"Al--Aletha?"
Nama itu seperti tidak asing bagi Chiraaz yang berhubungan dengan masa lalunya. Eljovan sudah berjalan menghampiri tamunya, sementara Chiraaz masih berdiri mematung.
'Dia kenapa bisa genit seperti itu.' Chiraaz menggerutu di dalam hatinya lalu berjalan menyusul sang suami.
"Sayang, kok, aku ditinggal--." Ucapan Chiraaz terhenti saat melihat sosok wanita yang berdiri di depan suaminya.
Mata Chiraaz terbuka lebar, mulutnya hampir saja menganga melihat siapa wanita yang tengah ada di hadapannya. Janntungnya yang berdebar semakin berdetak dengan cepat.Kakinya seakan tertancap bumi, sama sekali tidak bisa bergerak.
Wanita itu menoleh ke arahnya seraya menyunggingkan senyum lebar. Namun, bukannya senang disapa oleh tetangga barunya. Chiraaz malah merasakan ketakutan yang sangat hebat. Wanita itu berjalan menghampirinya sambil mengulurkan tangan.
"Selamat siang Nyonya Chiraaz," sapa wanita itu yang tak lain adalah Aletha.
"Ka--kamu?" Chiraaz semakin gugup dan tidak berani menjabat tangan Aletha.
"Kamu kenal dia, Sayang?" tanya Eljovan.
"Kenal? Mana mungkin, Pak Dokter, saya baru di kota ini," jawab Aletha, matanya menatap tajam pada Chiraaz.
"Oh, begitu."
"Chi--Chiraaz." Setelah beberapa saat Chiraaz baru mau menyambut tangan Aletha.
"Senang bertemu dengan anda, Nyonya Chiraaz." Aletha melepaskan tangannya.
"Ayo silahkan masuk, maaf menunggu lama," ajak Eljovan.
"Terima kasih, Pak Dokter."
Mereka pun masuk ke dalam rumah, sementara cHiraaz masih larut dalam pikirannya, Chiraaz sangat takut dengan kehadiran Aletha. Wanita yang sangat ia benci dan tidak diinginkan kehadirannya. Jangankan hidup bertetangga, untuk sekadar bertemu di jalan saja Chiraaz enggan berpapasan.
Saat ini Aletha berdiri dengan tenang di hadapannya. Hati Chiraaz bertanya-tanya, ada tujuan apa wanita itu hadir lagi dalam hidupnya.
"Chiraaz, kamu mau berdiri di depan dan membiarkan saya dengan wanita lain di dalam rumah?" tegur Eljovan yang melihat istrinya masih berdiri di depan pintu.
Chiraaz tidak mendengar teguran suaminya, ia larut dalam rasa takut yang melanda hatinya.
"Chiraaz?" Eljovan melambaikan tangan di depan muka istrinya. Tapi Chiraaz masih saja tidak bergeming.
"Chiraaz!" Pria itu pun mengguncangkan tubuh Chiraaz.
"Astaga, maafkan aku, El." Chiraaz terkesiap dan tersadar dari lamunannya.
"Ayo masuk, Nyonya Aletha sudah di dalam," ajak Eljovan menggandeng paksa tangan istrinya.
Di ruang tamu, Aletha tengah membuka wadah yang tadi ia bawa dari rumah. Sengaja dirinya membuatkan sup, sebagai perkenalan tetanga baru. Chiraaz duduk berhadapan dengan Aletha, begitu juga Eljovan.
"Nyonya, ini pertama kalinya anda datang ke rumah saya. Jadi, saya akan memberikan teh terbaik untuk anda," kata Eljovan.
"Apapun teh yang ada di dunia ini, bagi saya green tea masih yang terbaik, Pak Dokter," sahut Aletha.
"Wow, anda suka green tea ternyata. Kebetulan, Mama saya pun selalu sedia di rumah." Eljovan menggenggam jemari Chiraaz. "Sayang, tolong buatkan green tea untuk kita," pintanya.
"Iya." Chiraaz terpaksa menuruti perintah suaminya dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Padahal hatinya waswas karena takut Aletha melakukan hal aneh.
Posisi dapur dan ruang tamu tidak jauh, Chiraaz masih bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. Eljovan dan Aletha mengobrol santai membahas pekerjaan masing-masing. Chiraaz semakin cemburu, melihat suaminya lagi-lagi bicara dengan wanita lain, tidak seperti biasanya.
"Emir, kamu benar sekali, dia datang lagi ke dalam hidupku," gumam Chiraaz sambil menatap teko yang ia taruh di atas kompor.
