Kavin membuka pintu rumahnya yang berwarna gold, lalu memasuki rumah mewah yang dia tinggali bersama mami, papi, serta para asisten rumah tangga yang tidak terhitung jumlahnya. Sementara adik satu-satunya yang dia miliki tinggal di rumahnya sendiri bersama suaminya.
Dia berjalan dengan wajah yang sangat tidak mengenakkan, tapi tidak mengubah ketampanannya. Karena dipandang dari sudut mana pun Kavin akan tetap terlihat tampan dan sempurna. Dia berpapasan dengan seorang asisten rumah tangga, seperti biasa para art-nya selalu memberikannya penghormatan saat bertemu. Dia menundukkan kepala sampai Kavin berlalu dari hadapannya. Kavin yang sangat dingin dan tidak peduli dengan keadaan rumahnya, beserta semua yang ada di dalamnya.
Dan kali ini Kavin kelihatan lebih menyeramkan, dia menyusuri rumahnya yang besar dan sudah pasti dengan barang berkelas nan mahal di setiap interior dan barang yang terdapat di dalamnya. Hingga dia berhenti di sebuah pintu dan menekan alarm yang ada di samping pintu itu, menandakan jika dia ingin masuk menemui orang yang sedang berada di dalam.
Hingga pintu terlihat bergeser otomatis, Kavin langsung melangkah masuk. Dia berjalan cepat hingga benar-benar sampai di depan sebuah meja, yang seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di meja kebesarannya itu.
Mahendra yang mengetahui kedatangan Kavin dari kamera cctv, yang terpasang tepat di depan pintu ruangannya itu, masih sibuk dengan berkas-berkas di tangannya. Laki-laki itu tampak keriput, tapi sangat masih terlihat energik dan awet muda.
"Papi aku mau bicara," pinta Kavin.
Spontan Mahendra menengadahkan wajahnya pada Kavin.
"Apa yang mau kamu bicarain, Vin?" tanya Mahendra.
"Pap, apa papi bisa menarik keputusan papi kemarin?"
Kavin berharap papinya akan mengubah kembali apa yang diputuskan dia kemarin. Jika dia akan mengambil jabatan Kavin sekarang apabila Kavin tidak menikah dalam waktu dekat.
"Enggak, kamu tetap harus melakukannya jika kamu masih ingin berada di bangku wakil direktur."
Perkataan papinya membuat Kavin menghembuskan napas dengan sudut bibir terangkat. Dia tahu ini bukanlah sepenuhnya keputusan dari Mahendra, tapi ini adalah kemauan Elena. Namun lagi-lagi papinya lebih memihak pada maminya, hal yang selalu bertentangan dengan Kavin. Bahkan urusan pribadi Kavin selalu dibawah bayang-bayang maminya. Jika Elena tidak suka, maka Mahendra juga akan menentangnya. Kavin tidak mengerti kenapa mami kandungnya bersikap seperti bukan orang yang telah melahirkannya.
"Bahkan di umur aku yang sekarang Papi enggak memberikan jabatan CEO pada aku, tapi Papi malah mau ngambil pekerjaan aku sekarang!"
"Justru mami benar, Kavin. Kamu harus mencari pasangan di umur kamu yang sudah mencapai kepala tiga. Soal jabatan itu hanya memotivasi kamu agar kamu bersemangat mencari jodoh," pungkas Mahendra.
"Memotivasi aku?"
"Tapi aku masih belum siap Pap, lagi pula tidak ada wanita yang aku inginkan. Papi tidak bisa memaksa aku, bagaimana kalau aku malah tidak bahagia dengan pernikahan ku nanti."
"Di luaran sana banyak wanita kan, nggak mungkin nggak ada yang kamu sukai, kamu cuma memilih lalu menikah. Umur kamu sudah tiga puluh dan Papi yakin kamu sudah siap untuk itu," sergah Mahendra.
"Aku —"
"Papi rasa sudah jelas, kamu pergi dari ruangan Papi karena masih banyak pekerjaan yang harus Papi kerjakan."
Kavin berusaha menahan hatinya yang marah lalu pergi dengan perasaan yang bertambah tidak karuan. Di depan pintu dia berpapasan dengan Elena yang tersenyum padanya. Namun senyuman itu malah terlihat seperti senyum licik yang tidak pernah diketahui maksudnya. Salahkah jika Kavin hampir mengatakan jika dia seperti nenek sihir jika saja dia tidak ingat jika Elena adalah maminya.
