Chereads / Beautiful Voice / Chapter 6 - 6. Kunjungan

Chapter 6 - 6. Kunjungan

Luna sudah merapikan barang-barang sisa yang akan dibawanya. Setelah selesai, melihat ke sekeliling kamar, meyakinkan diri bahwa tidak ada yang tertinggal. Bahkan bekas dirinya yang sempat tinggal disana selama beberapa hari.

Ia memutuskan hari ini untuk meninggalkan rumah. Ia sudah berpamitan dengan anggota keluarga. Hanya Papa yang nampak menanggapi dengan bijak.

Luna kemudian mengangkat ransel ke pundaknya, mengambil ponsel yang sedang dicharge, melipat kabelnya, mengambil kunci motor sewaannya dan pergi meninggalkan kamar itu.

Ia siap membuka pintu untuk pergi, tepat saat ia membuka bersamaan ia dapat melihat seseorang yang mengangkat tangannya berniat menekan bel. Luna cukup terkejut melihat kehadiran orang itu.

Sampai saat orang itu tersenyum. Luna pun membalasnya.

"Morning, Al." Sapa orang itu.

Entah mengapa, Luna merasa suara orang itu pagi ini terdengar rendah dan seksi. Luna menggeleng pelan. Apa-apaan sih otaknya ini! "Hai , El?" Balas Luna heran. "Kamu mau ketemu siapa?"

Pria itu, Daniel, meringis kecil. "Aku hubungin ponsel kamu dari pagi. Tapi ponsel kamu gak aktif. Aku mau lakuin yang semalam aku bilang. Antar jemput kamu to whereever you have to go." Daniel melihat barang bawaan Luna. "And ternyata aku beruntung. Masih sempat ketemu kamu dan pas saat kamu akan pergi. May I?"

Luna merona. Memikirkan Daniel pagi-pagi datang menemuinya, mencari kemungkinan Luna butuh sesuatu padahal pria ini tidak dapat menghubunginya. Hal ini membuatnya hatinya geli. Seperti ada yang menggelitikinya dan membuat ia tersenyum lebar.

"Maaf El, ponselku lagi dicharge tadi. Ehm... sebenernya kamu gak usah kaya gini." Luna merasa tak enak. Pria ini adalah orang sibuk. Ia tau itu. Bukan ke kantornya, ia malah menemuinya. "Lagian aku pake motor." Luna mengacungkan kunci motor sewaannya, ia juga melongokan kepalanya ke depan rumah dan menemukan mobil asing. "Kamu juga bawa mobil. Nanti susah kalo aku harus balik dan ambil motor."

Luna dapat melihat wajah Daniel berubah sendu. Pria itu menunduk dan menggigit kecil bibirnya. Tampak menahan kekecewaan. Luna menjadi tidak tega melihatnya.

Dalam hati Daniel merasa jijik dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi penuh drama begini. Ia memang merasa kecewa dengan penolakan halus dari Luna. Ia sengaja menampilkan ekspresi kekecewaan yang jelas di wajahnya, berharap aktingnya kali ini berhasil. Ia sedikit banyak dapat menebak bahwa Luna akan simpati padanya.

"Ya udah, kalo kamu keberatan. Mungkin kamu malu kalo sahabat kamu... " Selain ekspresi, Daniel menambahkan kata 'sensitif'nya.

Luna melotot mendengar kepesimisan ucapan Daniel. Buru-buru ia memotong ucapannya. Ia melambaikan tangannya dan menggeleng kencang, menolak pemikiran pria itu.

"Eh... eh... bukan itu El. Sumpah. Aku tuh cuma mikir yang praktis aja. Tapi kalo kamu bener-bener mau nganterin aku, aku malah seneng." Akhirnya Luna mengajak Daniel pergi. Ia menarik tangan pria itu. Tidak menyadari pria itu menyeringai padanya.

Sadar Luna akan membawanya mendekati mobil, ia langsung menghentikan langkah gadis itu. Gadis itu mengangkat alis heran.

"Kita pake motor kamu aja. Di mobil ada sopir kok. Dia bisa ikutin kita, atau nanti aku minta tolong kamu sms alamatnya. Jadi kamu gak perlu bolak balik. Gimana?" tanya Daniel.

Luna tersenyum senang. Itu berarti ia tak perlu kembali ke rumah ini kan? Ia mengangguk. "Oke."

