Chereads / Beautiful Voice / Chapter 4 - 4. New Morning

Chapter 4 - 4. New Morning

Matahari mulai mengintip celah jendela sebuah kamar. Sinarnya cukup mampu membangunkan seseorang dari tidurnya. Namun, tidak untuk gadis di kamar itu. Dia memang terbangun, oh tidak, gadis itu bahkan belum memejamkan matanya sepanjang malam. Hal ini terjadi setelah pertemuan keluarga semalam.

Luna, gadis itu, memang sudah menduga tujuan pertemuan semalam. Namun yang tidak disangkanya, kedua belah pihak – Mama Papanya dan Om Tante Abrams – akan langsung saling menyetujui. Well, ia tidak akan heran dengan keputusan Mama Papanya. Tapi, keluarga Abrams, ia tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka menerima begitu saja. Apa mereka tidak risih dengan keadaannya.

Untuk yang kesekian kalinya, ingatannya kembali mengulangi kejadian semalam.

Semua orang – keluarganya dan keluarga Abrams – kembali berkumpul di ruang tengah. Luna duduk diapit oleh Mama Papanya, begitu juga dengan Daniel yang diapit oleh Om Rizal dan Tante Rini.

Lagi-lagi Luna merasa terasing. Ia dapat melihat semua orang di ruangan itu nampak santai. Hanya ia sendiri yang terlihat tegang. Ada dua kondisi yang membuatnya tegang. Pertama, untuk pertama kalinya ia duduk sedekat ini dengan Mama Papanya. Sebenarnya, ia selalu merasa tidak nyaman berdekatan – dalam artian menempel kulit – dengan orang lain. Kedua, ia merinding ngeri memikirkan perasaannya yang bagaikan cenayang. Ia dapat menebak akhir keputusan yang akan terjadi nanti.

"Saya sangat senang dengan pertemuan ini. Terlebih, akhirnya saya dapat mengenal keluarga kamu secara utuh, Man." Ucap Om Rizal memulai pembicaraan utama setelah pembicaraan basa-basi.

"Saya pun begitu, Zal. Saya merasa tersanjung dapat mengenal sosok yang memajukan Abrams Mnc., Daniel Alexander. Saya yakin, pegawainya pun tidak mengenal siapa CEO di perusahaan itu. Hahaha." Sahut Papa dengan antusias. Aku melihat Daniel menanggapi dengan senyum singkat.

"Nah, saya rasa pertemuan ini cukup berhasil. Semoga saja tujuan kita untuk dapat menyatukan kedua keluarga dapat terwujud. Benar begitu, Man?" Semua nampak tersenyum puas.

"Untuk selanjutnya, kita biarkan Nak Daniel dan Luna untuk saling kenal terlebih dahulu. Biar mereka dapat mengenal satu sama lain." Seru Papa. "Luna, Papa harap kamu mau mencoba mengenal Daniel lebih dekat, agar kedepannya tidak ada permasalahan lagi." Lanjut Papa. Ia menekankan nada suaranya pada kata terakhir. Ia terdengar merayu Luna. Namun, Luna lebih merasa seperti ditekan untuk tidak membuat masalah.

Luna hanya mengangguk sekilas. Namun, anggukan itu disambut wajah antusias tamunya, Om dan Tante Abrams.

***

Drrtt... drrtt...

Deringan ponsel menyadarkan Luna dari ingatan semalam. Dengan lesu Luna mengambil ponselnya dan melihat adanya panggilan masuk.

Dari Mellisa, sahabatnya di Aussie. Luna menggeser layar ponselnya ke warna hijau.

"Hai!" sapa Luna.

"Hallo, dear. 'sup?" balas Mellisa. Terdengar suara ramai di sekitar Meliisa.

"I'm good. Dimana?" tanyanya.

"Urgh... did you seriously forget?" nada Mellisa terdengar jengkel dan menyebalkan. Ia memang selalu terdengar jengkel, namun saat kesal ia terdengar lebih menyebalkan.

