Aku memutar keran wastafel, lalu membasuh wajahku beberapa kali, tak luput membersihkan sisa darah kering yang keluar dari bibirku, setelah selesai, aku berjalan menuju pancuran air untuk mandi. Air membasahi tubuhku, begitu dingin, aku sampai maju-mundur untuk menahan rasa dinginnya.
Krek!
Aku mendesis menahan rasa sakit yang timbul akibat menginjak lantai kamar mandi yang retak, darah segar keluar dari kaki kananku, ikut terbawa masuk ke dalam saluran air. Selesai mandi, sambil menahan perih dari telapak kaki, berjalan mendekat ke arah pintu mengambil handuk di wastafel terlebih dahulu, mengelap tubuh dari kepala hingga kaki. Handuk ku letakan di lantai, lalu ku injak handuk tersebut dengan kaki kanan, agar darah yang mengalir tidak mengotori lantai kamar mandi.
Sial, bisa-bisanya ada lantai yang retak, itukan berbahaya.
Usai berpakaian, aku memasukan pakaian kotor ke dalam keranjang, sementara handuknya ku biarkan saja menggeletak di lantai kamar mandi. Aku berjalan dengan kaki kanan berjinjit, sesekali aku melihatnya agar darah tidak menetes ke lantai, akan repot untuk membereskan nantinya. Untung saja di dekat pintu terdapat sandal baru, sebenarnya sandal ini untuk tamu yang datang, namun karena tidak ada tamu, jadi aku membuka bungkusan sandal itu dan memakainya, anggap saja cara untuk menghentikan pendarahan. Walaupun aku tahu darah itu akan terus keluar bahkan mengotori sendal, tapi setidaknya tidak mengotori lantai.
"Seperti di hotel saja." Ujarku berjalan tertatih-tatih menuju ranjang.
Omong-omong, kamar yang aku tempati ini walau sederhana tapi ini bisa dibilang kelas VIP, bukankah seharusnya aku dirawat di kamar gabungan agar biayanya relative murah, tapi mereka malah membiarkan aku di kamar yang terlihat seperti mini hotel.
Ranjang yang bagus, TV, lemari kayu, nakas, dispenser, beberapa sofa yang tidak jauh dari ranjang serta mejanya. Bukankah ini berlebihan?
Clek!
Baru saja aku merebahkan diri di ranjang, Ayu kembali dengan membawa beberapa makanan ringan, dengan senyum lebarnya ia menunjukan makanan itu padaku, aku hanya diam menatapnya datar, tak perlu waktu lama akhirnya dia menyadari sesuatu.
"Ada apa dengan kakimu?"
Makanan ringan yang dia bawa terjatuh bebas di lantai, ia berjalan cepat mendekatiku, tangannya tampak begitu bergetar, wajahnya panic, bibirnya memucat.
"Kenapa tidak tekan tombol?" Ia menatapku sendu.
Aku hanya menggelengkan kepala, sebenarnya aku tidak tekan tombol karena malas untuk berhadapan dengan para perawat, salah satunya Ayu, malas untuk menanggapi pertanyaannya yang seperti,
"Bagaimana bisa kakimu berdarah seperti ini?"Lagi-lagi aku hanya diam sambil mengeluarkan mimik bodohku, Ayu menghela napas, mungkin ini kali pertamanya Ayu merasa kesal dan terbebani, hahaha rasakan itu.
"Tahan, aku ambil kursi roda dulu, kita akan obati oke." Dia berlari keluar dari kamar, aku yang melihatnya hanya tertawa kecil.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk, ku lihat darah mulai mengotori kain pada ranjang, ck, pasti para perawat akan mengganti kain ini, aku pun langsung mengambil sapu tangan yang tersimpan disela ranjang dan mencari tempat untuk menyimpannya, ah, aku turun dari ranjang, menggeser sedikit nakas dan meletakan sapu tangan itu dibaliknya, lalu ku kembalikan posisi nakas itu seperti semula.
Saat aku ingin naik ke ranjang, aku terpeleset karena menginjak sandal yang licin oleh darah.
Aku terkelungkup ke depan, ah, sikutku terbentur kursi yang belum dipindahkan oleh Ayu, sakit sekali, saat aku mengalihkan pandangan tepat kearah kolong ranjang, mataku tak sengaja menangkap sesuatu.
Disana, di sudut tembok bawah ranjang, terdapat tulisan-tulisan yang begitu menyeramkan, aku tidak bisa melihat dengan jelas karena tulisan itu sudah mulai luntur, tapi ada satu tulisan yang dapat aku baca dan menarik perhatianku.
