Chereads / 30 Day's / Chapter 4 - Bagian 4

Chapter 4 - Bagian 4

Dia berlutut, wajahnya menunduk, kedua tanganya di angkat ke langit seakan tengah dihukum. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya, ruangan ini hanya bermodalkan cahaya temaram dari luar jendela, suaranya serak, napasnya tidak teratur, seakan tengah menangis.

Dari belakang aku bisa merasakan kehadiran seseorang, tinggi dan besar, tak lama dia melewatiku begitu saja, mendekat ke orang yang berlutut, bahunya begitu lebar bahkan menutupi tubuh kecil orang itu. Aku tidak dapat melihat jelas apa yang tengah mereka bicarakan, orang berbadan besar itu menegakan tubuhnya, salah satu tangan ia angkat, lalu melayangkan tangannya pada orang yang menyedihkan itu.

Orang berbadan besar itu berbalik melihatku, saat ia melangkahkan kakinya mendekat, setiap langkahnya membuat lututku lemas, aku terhuyung kebelakang, tubuhku seakan melayang menembus lantai.

Brugh!

Kepalaku terbentur sangat keras, namun aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi, pandanganku penuh dengan warna merah, aku tidak bisa mendengar, bahkan menggerakan tubuh saja tidak bisa. Tapi aku tahu apa yang tengah terjadi, beberapa benda yang aku lihat dilalap oleh api besar, sedari tadi aku melihat dua orang berlalu-lalang melewatiku, sepasang kaki jenjang yang indah berhenti di dekat wajahku, lalu tubuhku diangkat oleh seseorang.

Dibawanya aku melewati kobaran api, panas, pandanganku jadi buram, dibelakang orang yang menggendongku seorang wanita ikut berlari dengan wajah yang tidak jelas. Napasku sesak dan berat, aku sudah tidak kuat lagi, aku ingin tidur sejenak.

*

Dokter berbadan gempal ini sangat menyebalkan sekali, setiap hari selalu datang dengan membawa obat, belum lagi mendengar kata-kata motivasinya, sangat tidak membantu. Dia keluar setelah mengingatkanku untuk meminum obat, dan Ayu akan datang membawa sarapan seperti biasa.

Aku menghela napas berat, menyandarkan punggungku pada dinding, mimpi tadi malam terasa begitu nyata, bahkan panasnya saja bisa ku rasakan. Kepalaku sakit saat baru bangun dari tidur, tubuhku lemas, napasku pun menjadi tidak teratur seakan habis berlari jauh.

Mimpi itu memenuhi isi kepala, aku tidak tahu siapa saja orang yang ada dimimpiku, ada seorang pria bertubuh besar, orang yang berlutut, wanita dan pria yang membantuku keluar dari kebakaran, apakah kedua orang itu adalah orang tuaku, saat mereka membawaku pergi apa mereka masih baik-baik saja?

Dengan langkah berat, seperti biasa aku membuang obat itu keluar jendela, membersihkan diri dan menunggu Ayu datang membawa sarapan. Ketika aku keluar dari kamar mandi, dan ingin kembali ke ranjang aku melihat nakas, dibelakangnya terdapat barang penting yang harus dirahasiakan, dan semoga saja tidak ada yang tahu.

Tulisan di dinding mengenai 2019 tentang kebakaran, aku sudah mendapatkan beberapa kepingan ingatan dari mimpi, masih belum jelas tapi aku memastikan bahwa mereka, kedua orang tuaku pasti masih hidup, karena merekalah yang menolongku saat itu, masih ada harapan untuk bertemu.

Langit pagi terlihat mendung, kakiku yang terselimut perban harus segera diganti baru karena basah terkena air saat mandi. Ayu belum datang juga, aku pun terpaksa keluar dari kamar dan berniat untuk mengganti perbanku terlebih dahulu karena rasanya tidak nyaman.

Aku keluar memastikan tidak ada yang melihat, kamar depanku juga tertutup dengan rapat, aku berjalan hati-hati sambil memegang dinding, saat mendekat ke meja perawat, aku mengintip sedikit, untungnya tidak ada yang berjaga disana, jadi aku bisa dengan santai berjalan menuju elevator.

