"Kurang ajar! Apa-apaan ini!" Chiraa merutuk kesal setelah membaca surat dari pengadilan.
Ia ingin merobek kertas tersebut, tapi mencoba menahan emosinya. Otaknya terasa panas setelah tahu ada tuntutan dari seseorang. Di sana tertulis, bahwa dirinya dituntut atas kasus perselingkuhan.
Chiraaz benar-benar takut, tidak perlu menebak lagi siapa yang melakukan ini padanya. Ia sudah tahu siapa pelakunya. Dengan panik Chiraaz mengeluarkan semua kotak perhiasannya.
"Ah, syukurlah ini cukup untuk membayar tuntutan wanita itu," ucap Chiraaz bernapas lega.
Ia segera bersiap mengambil tas untuk menjual semua perhiasannya. Di ruang tamu Nyonya Merry tengah berbincang dengan temannya. Chiraaz tidak banyak bicara dan hanya seutas senyum yang ia sunggingkan sebagai tanda berpamitan.
"Chiraaz, kamu mau ke mana?" tanya Nyonya Merry.
"Ada panggilan mendadak dari kantor, Mams," jawab Chiraaz sambil sibuk memakai sepatunya di dekat pintu.
"Bukannya kamu mau resign? Kenapa masih mengurusi kantor," ujar Nyonya Merry mengingatkan.
Degh!
Chiraaz terkesiap dan baru ingat jika ia harus membayar denda pada perusahaan Edward. Kepalanya semakin pusing terasa, tapi tidak mungkin dirinya bercerita pada suaminya perihal tuntutan tersebut.
"Emh, ada urusan yang belum beres, Mams. Hanya sebentar saja kok," kilah Chiraaz lalu keluar begitu saja.
"Aneh," gumam Nyonya Merry.
"Menantu anda sibuk sekali ya Nyonya Merry. Benar-benar wanita karir." Nyonya Tian--teman Nyonya Merry berkomentar.
"Begitulah, cuma suaminy saja. Istrinya juga sibuk di kantor, untung saja si Chiraaz bisa mengurus rumah.Kalau tidak, sudah aku suruh si Eljoovan cari istri lain," sahut Nyonya Merry.
"Senangnya masa tua mu, diurus anak dan menantu. Aku di rumah cuma sama pembantu."
"Kamu enak, Tian, rumah besar dan punya banyak fasilitias mewah."
"Semua tidak berarti bagiku, karena bagiku kebahagiaan itu dari anak-anak yang selalu ada bersama kitia." Wajah Nyonya Tian berubah murung.
"Sabar, Tian, ada waktunya nanti mereka kembali padamu," ujar Nyonya Merry menghibur temannya.
***
"Apa kau gila? Perhiasan banyk seperti ini hanya dihargai sedikit?" hiraaz memprotes pada petugas yang berjaga di toko perhiasan. Harga jual emas yang dia inginkan, nyatanya tidak sesuai ekspektasi.
"Anda menjual perhiasan, Nyonya, bukan emas murni. Ini seewajarnya toko kami melakukan potongan," jawab si petugas.
"Tapi kenapa sebanyak ini! INi tidak seimbang, ah!" Chiraaz menunjuk nota di depannya.
"Jika anda keberatan, silahkan jual ke toko lain saja," kata si petugas.
Chiraaz benar-benar kesal, akhirnya ia memilih duduk dan meredakan emosinya yang sedang meledak. Bagaimana menyelesaikan dua masalah sekaligus, sedangkan jalan keluarnya adalah uang. Chiraaz meremas rambutnya kuat-kuat.
Ia merasa keadaan sedang tidak berpihak padanya. Dihembuskannya napas pela-pelan dan terus melakukan hal sama sampai dirinya benar-benar tenang. Ia pun bengkit menuju ke loket pembaayaran lagi, ia juga berpikir jika menjual di tempatnya saja potongannya lumayan. Apalagi di toko lain.
"Maaf, saya terima saja. Cepat cairkan saja, saya butuh uang," kata Chiraaz dengan berat hati.
"Kenapa tidak dari tadi," gerutu petugas.
Chiraaz memutar bola matanya dengan malas, berapapun uang yang diterima ia berusaha ikhlas daripada tidak membawa uang sama sekali. Selesai dari toko ems, Chiraaz mampir di sebuah kedai kopi untuk menenangkan pikirannya.
Di seberang meja tempatnya duduk, ia melihat seorang pria tengah menikmati secangkir minuman. Paras pria itu mengingatkan Chiraaz pada mantan kekasihnya. Pria yang membuatnya merasa nyaman sepanjang hidupnya.
Flashback.