'19 – JANGAN MINUM OBAT!'
Clek!
Aku sontak terkejut mendengar pintu yang terbuka, Ayu dan salah satu perawat laki-laki berdiri menatapku membeku. Kami sama-sama tidak bergeming, lalu perawat laki-laki itu tersadar lebih dulu dan langsung membantuku untuk bangun, sementara Ayu tersadar setelah aku duduk di kursi roda.
Perawat laki-laki yang tidak aku kenali mengambil alih, dia mendorongku dan menyuruh Ayu untuk membereskan kamar serta sisa-sisa darah yang mengotori lantai, Ayu pun menurutinya dan langsung masuk untuk merapihkan.
Kursi roda mulai bergerak melewati pintu, hembusan angin dari luar kamar, pandanganku meluas menatap jajaran pintu serta orang-orang yang berlalu-lalang, rongga pernapasanku seakan meluas ketika aku bisa mencium bau baru, aku merasa lepas dari ruangan yang mengurungku selama ini.
"Bagaimana perasaanmu setelah satu tahun tidak keluar kamar?" Tanyanya.
Kami berhenti di depan elevator, dia menekan tombol atas dan berdiri di samping kursi roda, dari pantulan pintu elevator aku bisa melihat wajahnya yang tengah menatapku sambil tersenyum tipis, siapa perawat ini, apa semua perawat disini kenal denganku, tapi mengapa aku hanya mengenal Ayu saja?
Ia menghenduskan napas kesal, aku pun menoleh dan mendongak menatap wajahnya yang berubah muram.
"Siapa?" Tanyaku dengan wajah polos.
"Eh, eum saya?"
Aku mengangguk pelan, dia terdiam sejenak lalu,
Ting!
Pintu elevator terbuka, ia mendorongku masuk ke dalam dan menekan tombol 7. Saat pintu elevator kembali tertutup, dia masih diam dan tidak menyebutkan namanya. Aku melirik saku seragamnya, disana tertulis namanya M. Regga Malik AG.
*
Aku menahan sakit ketika dokter membersihkan area sekitar luka menggunakan alcohol, dibantu oleh perawat yang membawaku ke sini mereka dengan serius menangani luka ku yang sebenarnya bukan lukas serius. Sang dokter yang menanganiku sangat cekatan, kakiku dibalut kapas yang sudah diberikan obat merah, lalu perban melingkar dengan rapih agar kapasnya tetap pada posisi.
"Rasa sakitnya tidak akan lama." Ujar dokter menatapku sekilas sambil membuka kedua sarung tangan.
"Besok sudah bisa lari." Sahut perawat itu, membantu dokter membersihkan alat-alat yang telah terpakai.
Keduanya tampak tertawa, aku tidak mengerti dengan lelucon si perawat itu. Dokter mendekat kearahku lalu membantuku duduk di kursi roda, dia menarik kursi dan duduk di hadapanku, sempat aku mendengar dia membuang napas lega.
"Senang bisa bertemu kembali denganmu, Sarah, lama juga ya kita tidak bertemu." Dokter dengan perawakan tinggi, wajah tirus serta rambut yang klimis itu seperti baru berumur empat puluhan, menatapku hangat.
"Satu tahun, mungkin lebih." Ujar perawat itu sebelum pergi ke ruangan lain untuk membereskan alat-alat yang sudah steril.
Wajah dokter langsung terkejut, matanya melebar dan bibirnya membentuk O, apa dokter ini juga mengenalku?
"Satu tahun? Wah, apa yang kamu lakukan selama satu tahun di dalam kamar?" Masih dengan wajah seperti itu, ia menatapku seolah tidak menyangka.
Aku menaikan alisku memberikan tanda bahwa aku tidak mengerti dengan perkataannya, sebenarnya aku ingin sekali bertanya banyak hal, namun aku harus tetap berhati-hati pada perawat dan dokter yang ada didekatku, aku takut mereka hanya berpura-pura baik dan justru akan memperburuk keadaanku.
"Dia meminum obatnya lagi." Perawat itu keluar dan langsung menghampiriku, alih-alih menarik kursi dia malah memilih untuk berjongkok diantara aku dan dokter.
"Sampai sekarang saya tidak tahu mengenai obat itu." Ujar sang dokter menghelas napas berat.
Suasana kembali hening, aku melirik kearah saku jas putih milik dokter tersebut, namun aku tidak menemukan tanda pengenalnya disana, sama seperti dokter yang memberikanku obat setiap pagi.
Perawat berdiri dan berjalan ke belakang kursi roda,
"Saya akan membawanya kembali." Ujarnya.