Namun saat aku ingin menekan tombol atas, pintu elevator belakangku berbunyi, jantungku berdegub dengan kencang, namun aku harus bersikap normal. Aku berbalik dengan wajah polos, menatap beberapa orang datang membawa setumpukan kardus dan juga tas besar, orang terakhir keluar menggunakan baju pasien, ia tersenyum padaku sebelum berlalu, aku hanya diam dan menghela napas lega, ku pikir perawat atau dokter.

Saat aku ingin masuk ke dalam elevator yang sudah kosong, kaki ku tak sengaja menendang sesuatu, sebuah botol berukuran kecil bewarna hitam, aku mengambilnya dan membaca label pada botol tersebut.

Cat Akrilik Hitam.

Ah, ternyata hanya sebuah cat lukis, aku menatap lorong yang sudah sepi, cepat sekali mereka menghilang. Aku mengambil cat itu dan ku simpan dalam saku celana, sebelum intu elevator tertutup aku dengan cepat langsung masuk dan menekan tombol 7, tempat kakiku diobati.

Ting!

Pintu elevator terbuka, aku segera keluar berjalan mengendap-ngendap melewati beberapa orang yang datang untuk berjenguk dan juga menghindari perawat dengan masuk ke dalam kamar pasien lain, untung saja tidak ada yang tahu ataupun curiga dengan tindakanku, aku hanya berpura-pura salah kamar pada pasien lain.

Aku sudah berada di depan ruangan dokter itu, kakiku seakan sulit untuk melangkah bahkan tanganku kaku untuk mengetuk pintu, tak jauh dari bilik dekat elevator aku mendengar suara dua orang tengah berbincang. Lantas dengan sigap aku masuk ke dalam kamar pasien yang ada di seberang ruang dokter.

Beruntungnya kamar ini kosong, jadi aku tidak perlu beralasan untuk mengatakan salah kamar, kedua perawat itu berhenti tepat di depan pintu kamar, aku yang berada di balik pintu diam-diam mendengarkan mereka berbicara.

"Aku tidak mau membantunya." Ujar seorang wanita bisik-bisik, namun bisa terdengar olehku.

"Apa kau tidak kasihan padanya?" Balas seorang pria.

"Aku hanya menjalankan perintah, kau tidak ingat kejadian sebelumnya, apa kau tidak kasihan jika dia gagal lagi?"

"Apa kau tahu anak Dokter Adi mati karena kebakaran itu?"

"Ya, aku tahu."

Aku mengintip melalui lubang kunci, namun hanya seragam merekalah yang dapat aku lihat. Keduanya berbicara dengan serius, mereka pun tampak saling mengawasi satu sama lain.

"Masuk ke dalam, kita bicara didalam." Pria itu memegang knop pintu, aku pun kaget dan tersentak ke belakang.

Langsung saja aku berlari mencari tempat untuk bersembunyi, aku bersembunyi di dalam lemari, susah payah tubuhku masuk kedalam lemari, aku meringkuk agar bisa pas masuk, ku tutup pintu lemari bertepatan dengan suara knop pintu yang dibuka.

"Aku tidak mau berurusan dengan atasan."

Dari sela lemari aku bisa melihat Ayu yang berjalan masuk dengan wajah takut, ia duduk di atas ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah, sementara seorang pria, perawat yang tidak mau menyebutkan namanya itu bersandar pada dinding, dia Ega, menatap Ayu dengan santai.

"Itu bukan salahnya."

"Mau salahnya pun aku tidak mau ikut campur." Balas Ayu dengan penekanan.

"Bantu Sarah untuk mengingat kejadian itu."

"Kejadian apa, aku baru satu tahun dengannya, aku tidak tahu apapun tentangnya."

"Tapi kau tahu kejadian saat pelarian diri." Tegas pria itu membuat Ayu terdiam.

"Dia masih muda, masih banyak waktu untuknya untuk menikmati dunia luar."

"Siapa yang akan mengurusnya jika dia berhasil keluar dari sini?" Kini Ayu membuat diam Ega.