Waktu kembali berjalan normal, mereka berlari begitu cepat meninggalkan ku seorang diri, punggungku ditarik begitu kencang ke belakang, saking kencangnya aku sampai memejamkan mataku. Jantungku berdegup begitu kencang, saat tubuhku sudah kembali normal aku kembali membuka kedua mataku, kini aku sudah kembali di tempat dimana aku berada, di kamar mandi.
Kedua tanganku mengulur di wastafel, tidak ada darah sedikit pun bahkan wastafel pun tidak ada air yang menggenang. Aku menatap kaca yang berembun, lalu samar-samar di luar sana terdengar suara orang yang tengah menangis, aku pun langsung keluar dan melihat apa yang tengah terjadi.
Kamar ku sungguh berantakan, barang-barang bergeletakan di lantai, ranjang yang bergeser tidak pada tempatnya, dan di balik ranjang itu tepat di pojokan ada seorang perempuan duduk di lantai, tidak salah lagi dia adalah aku.
"2019 – Kebakaran," Ujarnya dengan suara serak, "Agar kau tahu kenapa bisa berada disini." Dia berdiri, berbalik menghadapku.
Pojok tembok itu tertulis tahun dan kata yang sama, masih terlihat baru, warnanya merah menyeramkan, aku melirik tangannya, salah satu jari berdarah dan satu tangan lagi memegang pecahan lantai.
"Tenang Sarah, ini semua bukan salahmu." Ujarnya mendekat, "Kau melakukannya dengan baik." Lanjutnya berjalan menembus tubuhku.
Tepat saat itu juga punggungku kembali ditarik, kembali ke realita. Suara gemercik air yang penuh membuatku tersadar, air memenuhi wastafel hingga menggenang di lantai, tanganku yang masih di dalam air tetap dalam posisi yang sama, namun aku baru menggoresnya sedikit saja, darah tidak begitu banyak, aku langsung mematikan keran air dan juga membuka saluran pembuangan.
Pecahan lantai yang ku pegang langsung ku lempat ke dalam wastafel, napasku begitu sesak setelah mengalami kejadian tadi, sungguh rasanya jiwaku terhisap begitu saja. Ingatanku kembali, kepingan mulai tersusun seperti puzzle, ingatan mengenai insiden kebakaran, tapi saat aku melihat diriku sendiri, itu merupakan kepingan baru bagiku, aku saja begitu terkejut saat melihat diriku sendiri yang tampak berantakan.
"Aku mengingatnya."
Aku keluar dari kamar mandi, dengan cepat aku langsung menggeser nakas dan ranjang, semua benda yang ada dibalik nakas ku taruh di atas ranjang. Ku lihat kembali kata pertama di tahun 2019, mengenai kebakaran.
Saat itu aku tengah berdebat dengan ayah, aku lupa membicarakan tentang apa hingga ayah memukul kepalaku begitu kencang, badanku tak sanggup menerimanya sehingga terjatuh membentur lantai, ibu berteriak pada ayah, mereka bertengkar hebat, saat itu ibu tengah memasak makan malam, namun saat mendengar keributan akhirnya dia menghampiriku, melihat apa yang telah diperbuat ayah, ibu pun marah dan lupa kalau dia tengah memasak, hingga akhirnya pun masakannya gosong, wajannya panas mengeluarkan asap, lalu api yang besar dengan cepat menyambar benda-benda yang ada disekitarnya.
Ya, kebakaran itu disebabkan oleh kompor bukan konsleting listrik, tapi bukan hanya itu penyebabnya, penyebabnya utamanya adalah sesuatu yang aku katakan pada ayah sehingga membuatnya marah dan menamparku, apa yang aku katakana padanya? Itulah yang harus aku cari.
Ku buka laci nakas, cat hitam itu aku ambil dan ku buka tanpa memperdulikan nasib laki-laki yang bernama Lion itu. Di samping tulisan kebakaran aku melanjutkannya dengan memberikan tanda strip terlebih dahulu lalu menuliskan,
'- Akibat kompor yang menyala, mereka selamat.'
Ya, mereka selamat, kedua orang tuaku, tapi dimana mereka sekarang?
"Dimana mereka" Desisku mengakhiri tulisan,
'Dimana mereka, orang tuaku?'
