Kavin tersenyum lebar, sejurus kemudian dia membalikkan badannya ke arah Shintia. Kali ini terlihat Shintia yang melangkah mendekatinya. Wanita yang memiliki rambut sebahu itu tampak anggun dengan high heelsnya, dia menatap Kavin dengan tampak menyesal. Karena apa yang akan dia sampaikan setelah ini.
"Enggak, Kavin. Aku nggak perlu waktu untuk menjawabnya, justru aku merasa ini tidak mungkin terjadi. Maaf aku nggak bisa menerima kamu."
Deeegg!
Entah perasaan dingin dari mana yang tiba-tiba saja menyelinap masuk ke dalam rongga hati Kavin, membuat seluruh hatinya beku seketika. Seketika jiwanya terasa mati dari kebahagiaan dan yang tertinggal hanya rasa perih yang tidak terkira.
Shintia melihat Kavin yang wajahnya mulai redup dan benar-benar kehilangan cahaya di sana. Di wajahnya hanya ada kegelapan yang siap untuk dia ledakan dengan amarah. Terlihat tangannya mengepal kuat, lalu tiba-tiba Kavin mencengkeram bahu Shintia.
Shintia mundur ke belakang. Namun kekuatan Kavin tetap mencengkeram pada kedua belah bahunya dengan kuat, hingga mengikuti Shintia. Shintia tersandar di dinding butiknya, terlihat dadanya naik turun karena rasa takut dan perasaan tidak menyangka pada laki-laki di depannya.
"Vin, sadar!"
"Kenapa Shin? Kenapa tidak bisa. Apa karena kamu masih menganggap aku anak kecil yang suka main layangan seperti dulu, kamu pikir aku penakut petir seperti dulu. Bahkan aku bisa menghadang petir itu saat hujan, Shin."
Kavin meluapkan semua yang dia rasakan saat ini. Dia tahu, pasti Kavin hanya lah bocah bagi Shintia. Shintia yang sudah memikirkan masa depannya, sementara Kavin masih sibuk bermain layangan. Shintia yang selalu menenangkan Kavin saat hujan turun, ketika Kavin ketakutan akan petir yang bisa saja muncul saat hujan turun.
Namun harusnya Shintia sadar jika semua sudah berlalu 15 tahun yang lalu, saat Kavin masih duduk di bangku SMP. Dan sekarang Kavin sudah tumbuh menjadi laki-laki tampan dan pemberani, dia bisa mengalahkan siapa saja yang ingin bertarung dengan dia.
"Vin tolong jangan seperti ini, sadar aku ini siapa, kita berteman sejak dulu."
Shintia berusaha membangunkan Kavin dari keberingasan dia saat ini. Shintia yakin Kavin sudah salah paham tentang semua ini, dia hanya perlu mengingat tentang persahabatan mereka.
Kavin mengguncang tubuh Shintia sambil ujarnya, "aku mencintai kamu, apa itu tidak cukup untuk membuat kamu mengerti. Aku menginginkan kita bisa bersatu, apa salahnya jika persahabatan ini berakhir menjadi hubungan dalam ikatan pernikahan. Aku mencintai kamu."
Kekuatan Kavin begitu besar saat ini, bahkan Shintia tidak pernah menerima perlakuan dari Kavin se-kasar ini. Dia memang tidak terima dengan penolakan Shintia, sementara baginya tidak ada alasan untuk Shintia menolaknya. Kavin menggoncang bahu Shintia berkali-kali, hingga dua kancing teratas dari kemejanya lepas. Memperlihatkan bra berwarna hitam dan juga sedikit bagian berwarna putih di dalamnya.
Terlihat Kavin melonggarkan pegangannya, ada rasa sesal yang tampak dari wajahnya. Dan seketika itu juga Shintia melepaskan cengkraman tangan Kavin dengan kasar. Lalu dia menampar pipi kanan Kavin hingga memerah, sekaligus menyadarkan Kavin dari segala amarahnya.
Namun dia terlambat untuk menyesal, karena wanita di depannya sudah terlihat meneteskan air mata. Kavin merasa sakit di pipinya karena tamparan Shintia tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit karena melihat pemandangan di depannya. Dia membuat wanita yang sangat dicintainya itu menangis.
"Kamu tanya kenapa? Karena ada orang lain yang aku cintai dan itu bukan kamu," ucap Shintia tegas.
