Karena trauma dengan kejadian yang menimpanya, Chiraaz memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Setelah bicara dengan Eljovan selama beberapa hari belakangan ini. Akhirnya Eljovan hanya bisa mendukung keputusan istrinya.
Bukan hanya dendam Nyonya Hwan yang mengganggu Chiraaz, akan tetapi kehadiran Aletha di lingkungan mereka, hal itu lebih ditakutkannya. Chiraaz takut jika Aletha akan merebut suaminya dari dirinya.
Hari ini Chiraaz sudah menyiapkan surat pengunduran diri, saat ini ia tengah menunggu untuk masuk ke ruang atasannya. Sejak kemarin Moly--temannya terus saja menelpon karena Edward, atasannya, terus menanyakan keberadaannya.
"Chiraaz, kamu dipanggil masuk." Moly memanggil Chiraaz dari balik meja.
"Ok, thanks ya Ly," sahut Chiraaz. Ia bangkit dan merapikan pakaiannya, jantungnya berdegup kencang.
"Permisi, Pak Edward." Chiraaz menyapa dari balik pintu yang hanya menampakkan kepalanya.
"Masuk," sahut Edward, pria tampan dengan postur tubuh yang gagah itu duduk tenang di kursi kebesarannya.
"Ke mana saja kamu beberapa hari ini? Bukankah masa cuti mu sudah usai? Lantas, kenapa kamu telat bekerja?" Edward langsung memberondong Chiraaz, rahangnya terlihat mengeras, tatapannya lurus pada Chiraaz.
"Ma--maaf, Pak, saya harus pemulihan," jawab Chiraaz gugup, belum menyerahkan surat pengunduran diri, ia sudah ketakutan melihat mimik muka Edward yang serius.
"Pemulihan katamu? Jangan kamu pikir saya bodoh ya Chiraaz, saya tahu kamu sudah sehat sejak di rumah sakit. Tepatnya di hari ketiga," tukas Edward.
Chiraaz mengangkat kepalanya, ia takut dengan kemarahan Edward padanya. Diremasnya kkuat-kuat kertas yang ia pegang, dengan tangan gemetar ia menyerahkan surat itu pada bos nya.
"Apa ini?" tanya Edward mengambil dengan kasar kertas dari atas meja.
"Su--surat pengunduran diri-- saya, Pak," jawab Chiraaz gugup.
"Apa? Mengundurkan diri?"
"Iy--iya, Pak."
"Kamu yakin?" Edward tersenyum sinis.
"Ya--yakin, Pak, saya cukup tahu diri dengan apa yang saya lakukan. Saya salah Pak, saya minta maaf," ucap Chiraaz mulai bisa mengontrol nada bicaranya.
Edward berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arah rak berkas yang ada di samping kanan meja kerjanya. Tidak lama kemudian pria itu melemparkan map berwarna hijau tua.
"Baca!" perintahnya, Edward berdiri sambil berkacak pinggang.
"Ini--." Napas Chiraaz terasa sesak, ia ingat betul map tersebut berisi tentang kontrak kerjanya di perusahaan Xinhwa Corporation.
"Jika yakin untuk keluar, silahkan saja serahkan surat pengunduran diri. Tapi kamu harus ganti rugi atas gaji yang perusahaan berikan," ujar Edward, pria itu kembali duduk di kursinya.
Chiraaz membuka lembar demi lembar surat kontrak kerjanya. Saat masuk ke perusahaan Xinhwa, ia tidak begitu teliti membaca perjanjian, saking senang mendapat pekerjaan. Cukup lama Chiraaz mengamati berkas tersebut dan ia baru menyadari kebodohannya.
"Saya akan ganti uang gaji selama tiga bulan belakangan ini, Pak. Secepatnya akan saya transfer ke rekening perusahaan," ucap Chiraaz setelah selesai membaca berkas kontrak.
"Berikut dengan denda pelanggaran?" cibir Edward.
"Ya, Pak," jawab Chiraaz yakin, ia tahu karakter Edward dan berusaha mengimbangi permainannya.
"Bagus, besok sebelum pukul 9 pagi, semua uang harus masuk rekening, silahkan keluar." Edward menunjuk ke arah pintu.
"Ap--apa? Besok itu weekend, Pak," protes Chiraaz.
"Saya tidak suka alasan," tukas Edward, pria itu menyenderkan kepalanya ke kursi.
Chiraaz terdiam sesaat dan berpikir untuk negosiasi, tapi ia pun sadar jika Edward bukan orang yang tepat untuk ia bujuk. Bagaimana bisa mentransfer uang ke rekening di hari libur. Sedangkan ia harus melakukan penarikan terlebih dahulu.