Luna memakai helm Hello Kitty-nya, sedangkan Daniel terpaksa memakai helm merah menyala milik Mellisa yang baru Luna beli.

Daniel menghela napas berat. Oke, cuma helm, pikirnya.

Daniel sengaja berakting sedih seperti tadi. Pertama, ia tidak ingin kedatangannya menjadi sia-sia. Kedua, saat mendengar kata motor dan memikirkan gadis mungil ini akan mengendarainya membuatnya panik. Ia tidak dapat menebak apa yang dipikirkan gadis ini. Kenapa ia malah memilih motor yang rawan akan bahaya dan penuh resiko. Namun, ia tidak bisa melarangnya. Mungkin nanti ia tidak akan melarang, tapi merayu. Dan terakhir, astaga ini benar-benar tiba-tiba saja muncul di otaknya dan membuatnya adik kecil tak berotaknya bangkit. Ia dapat membayangkan sedekat apa saat ia membonceng gadis itu naik motor. Dibandingkan mobil, motor tentu lebih menantang. Pikirannya langsung mengarah ke semalam, saat ia memeluk gadis itu. Apakah akan terulang? Ia kembali menyeringai.

)()()(

Sampai di parkiran penghuni apartemen khusus motor, Daniel dan Luna turun dari motor dengan ransel Luna yang dibawa oleh Daniel. Awalnya Daniel berinisiatif membawakan barang yang terlihat berat itu. Namun, idenya itu membuat Luna tidak dapat duduk merapat karena jaraknya terpisahkan oleh seonggok ransel. Alhasil, sampai di tempat wajah Daniel tampak tertekuk.

Luna menatap wajah Daniel. Pria itu terlihat kesal entah karena apa. Tapi Luna berpikir, Daniel kesal karena harus naik motor dan jarak yang lumayan jauh dari rumahnya. Ia merasa tidak enak.

"Mm... El, mampir dulu ya. Aku buatin minuman. Gak akan lama kok, jadi mungkin masih ada waktu kalo kamu mau kembali ke kantor." Ajak Luna. Ia merasa harus membuat mood pria ini lebih baik.

Daniel mengangkat alisnya. Ia memang berpikir akan mampir ke tempat gadis ini tinggal. Itu tujuan utamanya. Ia ingin merasakan pendekatan dengan seorang gadis dengan cara 'normal'. Tapi mendengar gadis ini menawarkan mampir membuatnya menduga bahwa gadis ini akan benar-benar berpikir tujuan Daniel datang hanya untuk mengantar.

Setelah dengusan pasrah, Daniel langsung memasang cengiran konyolnya. "Oh, aku boleh mampir?" tanyanya dengan nada dibuat bahagia. "Boleh. Aku gak buru-buru ke kantor juga kok."

Luna mengajak Daniel ke apartemennya. Setelah sampai di depan pintu apartemen Luna, ia langsung membukanya dan mengajak Daniel masuk.

Di ruang TV ternyata ada Mellisa yang sedang menonton tv dengan semangkuk buah di pangkuannya, wajahnya nampak kesal dan mengerut. Ia terlihat menggerutu. Di sebelahnya ada Ruben yang duduk dengan santai dengan sekaleng soda.

Melihat pintu terbuka kedua orang itu menoleh dan mendapati Luna. Namun, fokus mereka berdua langsung tertuju pada sosok asing di belakang Luna.

Luna mengangkat alis, menatap heran kedua sahabatnya yang berekspresi hampir sama. Melongo dengan mulut menganga lebar serta mata melotot. Ia menjadi tidak enak dengan Daniel.

Daniel sendiri hanya santai dengan tanggapan teman-teman Luna.

"Ehm,, El, sorry temen-temen aku kalo obatnya habis emang agak absurd. Ayo masuk aja, gak usah peduliin mereka." Luna mengajak Daniel masuk dan menutup pintu. Ia menghampiri single sofa, menyingkirkan barang Ruben yang bertumpuk disana ke atas pangkuan pemiliknya. Mempersilahkan Daniel duduk. Ia berusaha menghiraukan wajah bodoh kedua sahabatnya. "Duduk, El. Aku buatin minum. Kopi oke?"

Daniel merasa tidak nyaman dengan pandangan kedua teman Luna. Ia berusaha merasa cuek. Mengangguk, mengiyakan tawaran Luna. "Boleh."