Kavin yang tertunduk, spontan kembali menatap Shintia. Shintia yang penuh dengan air mata di wajah putihnya, dia berusaha untuk berdiri tegak dan menatap Kavin. Seperti ingin meyakinkan Kavin, jika dia tidak bisa menerima Kavin. Dan itu bukan karena semua yang dia tuduhkan. Namun ada orang lain yang dia sukai, dan laki-laki yang dia inginkan bukanlah Kavin.
Kavin menghembuskan napasnya gusar. "Hah, apa."
"Sekarang kamu keluar dari sini!" Teriak Shintia.
Terdengar Shintia mengusir Kavin yang terpaku. Baru kali ini dia melihat wanita itu semarah ini. Kelembutan dan perhatian dia yang selama ini membuat Kavin nyaman dan merasa jatuh cinta.
"Keluar!!"
Terdengar Shintia berteriak lebih nyaring lagi. Kavin menatap Shintia sejenak dengan sepasang mata yang seperti tidak rela untuk meninggalkan tempat ini, karena dia tidak pernah menginginkan air mata jatuh dari netra wanita yang sempurna baginya itu. Namun dia yang malah membuat ini semua terjadi, dia membuat hati Shintia sakit.
Kavin memilih untuk melangkahkan kaki dia dari sana, dia meninggalkan butik milik Shintia. Sementara Shintia bergerak dari tempatnya berdiri, dia menuju bangku kerjanya dengan susah payah. Lalu menaruh bobotnya di sana.
*
*
Terlihat seseorang tengah mengendarai Vespa metik berwarna putih, dengan helm bogo berwarna hitam doff. Dia adalah Geisha. Geisha mengemudikan kendaraan menembus jalanan yang sudah mulai padat.
Niat awalnya untuk datang pagi-pagi ke toko roti gagal karena sahabat sekosan-nya. Padahal Geisha sudah bangun sebelum waktunya shalat subuh, untuk menyiapkan penampilan dia. Dan agar dia punya waktu yang panjang untuk berdandan, walaupun hanya toko roti. Tentu Geisha sangat berharap, jika dia berhasil interview dan diterima.
Namun penampilan memang sangat menjadi pertimbangan juga, setelah ijazah yang harus dia miliki. Jika dari penampilan saja Geisha tampak meragukan bagaimana pemilik toko itu akan menerima dia bekerja di sana. Tentu yang mampir untuk berbelanja di sana juga tidak suka seandainya yang melayani mereka berpenampilan mengganggu mata.
Sudah pasti pemilik toko roti sekaligus bosnya Hana itu akan menyeleksi terlebih dulu. Geisha memang butuh sekali pekerjaan untuk menyambung kehidupannya yang sangat lah pas-pasan. Dia tidak mungkin mempersulit keadaan ibu dan bapaknya di kampung, mereka bisa hidup dari berkebun pun, Geisha sudah sangat bersyukur.
Sementara Geisha sangat lah jarang mengirimkan uang untuk mereka, dan mereka pun tidak pernah meminta padanya. Kecuali dalam keadaan terdesak, seperti mereka tidak punya apa pun lagi untuk di makan atau karena perlu sesuatu yang harus sekali mereka beli.
Sekarang Geisha harus segera tiba di toko itu, seperti waktu interview yang dijanjikan. Sebelum benar-benar terlambat Geisha tidak akan putus asa, dia meng-gas kendaraannya lebih kencang lagi. Dia melaju tanpa ingin menengok ke kiri atau ke kanan, apalagi memperhatikan ke sekelilingnya. Geisha terus fokus pada arah di depannya, jalanan raya yang harus segera dia tembus agar bisa menuju tempat tujuan.
Namun beberapa jarak darinya, Geisha melihat seekor kucing berkeliaran di tengah jalan. Geisha pun membelokkan setirnya untuk menghindari kucing itu, hingga dia berhasil melewati binatang itu. Namun Geisha menghentikan motornya tiba-tiba, dia melihat dari kaca spionnya, kucing itu masih betah di tengah aspal jalanan.
Pemandangan itu membuat Geisha tidak bisa untuk bersikap tidak peduli. Geisha takut binatang itu akan ditabrak pengendara lain, membayangkan kejadian itu membuat Geisha meringis sendiri. Lalu Geisha memarkirkan Vespanya di pinggir jalan dan mendekati kucing mungil itu.
Bersambung ....