"Umm... what?" Luna tidak ingat. Kepalanya cukup sakit pagi ini karena butuh tidur dan ia tidak ingin mencoba mengingat hal yang tidak terlalu penting yang akan menambah sakit kepalanya.

"Geez... Melody. I've warned you! Shit! Gue udah peringatin lo berkali-kali, jauh-jauh hari sebelum lo balik Indo. Gue bakal balik this afternoon. Dan gue gak mau tau, lo harus jemput gue. Gak pake telat and apartemen harus udah siap. Get it!"

"O my Gosh... aku lupa Mel." Ia benar-benar lupa. Tiba di Jakarta ia sudah sangat lelah karena mengambil penerbangan malam. Di tambah adanya pertemuan semalam ia sama sekali lupa dengan pesan – perintah – Mellisa. "Oke, oke. Aku siapin semua. Aku mau telepon Ruben dulu buat konfirm apartemen dan aku langsung kesana. Ntar kamu kabarin aja take off jam berapa. Oke."

Mellisa terdengar mendengus. "Hmm... ya udah bye."

Luna langsung menghubungi Ruben, sahabatnya juga. Ruben adalah teman kuliah Luna saat studi S1, tapi Ruben melanjutkan studi S2nya di Belanda. Saat kembali ke Indonesia, Ruben sebagai arsitek langsung mendapat job membangun apartemen. Namanya sudah cukup dikenal setelah mengikuti perlombaan design di Australia, sehingga teman sekolahnya yang menawarkan job itu tidak ragu untuk menggunakan jasanya.

Luna mengabarkan bahwa ia akan menemui Ruben untuk melihat lokasi apartemen yang ditawarkan Ruben. Setelah Ruben mengkonfirmasi kesediaannya, Luna bangkit dari kasur dan masuk kamar mandi untuk bersiap.

***

Apartemen yang ditawarkan Ruben merupakan tipe apartemen ready to use. Apartemen dengan dua kamar dengan kamar mandi di dalam, dapur, kamar mandi tamu, ruang tv merangkap ruang tamu yang sudah lengkap dengan furnitur dasarnya.

Ruben sudah pernah memperlihatkan keadaan apartemen melalui foto. Kondisi apartemen yang sudah siap huni membuat Luna menyepelekannya. Seharusnya Luna mengecek keadaan dulu, sehari setelah kedatangannya di Jakarta. Ia juga bertugas membersihkan isi apartemen karena tempat ini akan dihuni olehnya dengan Mellisa. Namun, saat melihat sendiri kondisinya Luna cukup bersyukur. Semua sudah tertata rapi dan hanya tinggal melengkapi beberapa keperluan.

"Tenang! Aku tau kamu pasti masih jet lag. Sebelum kamu balik ke Indo aku udah hire jasa pembersih untuk membersihkan apartemen ini. Ya, walaupun nggak banyak juga yang dibersihkan. Aku tau Mellisa pasti bakal merempet tanpa jeda kalo semua belum beres. Miss bossy." Ucap Ruben.

Ruben memang terbaik. Ia selalu mengerti sifat-sifat sahabatnya. Miss bossy dan miss clumsy. Ia selalu dapat menenangkan kami berdua.

"Oouh... thank you, Ruben. I owe you." Kata Luna dengan tulus.

Setelah puas mengelilingi apartemen dan berbincang dengan Ruben sekaligus saling nostalgia karena lama tak bertemu akhirnya mereka berpisah. Luna sudah meminta bantuan Ruben untuk mencarikan lowongan yang cocok untuknya. Mereka berdua bersama-sama keluar dari gedung apartemen. Ruben kembali ke kantornya dan Luna ke bandara.

Hari itu Luna membawa mobil Mamanya. Ia meminjamnya dengan alasan menjemput teman di bandara. Ruben mengantar Luna sampai masuk ke mobilnya dan menunggu hingga mobil menghilang. Mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang melihat mereka keluar dari apartemen.