Sesaat ia kembali melamun mengingat masa lalunya yang kelam. Sampai saat ini tidak pernah ada yang tahu, apa yang sudah dia alami selama ini dan disimpannya rapat-rapat. Chiraaz melongokan kepalanya melihat suaminya dan Aletha.
Seakan sadar diperhatikan dari dapur, Aletha melirik Chiraaz dan menyunggingkan senyum. Chiraaz malu ketahuan mengintip, ia pun pura-pura membersihkan gelas, mengalihkan pandangan dari tamunya.
"Silahkan di minum, Nyonya Aletha," kata Chiraaz yang mengantarkan green tea.
"Ummh, wanginya segar sekali. Semoga tidak ada racun di dalamnya," sahut Aletha sambil memegang gelas miliknya.
"Hahaha, mana mungkin ada racun, Nyonya. Justru racunnya sedang pergi," timpal Eljovan.
"Pergi?" Aletha mengernyitkan dahinya seraya meniup-niup green tea yang masih panas.
"Iya, Mama saya Nyonya, kadang dia kalau mengomel seperti racun mematikan!" tukas Eljovan.
"Oh, memang begitulah seorang ibu, pasti ikut campur untuk kebaikan anaknya. Apa kalian sudah punya anak?" tanya Aletha.
"Belum, kami masih seperti ini."
Aletha mengalihkan pandangan pada Chiraaz dan bertanya, "apa anda tidak ingin punya teman bermain, Nyonya?"
"Hah? Emh, saya juga ingin, tapi memang sampai saat ini belum dikasih," jawab Chiraaz gugup.
"Dari tadi anda gugup sekali, seperti sedang bertemu pejabat saja," seloroh Aletha.
"Saya, masih belum pulih, masih belum bisa pokus bicara," kilah Chiraaz.
"Oh ya, anda baru pulang dari rumah sakit. Maafkan saya kalau begitu, karena bertamu di waktu yang tidak tepat. Kalau begitu saya pulang saja," kata Aletha.
"Loh, teh nya belum dihabiskan Nyonya. Santai saja sudah," cegah Eljovan.
"Tidak apa-apa, ini sangat enak. Lain kali, saya akan berkunjung lagi. Sekalian membahas kasus saya untuk membasmi pelakor," jawab Aletha sambil melirik Chiraaz.
"Oh, baiklah jika itu keinginan anda. Terima kasih sup nya, nanti Chiraaz yang akan mengantarkan wadah ke rumah anda."
"Baiklah, saya tunggu." Aletha berdiri lalu berbalik meninggalkan rumah mereka.
Aletha kembali ke rumahnya, sebelum menutup pintu, ia berdiri sesaat memandangi pintu rumah Eljovan. Hatinya senang melihat ketakutan di wajah Chiraaz tadi dan sangat puas. Seringai penuh arti tersungging dari bibirnya, ia pun masuk ke dalam rumah.
"Kau akan merasakan, bagaimana sakitnya kehilangan suami, Chiraaz," gumam Aletha.
Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir ranjang. Diraihnya foto seorang anak kecil yang tengah ia peluk dan tersenyum bahagia. Setitik air bening meluncur membasahi pipi, mengenang semua yang terjadi hati Aletha menangis pilu.
Kembali ke rumah Eljovan, pasangan yang baru berdamai itu sudah berada di dalam kamarnya. Chiraaz berbaring di tempat tidur, sementara Eljovan masih duduk di samping ranjang sambil membuka laci.
"El, kamu akrab sekali dengan tetangga baru," komentar Chiraaz memiringkan tubuhnya ke arah Eljovan.
"Ya jelas saja, dia klienku, Chiraaz," jawab Eljovan datar.
"Klien?"
"Dia sedang ada masalah pernikahan dengan suaminya. Ya, kami baru sekali pertemuan, ternyata dia baru di kota ini," jelas Eljovan.
Jantung Chiraaz berdentam keras mendengar penjelasan suaminya. Tapi tidak mau terlihat gugup, ia pun mencoba bersikap biasa. Chiraaz bangkit lalu memeluk Eljovan dari belakang.
"Dia cantik, aku takut kamu tergoda," ucap Chiraaz manja.
Eljovan melepaskan rangkulan istrinya dan berbalik menghadap Chiraaz. Keduanya saling menatap lekat, Eljovan meraih wajah Chiraaz dan mencium bibirnya spontan.
"Kamu posesif sekarang, aku suka," ucap Eljovan, lalu melepaskan kacamatanya.
"I love you."
"Love you more."
Mereka saling memeluk erat, lalu menautkan bibirnya satu sama lain, menikmati siang yang panas.