"Jika besok jam 9 uang belum masuk. Itu artinya kamu tidak bisa mengundurkan diri," ujar Edward.
Chiraaz tersadar dari lamunannya, Edward bukan pertama kalinya membuat dirinya kesulitan seperti sekarang. Namun, tekadnya sudah bulat untuk keluar dari perusahaan Xinhwa. Chiraaz mengembangkan senyum di bibir merah, lalu berdiri sambil merapikan bajunya.
"Baik, Pak, anda tentunya tahu. Selama ini saya tidak pernah gagal dalam pekerjaan," kata Chiraaz dengan bangga.
"Oke." Edward mengacungkan jempol kiri lalu membalikkannya ke bawah. "Kita lihat saja nanti hasil akhirnya."
"Saya permisi Pak," pamit Chiraaz, ia berdiri lalu menundukkan kepalanya.
Edward hanya diam di tempat sambil terus menatap menatap kepergian Chiraaz. Bos dan asisten yang sama-sama punya karakter keras kepala itu tidak mau mengalah. Edward keberatan atas pengunduran diri Chiraaz, karena sangat menyukai cara kerja wanita itu.
Sampai di lift, Chiraaz menarik napasnya dalam-dalam. Kepalanya berpikir keras bagaimana melakukan penarikan dan menutup kekurangannya. Sejak tadi otaknya berhitung, antara gaji dan denda pelanggaran kontrak kerja.
Jelas saja uang di rekeningnya tidak cukup, sebab ia sering menggunakannya untuk keperluan ibunya di kampung. Chiraz menyenderkan kepala ke dinding lift, kepalanya mendadak pusing.
"Aku harus ke kantor Eljovan, siapa tahu dia ada tabungan," gumamnya bersemangat.
Chiraaz yakin suaminya menyimpan uang, sebab ia jarang meminta untuk kebutuhan selain urusan rumah. Secercah harapan timbul dalam hatinya, begitu pintu lift terbuka Chiraaz melangkahkan kakinya lebar-lebar dan segera mencegat taksi.
"Pak, kita ke klinik Minja di jalan X nomor 52," kata Chiraaz pada sopir taksi saat ia sudah masuk ke dalam mobil.
"Maaf, Bu, jalanan ke sana sedang di blokir."
"Loh, kenapa?"
"Ada kebakaran, Bu."
"Huuffft."
Chiraaz menghela napas dalam-dalam, ia memutuskan untuk ke bank lalu pulang ke rumah. Pikirannya tidak bisa tenang sebelum ada uang, ia sadar benar bahwa Edward tidak akan menyetujui pengunduran dirinya. Bukan karena pekerjaan saja, sudah lama Chiraaz merasakan pria itu tertarik padanya.
Dari setiap perlakuan Edward padanya, cara bicara dan tingkahnya sangat berbeda pada karyawan lainnya. Hampir setiap hari menghabiskan waktu selama 12-15 jam di kantor, membuatnya lebih sering berasa bersama Edward.
Sebagai asisten sudah tugasnya melakukan kewajiban, dari mulai menata schedule pertemuan dan segala hal. Bahkan Edward sangat bergantung padanya, sekalipun itu urusan pakaian. Ada rasa sedih menyelimuti hati Chiraaz, karena harus melepaskan pekerjaannya.
Namun, ia juga tidak mau kehilangan Eljovan, karena sulit meenemukan kenyamanan bersama pria lain. Andai dirinya masih matrealistis seperti dulu, tidak menutup kemungkinan Chiraaz akan membalas sikap Edward padanya. Layaknya sepasang lawan jenis yang saling menyukai.
"Ah, Chiraaz, apa yang kamu pikirkan sih!" Chiraaz memukul kepalanya pelan. Ia sadar pikirannya melantur tidak jelas ke mana-mana.
Sesampainya di apartement, Chiraaz disambut oleh Nyonya Merry. Mertuanya itu menyerahkan amplop berwarna cokelat padanya. Di sana tertulis surat dari pengadilan yang ditujukan untuknya.
"Mams, ini-- apa?" tanya Chiraaz.
"Aku tidak tahu, kamu bisa membaca kan? Ya baca saja," jawab Nyonya Merry, wanita itu sibuk dengan perhiasannya. "Baca saja dulu, baru kamu tahu isinya," lanjutnya.
Lagi-lagi Chiraaz terkejut dengan surat tersebut, ia takut itu surat dari Eljovan yang menggugatnya bercerai. Chiraaz ragu-ragu untuk membuka amplop tersebut, sehingga dalam waktu lama ia hanya berdiam memandangi amplop.