"Memangnya kau tidak tahu?"
Aku menoleh menatap seorang laki-laki menyebalkan, Lion berdiri sambil berkacak pinggang dengan mata mengintip tulisan yang aku buat di dinding.
"Ba-bagaimana bisa, sejak kapan kau berada disini?" Tanyaku gugup sambil memegang erat cat akrilik miliknya yang sudah terpakai olehku.
"Sejak kau sibuk melukis dinding dengan cat hitam milikku." Dia menaiki ranjangku dan duduk dengan santai diatas.
Aku menghenduskan napas merasa tidak enak, "Maaf aku memakainya."
"Bagaimana sangat berguna bukan, betapa berharganya cat itu sehingga kau dapat menulis sesuatu di dinding, kalau tidak ada cat kau tidak bisa menulis bukan?"
Benar.
Dia mengatakannya begitu tenang, tidak ada rasa kecewa serta marah melihatku memakai cat miliknya, yang ada dia terlihat begitu senang, dan tertarik dengan tulisanku.
"Apa yang kau tulis?" Tanyanya.
Aku berdiri, menutup botol cat serta membersihkan jari dengan sapu tangan yang belum ku kembalikan.
"Bukan apa-apa." Jawabku tanpa memperhatikannya.
"Tampak seperti catatan, kau mengidap amnesia ya atau apa itu namanya yang ingatan jangka pendek, duh susah sekali ya istilah medis, jadi kau menulis sesuatu di dinding agar kau ingat apa yang terjadi, bukan begitu? Tahun 2019, kau disini sudah tiga tahun? Wah, lama juga ya, berarti kau senior aku dong." Ujarnya panjang lebar dengan mata melihat ke pojokan.
"Bisa berhenti, ini ku kembalikan catnya." Aku melempar cat padanya, sigap dia langsung menangkap cat akrilik itu.
"Akhirnya aku mendapatkan kembali cat yang hilang, terima kasih."
"Sudah kau dapatkan bukan, jadi keluarlah." Aku menunjuk pintu, namun dia menggelengkan kepala.
"Kau mau cat ini?" Lion melempar kembali cat itu padaku, namun aku hanya diam sehingga cat itu terjatuh, "Kau tidak jago menangkap."
"Tidak butuh, lagi pula cat itu sangat berharga bagimu bukan?"
"Sepertinya tidak lagi, karena kau membutuhkannya, jadi cat itu secara tidak langsung sangat berharga bagimu."
Aku terdiam,
"Ambil saja tidak usah malu-malu, cat itu tadinya sangat berharga bagiku karena harganya yang mahal dan aku harus menabung cukup lama." Jelasnya.
Aku pun mengambil cat itu dan memperhatikannya, benar cat ini sekarang sangat berharga bagiku, guna mencatat kejadian-kejadian yang ku alamani tadi.
"Terima kasih." Ujarku dibalas senyuman.
"Aku pun juga berterima kasih karena kau menemukannya, cat itu terlihat berguna padamu jadi pakailah sebaik mungkin."
Aku mengangguk, Lion memeluk kedua kakinya hal ini mengingatkan ku pada diriku sendiri.
"Omong-omong kau sakit apa, lama sekali sampai tiga tahun di rawat."
"Aku sendiri pun tidak tahu, menurut catatan aku korban kebakaran." Aku ikut duduk di atas ranjang memunggunginya.
"Sampai tiga tahun di rawat, waw, dimana orang tua mu, eh, maaf." Dia berhenti seakan tahu apa yang ku tulis di dinding menggunakan cat-nya.
"Aku tidak tahu apapun, aku terbangun tanpa mengingat sedikit pun kejadian pada saat itu. Dan tulisan di dinding ini saja ku temukan secara tidak sengaja, yah hidupku sangat tidak jelas."
Dia mengangguk, "Pasti kau sangat tersiksa, lalu bagaimana jika ingatanmu kembali, apa yang akan kau lakukan?"
"Ntahlah, aku tidak tahu."
"Kau tidak punya mimpi gitu?"
Aku menggelengkan kepala, dia begitu terkejut, sampai turun dari ranjang.
"Gila, masa hidup gak punya mimpi." Gerutunya
"Memangnya kau punya?" Tanyaku.