Luna mengambil ransel yang masih dibawa Daniel untuk diletakkan di kamar. Sebelum menghilang ia melayangkan tatapan kesal pada kedua orang aneh di ruangan itu. "Berhenti bertampang konyol begitu. Jangan buat temen aku nggak nyaman! Awas kalian!" ancamnya.

Sepeninggalan Luna, Ruben dan Mellisa buru-buru mengubah ekspresinya menjadi serius. Kedua orang yang tidak pernah akur itu, berubah menjadi kompak tanpa diperintah. Sifat protektif mereka muncul.

"Who are you, stranger?" Mellisa yang pertama menyapa dengan tatapan sinis.

Daniel hanya mengedikan bahu acuh. Matanya melihat sekeliling. Mengamati tempat yang akan di tinggali gadisnya. Nyaman, pikirnya. Ia tersenyum kecil. Ia hampir lupa bahwa gadis itu seorang desainer interior.

Merasa diacuhkan Mellisa semakin melotot. Bibirnya kembali mengerucut. Ruben pun nampak semakin menajamkan tatapannya.

"Heh! Jawab temen gue. Dia nanya lo siapa? Kenapa our beloved Melody bisa ngajak pria asing kaya lo. Dia bukan tipe orang yang gampang deket sama cowo. Apalagi sampe ngajak cowo asing itu ke tempat tinggalnya."

Daniel mendengus. Ia tidak suka keposesifan pria itu. Apalagi tatapan sok menusuk yang diberikannya sangat menggelikan.

"Mm... tunangan?" jawabnya dengan tanda tanya. Ia mengedikan bahu tak acuh.

Mendengar jawaban Daniel keduanya semakin melongo bertampang bodoh.

"Jangan boong lo. Melody gak mungkin gak cerita ke gue. Melody aja tadi bilang 'temen' kok, bukan tunangan." Hardik Mellisa kesal. Ruben mengangguk setuju.

Daniel menghela napas pelan. "Oke. Bukan tunangan. Tapi soon to be husband. Get it?" Oke. Ini weird, ini sama sekali bukan dirinya. Daniel sangat jarang mengklaim gadis menjadi miliknya. Dan sekarang tanpa diminta ia menyatakan kepemilikan yang sakral. Suami. Walaupun tujuan akhir yang diharapkan semua pihak pernikahan. Namun, ia belum dapat memastikan keputusan gadisnya.

Ruben dan Mellisa semakin menjadi-jadi. Wajah Mellisa sudah memerah, menahan kesal dengan tingkah pria asing di hadapannya. Ruben bahkan sampe menggebrak meja.

BRAKK!!

"Lo gak usah ngada-ngada ya! Melody emang baik, tapi dia gak sebaik itu untuk berempati dengan orang dan berkorban menikahi cowo kaya lo!" Ruben meremehkan penampilan pria di hadapannya. Ia menggeleng tak percaya ucapan pria itu. "Gak mungkin Melody mau sama cowo kaya lo. Lo yang... errgh... dia aja nolak gue yang jelas populer di kampus,, dulu. Dan, nggak,,, ngak mungkin dia mau sama lo." Ruben mengangguk mantap, membenarkan pikirannya.

Mellisa yang mendengar itu mendengus dan berdecih. "Cih... Melody itu gak mau sama lo karena lo emang bukan tipenya. Dan dia cukup pintar untuk nolak lo. Sok kepedean banget sih!" semprot Mellisa. "Lagian emang lo tau Melody sukanya yang kaya gimana? Kalo dia suka tipe pangeran kodok kaya gini gimana?" Mellisa benar-benar kesal dengan penuturan Ruben. Pria itu seperti sengaja memancing emosinya. Padahal pria itu juga pernah... ke dia... dan itu... ish... menjengkelkan.

Ruben tampak akan membalas ucapan Mellisa. "Ya, seenggaknya gue tau kalo Melody itu gak akan suka sama cowok yang jelas out of fashion..."

Mendengar ribut-ribut di depan, Luna bergegas membawa kopinya yang baru jadi untuk dihidangkan ke Daniel. Ia takut kedua sahabatnya mengkonfrontasi Daniel. Namun, saat sampai yang didapat malah keduanya sedang berdebat. Daniel sendiri sedang fokus melihat-lihat tempat tinggalnya.

Luna mendekati Daniel, meletakan gelas di hadapan pria itu. Daniel memberikan senyum terima kasih. Luna menepuk pundak Ruben agar bergeser ke tengah. Sofa yang diduduki Ruben dan Mellisa berupa sofa panjang yang cukup untuk tiduran sepanjang orang dewasa.

