menikah, tanpa sadar mulai menghapus ketakutannya. Pancaran kehangatan yang Daniel berikan perlahan menarik cahaya di hidup Luna yang redup.

Mengangguk mantap. "Ayo kita mencoba." Kata Luna.

Daniel pun mencium punggung tangan Luna setelah sebelumnya mengintip reaksi Luna di balik bulu matanya. Setelah dirasa Luna akan baik-baik saja, ia mengecup kedua punggung tangan digenggamannya itu. Luna pun semakin merona.