Saat itu Chiraaz masih tinggal di Turki, setiap hari libur ia selalu menyempatkan diri untuk bersantai di masjid Haghia Shopia. Walaupun dirinya bukan seorang musli, entah kenapa jika berada di sana, Chiraaz merasa damai. Apalagi jika mendengar suara adzan, hatinya sangat tenang.
Sore itu ia tengah membaca sebuah buku tentang sejarah islam. Terlahir dari orang tua yang memiliki keyakinan berbeda, membuat Chiraaz berada di persimpangan jalan. Tidak tahu harus mengikuti keyakinan siapa, ia masih mencari untuk melabuhkan pilihannya.
"Islam memang indah, tidak seseram yang diberitakan di media," gumam Chiraaz.
"Begitulah media, memang pekerjaannya membesar-besarkan berita." Suara seorang pria membuat Chiraaz menoleh ke samping kanan.
"Maaf?" Chiraaz mengernyitkan dahinya.
"Boleh saya ikut duduk?" tanya pria tersebut.
Chiraaz hanya menganggukkan kepalanya, pria itu pun duduk di samping Chiraaz. Aroma maskulin tubuhnya menyengat indera penciuman Chiraaz. Wajahnya terlihat tegas dan berwibawa, sorot matanya menunjukkan ketenangan.
"Abi, nama saya Abi," kata pria itu mengenalkan diri hanya dengan mengucapkan nama.
"Chiraaz," balasnya.
"Saya selalu lihat kamu setiap weekend duduk di bangku ini dan membaca buku. Emh, apa kamu tertarik dengan islam?" Abi bertanya penuh penasaran.
"Benarkah?" Chiraaz terkejut mendengar perkataan Abi. Ia tidak menduga jika diam-diam ada yang memperhatikannya.
"Tentu saja. Tapi, kenapa kamu tidak pernah masuk ke dalam masjid?"
"Karena saya belum mau, Tuan," jawab Chiraaz tegas.
"Panggil Abi saja."
"Baiklah, Tuan Abi."
Mereka melanjutkan perbincangan seputar agama islam. Chiraaz yang memang sangat penasaran, antusias mendengarkan apa yang Abi sampaikan. Saking asyiknya bicara, dua orang asing yang baru saja bertemu itu langsung akrab dalam sekejap.
Tidak cukup dengan berbincang saja, keduanya sampai pindah tempat ke sebuah kedai kebab kesukaan Chiraaz. Obrolan pun berlanjut hingga mereka membahas kehidupan pribadi masing-masing.
"Anda di sini sendirian?" tanya Chiraaz sambil menikmti kebab miliknya.
"Tidak, dengan keluarga," jawab Abi.
"Oh, anda sudag berkeluarga."
"Ya, Mama dan Tante saya selalu ikut ke mana pun saya pergi." Abi menyunggingkan senyum lebar.
Setiap kali pria itu tersenyum, hati Chiraaz terasa berdesir. Menangkap dari pembicaraan, ia merasa bahwa Abi adalah sosok pria yang sangat family man.
"Oh, keluarga yah," komentar Chiraaz singkat.
"Iya, kami tidak pernah menetap lama di suatu tempat. Tapi di setiap tempat, pasti ada rumah." Abi terkekeh pelan.
"Anda pasti pengusaha hebat."
"Biasa saja. Bisakah kita bertemu di sini setiap weekend? Aku harap ini bukan pertemuan pertama dan terakhir," ucap Abi dengan nada serius.
"I--iya," jawab Chiraaz gugup.
Ia tidak pernah menduga pertemuan itu akan membuatnya menjalin hubungan lebih dengan Abi. Seringnya bertemu di masjid Haghia Shopia, juga makan malam bersama, perlahan menumbuhkan rasa yang berbeda. Chiraaz yang sangat mendambakan sosok lelaki hangat, menemukannya pada diri Abi.
Flashback off.
"Abi, sampai saat ini, aku masih belum bisa melupakan wajahmu," gumam Chiraaz.
***
Eljovan baru saja sampai ke rumah, hari ini ia memutuskan pulang lebih cepat dari biasanya dan memberikan kejutan untuk istrinya. Ia membeli satu bucket bunga mawar, cokelat, dan boneka teddy bear warna coklat susu. Tapi, ia harus kecewa saat mendapati Chiraaz tidak ada di rumah.
"Mams, Chiraaz pergi ke mana?" tanya Eljovan pada Nyonya Merry.
"Katanya ada urusan kantor, dia pergi buru-buru."
"Sejak kapan dia pergi?"
"Emh, sekitar dua jam lalu."
"Dua jam lalu?"
Eljovan melihat ke jam yang tergantung di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore lebih tiga puluh menit waktu setempat. Ke mana Chiraaz pergi selama itu? Pikir Eljovan.