"Aku tinggal menyebutkan ciri-cirimu pada perawat, dan yah sekarang aku disini berhadapan denganmu." Dia berhenti dihadapanku setelah berputar lima kali.
Perawat, perawat yang mana?
"Kau ini suka membuang banyak waktu ya, cepat kembalikan, jangan kebanyakan drama deh, waktu ku tidak banyak nih." Ia mengulurkan tangannya memintaku untuk mengembalikan cat akriliknya, "Lagi pula kalau kau ambil untuk apa sih cat-nya, kau suka melukis juga?"
"Aduh aku benar-benar tidak tahu, serius."
"Yah benar nih tidak tahu?"
Aku mengangguk, "Iya serius."
Wajahnya berubah sedih, matanya yang tadinya melebar kini sayu.
"Kalau begitu jika kau lihat cat hitam milikku tolong kembalikan ya, soalnya aku butuh banget dan maaf mengganggu." Dia menunduk dan berjalan keluar dengan badan bungkuk.
Sebelum dia membuka pintu aku bertanya padanya,
"Bila ku temukan catnya, apa yang akan kau lakukan?"
Dia berbalik menatapku,
"Berterima kasih."
"Hanya itu?"
"Dengan tulus, aku sangat-sangat berterima kasih jika kau menemukan cat itu."
"Seberhaga itukah, padahal hanya cat bisa beli baru."
Dia tertawa kecil, "Siapa namamu?"
Aku mengeritkan alis, dia pun tampaknya tahu kalau aku merasa tidak nyaman ditanya seperti itu.
"Maaf seharusnya aku yang memperkenalkan diri terlebih dahulu, aku Lion." Setelah memperkenalkan diri, dia pun menunjukku untuk memperkenalkan diri.
"Sarah."
"Bila kau sudah menemukan catnya akan aku katakan betapa berharganya cat itu bagiku," Ujarnya membalikan badan sambil membuka pintu, "Kalau bisa secepatnya ya, aku gak bisa nunggu lama." Lanjutnya sebelum menghilang di balik pintu.
Aku mengeluarkan cat dari dalam saku, melihat cat itu cukup lama, sempat ku berpikir menggunakan cat ini untuk menulis di dinding, namun rasanya sangat berat mengetahui kalau sang pemilik sangat membutuhkannya. Aku pun dengan berat hati mengurungkan niatku untuk menulis tulisan baru ditahun 2021, jika terjadi sesuatu atau keadaanku menjadi lebih buruk tulisan yang ku bisa menuntunku.
Ku simpan cat itu di laci nakas, ku pejamkan mata sejenak menikmati suara hujan yang mulai deras. Hari ini cukup berat, banyak hal yang baru saja ku ketahui, kepingan masa lalu perlahan mulai muncul dalam mimpi, peristiwa antara aku dengan Dokter Adi yang masih menjadi misteri. Aku berjalan menuju sofa, bersandar sambil memejamkan mata, sepertinya aku harus mencari dulu akar masalah ini, mungkin saja dulu aku terlalu buru-buru untuk keluar dan tidak memperhatikan masalah yang lainnya.
Baiklah, dengan ini aku harus mengurungkan niatku untuk keluar dari rumah sakit, aku harus menyelesaikan masalahku yang ada disini, masalahku dengan Dokter Adi, orang yang melarangku minum obat, sekaligus orang yang memberikan aku obat, ah iya, diam-diam dia pasti menyuruh dokter lain untuk memberikan obat itu padaku agar aku tidak curiga padanya.
Sial, dia mempermainkan pikiranku agar aku menjadi gila.
Aku menggenggam kelima tablet obat, jendela yang sudah terbuka membuat angin dari luar masuk ke dalam kamar, hawa sejuk sehabis hujan, serta bau basah yang sangat nyama, aku menyukainya. Ku lempar obat itu seperti biasa, namun kali ini semuanya ku buang, tidak ada yang tersisa di dalam kota kaca, ku tutup jendela dan kembali duduk di ujung ranjang.
Beberapa hari ini Ayu juga terlihat menjadi pendiam, tidak seperti biasanya yang banyak bercerita, dia datang membawa sarapan lalu pergi tanpa menunggu ku menghabiskannya, bahkan dia tidak melihat apakah aku meminum obatnya atau tidak, seolah dia tidak peduli lagi dengan keadaanku.