"Ya, jangan sampai mereka tahu."
Kursi roda pun bergerak berbalik arah, dokter itu membantu perawat membukakan pintu, sebelum keluar sang dokter sempat menahan kursi rodanya, lalu berbisik padaku,
"Kalau kau masih ingin berjuang, jangan minum obatnya."
Kursi roda kembali bergerak, melewati dokter yang masih belum ku tahu namanya, di lorong yang sepi ini hanya terdengar suara derit dari roda berputar yang bergesekan dengan lantai. Aku sudah tidak kuat menahan semua ini, aku ingin sekali berbicara, bertanya banyak hal, dan tentu saja berlari keluar dari sini.
Semua itu harus ku tahan, pikiranku seakan memberi tahu bahwa aku tidak boleh berbicara kesembarang orang, baik yang sudah kenal lama denganku atau yang baru saja ku temui.
Kembali ke lantai tempatku berada, Ayu sudah menungguku di ruang tunggu, dia langsung menghampiriku dan mengambil alih kursi roda. Perawat yang tadi membawaku hanya bisa diam dan langsung pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Ayu membawaku kembali ke kamar, dia terus saja berceloteh mengkhawatirkan keadaanku, sampai beberapa perawat dan orang yang lewat melirik Ayu yang bertingkah sangat aneh, kami berbelok menuju lorong rawat-inap, kamarku berada di paling ujung, dekat jendela yang menampilkan pemandangan luar gedung rumah sakit.
"Handukmu kotor dan basah jadi aku buang, kain ranjang sudah diganti, lantai sudah bersih, sandal tentu saja aku buang, baju kotormu sudah dibawa ke tempat pencucian-"
Saat kami sudah mulai dekat, aku melihat kamar seberang pintunya terbuka lebar, di dalam sana ada beberapa perawat dan petugas kebersihan yang membereskan kamar itu, salah seorang perawat pria yang berdiri di depan pintu menatapku dengan wajah terkejut, dia langsung menundukan wajahnya seakan takut untuk menatap mataku. Tubuhnya langsung bergerak memunggungiku, pergerakannya sangat aneh, bahkan aku bisa melihat kedua tangannya yang memegang tempat sampah bergetar.
"- cepat sekali, aku baru saja duduk di ruang tunggu, tak lama kau keluar dari elevator, jangan banyak gerak, kalau kau butuh sesuatu tekan tombolnya-"
Ayu membukakan pintu kamar, saat aku dibawa masuk, dari ekor mataku aku bisa melihat pria itu, pria yang memunggungiku menoleh kearahku.
"- pokoknya sekarang kamu banyak-banyak istirahat."
Akhirnya dia menutup mulutnya, dia membantuku untuk berdiri dan merebahkan diriku di ranjang. Bau selimut baru serta pengharum ruangan memasuki rongga hidungku, bunga lavender, aku suka baunya sangat halus dan tidak menyengat, selimut barunya juga sangat nyaman sekali.
"Aku akan kembali bekerja, ada dokumen yang harus aku antarkan, jadi istrahatlah." Ayu mengelus kepalaku, lalu dia pun keluar dengan membawa kursi rodanya.
Aku tidak bisa beristirahat, obatnya mulai bekerja, rasa sakit pada telapak kakiku terasa menjalar hingga ke ubun-ubun. Ku ubah posisi tidurku meringkuk menghadap ke dinding, dokter tadi sepertinya sangat mengenaliku, perawat yang bernama Regga itu juga tampaknya mengenaliku, dan terakhir perawat misterius yang takut melihatku.
Ah, sepertinya akan sulit menemukan jalan keluarnya, bagaimana bisa aku menyelesaikan ini semua seorang diri. Aku juga harus mengingat apa yang terjadi dengan diriku sebelumnya, tapi bagaimana,, tidak ada hal-hal yang dapat membantuku untuk mengingatkan ku pada saat kejadi-
Tunggu, aku baru tersadar oleh sesuatu, saat aku terjatuh di kolong ranjang aku melihat beberapa tulisan, dan yang paling jelas adalah-
Aku langsung bangun dari tidur, turun dari ranjang perlahan agar luka yang telah diobati tidak sobek, ku tarik nakas, memindahkan meja lipat keatas ranjang, serta sapu tangan yang masih tersimpan ku letakan di dekat meja lipat. Dengan sekuat tenaga aku menggeser ranjang, ku lakukan secara berhati-hati agar tidak menimbulkan suara keras, selesai menggesernya aku melihat kearah bawah tepat disudut dinding.
"Wahh."