Ruben bergeser sedikit dengan masih terus berdebat dengan Mellisa. Daniel memperhatikan sofa yang diduduki tiga orang di hadapannya, terutama jarak antara Luna dan Ruben. Daniel harus menahan wajah keberatan yang mungkin akan keluar.

Luna mengira Daniel memperhatikan perdebatan Ruben dan Mellisa merasa sungkan. Ia berniat membuat mood pria itu lebih baik, malah dikacaukan kedua sahabatnya.

"Mm... El, diminum kopinya. Abaikan aja mereka berdua. Kamu anggap aja itu bentuk kemesraan mereka."

Ruben dan Mellisa yang mendengar celetukan Luna langsung menoleh serentak dan menatap Luna dengan wajah garang. Daniel yang akan meneguk kopinya, menghentikan gerakannya dan mengangkat alis.

"Melody..." kedua berteriak bersamaan. Luna menanggapi dengan kikikan. Daniel tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Sangat berbeda saat di rumanhnya.

"Melody?" tanya Daniel. Sebenarnya ia sudah heran sejak awal temannya menyebut-nyebut nama Melody.

Mereka bertiga menoleh. Ruben dan Mellisa mendengus malas. Daniel kembali mengangkat alis. Respon keduanya seringkali sama.

Luna tersenyum malu. "Itu semacam kebiasaan aja. Hampir semua yang kenal aku di Aussie akan panggil Melody. Kaya nama keluarga yang biasa ada di belakang gitu. Aku kan gak punya nama keluarga jadi mereka manggil nama belakang aku. Ehm... kaya kamu yang mungkin di panggil Pak Abrams, Mr. Abrams or Sir. Abrams. Like that." Jelasnya.

Daniel mengangguk paham. Tersenyum dan menetapkan dalam hati. Panggilan spesialnya hanya boleh ia yang menggunakannya. Al. Tenang Al, sebentar lagi kamu akan punya nama belakang. Mrs. Abrams soon to be.

Daniel kembali menyesap kopinya. Enak. Ia suka kopi buatan gadis ini. Jelas sekali ini bukan kopi instan. Ia penasaran apa ada yang tidak dia sukai dari gadis ini. Bahkan suaranya sangat ia sukai. Ia takut, justru semakin mengenal gadis ini akan membuatnya semakin menyukainya.

Ponsel di sakunya bergetar. Sebenarnya sudah sepuluh menit ponselnya bergetar. Namun, kali ini getarnya tak berjeda. Ini merupakan tanda ia harus pergi.

"Al, kopinya enak sekali. Aku harus sering-sering mampir kan, kalo ingin mendapatkan kopi buatanmu?" tanya Daniel. Luna tersenyum malu-malu.

"Gak seenak buatan Cafe kok, El."

"Kalo kamu gak keberatan aku akan mampir setiap pagi atau malam." Lagi. Kedua sahabat Luna menoleh dengan mulut menganga, tapi tidak berkomentar. "Untuk sekarang aku harus pergi dulu. Ada urusan penting. Terima kasih kopinya."

Daniel melihat ekspresi kecewa di wajah Luna. Namun hanya sedetik. Ia bahkan ragu. Luna tersenyum manis dan mengantar Daniel sampai pintu.

"Aku antar ke depan!"

"Eh, gak usah. Aku bisa sendiri kok. Pasti masih ada sesuatu yang mau kamu kerjakan. Aku pergi dulu. Aku kabari nanti." Pamit Daniel. Ia pergi seraya mengacak rambut Luna pelan.

Daniel masih sangat ingin bersama Luna. Tapi ia tidak ingin gadis itu mengetahui sesuatu sebelumnya. Daniel pun segera memasuki lift. Di dalam lift, pria itu meminta sopirnya untuk membawakan pakaian ganti.

Luna kembali masuk ke apartemennya. Kedua sahabatnya sudah menyambutnya dengan berbagai ekspresi. Membuat Luna ingin tertawa ngakak.

Belum juga ia menempelkan bokongnya ke sofa, keduanya sudah berseru nyaring.

"Itu siapa Mel...?"

Luna menghembuskan napas panjang. Mungkin ini salah satu yang dimaksud Daniel dengan 'sesuatu yang dikerjakan'. Ini akan menjadi panjang.