Sementara itu Ega, si perawat sampai saat ini tidak ada kabar, mungkin saja dia dengan Dokter Adi tengah merencanakan sesuatu, aku tidak tahu. Sudah sekitar empat hari ini, aku seperti meminum obat itu, kosong sekali tidak ada perasaan, hampa dan tidak ada harapan.
Setiap malam mimpi mengenai kebakaran itu terus saja berulang, tidak ada kepingan baru yang aku temukan, bukti hanya dari tulisan di dinding dan surat itu sama sekali tidak ada kemajuan, otaku seakan sudah tidak mampu untuk mengingat lagi.
Jalan buntu, tidak ada yang bisa aku lakukan, mau aku bergerak pun pasti tidak akan berhasil, aku sudah lelah, apa aku mati saja? Kalaupun mereka masih hidup, kenapa mereka tidak datang menjemputku, apa mereka sengaja atau menjadikan aku sebagai tersangka dalam kebakaran itu?
Arg! Pusing, mau mati saja.
Tiba-tiba saja aku mengingat lantai kamar mandi yang retak, aku bisa jadikan pecahan itu untuk bunuh diri. Aku bertindak tanpa pikir panjang, kakiku masuk ke dalam kamar mandi dan mendekati pancuran air, ku cari lantai yang retak itu.
Ah, ketemu.
Untung saja belum di perbaiki, aku langsung mengambil pecahan yang besar membawa pecahan itu ke wastafel, keran air ku nyalakan, sengaja aku menutup saluran air agar air dapat memenuhi wastafel. Ku masukan tangan tangan kiriku ke dalam air, tangan lainnya ku arahkan ke pergelangan tangan kiri, ku tarik napas dalam-dalam, menatap bayangan diriku pada kaca, sangat memprihatinkan.
Tubuhku bergetar, aku takut untuk melihatnya, aku bisa merasakan sentuhan pecahan lantai pada pergelangan tanganku, ku gerakan secara horizontal, rasanya tidak sakit karena terbantu oleh air.
"JANGAN!"
Degh!
Aku langsung membuka kedua mataku saat mendengar suara orang berteriak, mataku terbelakak melihat apa yang terjadi, kobaran api melalap sebagian ruangan, seorang perempuan tergeletak dilantai, di dekat perempuan itu seorang wanita berdiri sambil meremas rambut hitam panjangnya, seorang pria berlari sambil membawa kain basah berusaha memadamkan api.
"JANGAN LAKUKAN INI PADA ANAKMU, CEPAT BAWA DIA KELUAR! KAU TIDAK BISA MEMADAMKAN API SEORANG DIRI HARRY!" Teriak wanita itu.
"KAU SAJA, BAWA DIA!" Balas pria bernama Harry.
Aku berlari mendekati mereka, "CEPAT TELPON PEMADAM!" Teriakku pada wanita itu.
"YAYA, TELPON PEMADAM!" Wanita itu langsung merogoh saku roknya dan menekan tombol pada layar ponsel.
"ARGH!"
Aku menatap Pria bertubuh tinggi itu, tangannya tak sengaja terkena api, lengan bajunya terbakar dan langsung saja ia gunakan lap basah untuk memadamkan api pada lengan bajunya. Dia berusaha memadamkan api yang berada di dapur, aku melihat kompor dengan wajan diatasnya sudah menghitam.
"KAU TIDAK APA?" Tanyaku, dia menggelengkan kepala.
"HARRY!" Teriak kembali wanita itu, aku meliriknya dia sudah selesai menelpon pemadam dan wajah cantiknya penuh dengan noda hitam.
"BAIKLAH AYO." Dia berlari melewatiku.
"BAWA DIA!" Perintah wanita itu, dan pria itu langsung menggendong perempuan yang tergeletak keluar dari rumah, wanita itu menyusul dibelakangnya.
Mereka keluar meninggalkan ku yang masih di dalam rumah, kondisi semakin memanas, aku pun berlari menyusul mereka, saat aku berada di belakang wanita itu waktu seakan melambat. Perempuan yang berada digendongan pria itu terlihat pucat, pelipisnya mengeluarkan darah, api yang berkorbar menerangi tempat, aku bisa melihat wajahnya, dia adalah aku.