Elena masuk ke dalam ruangan suaminya dan terlihat pintu pun bergeser tertutup. Elena bergerak mencium pipi kanan dan kiri suaminya yang menyambut dia dengan kasih sayang. Sejak bertemu Elena saat Kavin berusia satu tahun, memang telah menyelamatkan Mahendra dari keterpurukan. Dia menggantikan istri pertamanya yang telah berkhianat padanya dan merawat Kavin sampai sekarang, serta memberikan dia seorang anak perempuan yang bernama Amora.
"Ada sesuatu yang terjadi, sayang, kenapa Kavin? tanya Elena tampak perhatian.
"Kavin meminta untuk menarik keputusan yang kita katakan padanya kemarin."
"Lalu, kamu setuju?"
Elena tampak penasaran dengan jawaban suaminya, dia takut jika Mahendra telah memutuskan sesuatu tanpa seizinnya. Namun Elena tahu Mahendra sangat lah percaya padanya dan selama ini selalu memberikannya hak penuh untuk mengatur semuanya.
"Enggak, aku pikir apa yang kamu perintahkan pada Kavin adalah benar. Dia harus memikirkan masa depannya untuk mempunyai istri."
Elena tersenyum. "Kamu benar, sayang."
"Sayang, sepertinya kamu tampak pusing gara-gara hal ini. Apa kamu butuh sesuatu," tawar Elena begitu perhatian.
"Iya, kamu bisa siapin aku minuman dingin, sayang," pinta Mahendra.
"Segera."
Elena berlalu dari hadapan Mahendra, dia memang sangat pintar untuk mencari perhatian suaminya. Dia selalu membuat Mahendra merasa jika Elena lah yang terbaik dan merasa menjadi paling beruntung karena memiliki Elena. Tanpa dia tidak tahu jika Elena lah yang menyebabkan penderitaan dia dulu.
*
*
Kavin tiba di kamarnya lalu menceburkan tubuhnya ke tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya membayangkan lagi saat mendapatkan penolakan dari Shintia.
Saat dia diberikan syarat untuk segera menikah dari Mahendra dan juga Elena. Kavin benar-benar bingung harus bagaimana, sementara dia tidak mempunyai pasangan. Namun dia mempunyai seseorang yang sangat dia cintai sejak dulu, Kavin hanya menyukai Shintia dalam hidupnya selama ini.
Namun Kavin tidak pernah berani mengatakan perasaan cintanya itu hingga kini. Akhirnya dia terpaksa menemui Shintia dan tanpa basa-basi mengatakan ingin meminta Shintia menikah dengannya.
Mungkinkah ini terlalu mendadak bagi Shintia hingga dia malah menolak Kavin. Walaupun Kavin merasakan jika ini adalah sesuatu yang sudah lama ada dalam hatinya. Jiwanya yang selalu terpikirkan Shintia dan tidak pernah lepas dari bayangan wanita sempurna itu.
Kavin tahu ini adalah salah Elena karena Elena lah Kavin harus mengungkapkan perasaannya pada Shintia hingga Shintia menolaknya. Pasti Shintia merasa terkejut karena selama ini mereka yang hanya bersahabat, tapi tiba-tiba saja Kavin malah memintanya untuk menikah. Seandainya Kavin benar-benar siap tentu dia akan lebih bisa meyakinkan Shintia, atau dia bisa melakukan sesuatu yang akan membuat hati shintia luluh.
Mungkinkah cincin darinya kemarin belum cukup untuk menaklukkan hati Shintia. Sepertinya menyiapkan kejutan yang romantis, lalu mengatakan cinta dan memintanya untuk menjadi pasangan hidupnya. Apa mungkin Shintia akan menerima Kavin jika seandainya Kavin memberinya kejutan romantis.
Kavin memejamkan matanya sejenak, mengingat jika dia sudah membuat Shintia marah dan bahkan menangis karena dia. Sepertinya Kavin harus mendatangi Shintia lagi dan dia harus meyakinkan Shintia, jika Kavin bersungguh-sungguh ingin menjadikan Shintia sebagai ratu di istana rumah tangga mereka kelak.
Bersambung ....