Eljovan meremas kepalanya yang terasa sakit, amarah yang menguasai hatinya mulai luntur setelah menjelang tengah malam, Chiraaz masih belum pulang. Ponselnya tidak dapat dihubungi sama sekali dan sudah berlalu beberapa jam.
Pria itu terpaksa keluar dari apartemen dan mencari istrinya di sekitar taman, tapi Chiraaz tidak ada di sana. Eljovan yang mulai lelah pun turun dari mobil, lalu duduk di bangku taman. Pikirannya sangat kacau, dia sendiri tidak mengerti apa yang menyebabkan dirinya belakangan ini tidak stabil.
"Tuhan, ada apa dengan saya? Apa saya terlalu banyak harap pada Chiraaz? Sampai hati ini merasa begitu cemburu dan tak terkendali," gumam Eljovan, mengusap wajahnya dengan gerakan kasar.
Eljovan mengambil ponsel dari saku celananya, lalu bergerak membuka layar dan melihat isi galeri. Di sana nampak begitu banyak foto kebersamaan dirinya dengan Chiraaz yang sangat bahagia. Tangannya terus men-scroll hingga foto terakhirnya pergi liburan.
Tanggal tersebut menunjukkan kapan mereka bersama. Setelahnya tidak pernah ada lagi kebersamaan yang terjadi. Selain kehadiran Nyonya Merry yang selama setahun ini ikut hidup dengan mereka. Permasalahan lain kerap kali muncul setelah Chiraaz bekerja.
Eljovan membuka sosial media milik Chiraaz, tidak ada postingan apapun seperti biasa saat istrinya sedang kesal. Kemudian, dia melihat satu nama dan teringat pada orang itu. Fayaaz, satu-satunya sahabat Chiraaz yang selalu ada.
"Fayaaz, sepertinya aku harus menemui dia."
Eljovan segera beranjak meninggalkan taman dan bergegas menuju apartemen Fayaaz yang dia tahu tidak jauh dari apartemen mereka. Eljovan memacu kendaraannya untuk cepat sampai ke sana. Dia berharap istrinya ada di sana dan berjanji tidak akan memarahi istrinya.
***
Di dalam mobil Edward, Chiraaz merasa canggung. Bukan karena untuk pertama kalinya mereka berduaan di dalam mobil. Tapi pikiran Chiraaz mencerna kejadian di rumah bos-nya tadi.
Chiraaz tahu jika Edward mulai tertarik padanya. Tapi Edward tidak melakukan apapun padanya. Chiraaz seperti bertemu dengan Edward dari sisi yang lain. Dibalik sikap arogant, pemarah, dan menyebalkan bosnya itu. Ternyata Edward memiliki jiwa lelaki sejati.
Tanpa Chiraaz sadari, pandangannya terus menatap pada Edward seakan terhipnotis. Wajah pria itu sangat tenang dan kalem, tidak seperti yang dilihatnya saat di kantor. Tegas dan penuh tanggung jawab dalam pekerjaan.
"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" Edward bertanya saat menyadari Chiraaz memandanginya.
"Haa, tidak Pak. Saya sedang melihat pemandangan," dalih Chiraaz menjawab pertanyaan Edward.
"Pemandangan apa? Kamu kira ini gunung," desis Edward.
"Walaupun cuma jalanan dan gedung di perkotaan. Bagi saya setiap hari, keberadaan mereka menyegarkan mata, setelah berbagai rutinitas di kantor."
"Tukang bohong." Edward tersenyum sinis.
"Bapak jangan merasa kegeeran. Serius Pak Edward, saya cuma--."
"Diamlah, hidup kamu itu sudah banyak masalah. Jadi, tidak usah mencari masalah dengan berbohong padaku," tukas Edward.
"Baik, Pak." Chiraaz mengalihkan pandangannya ke arah jendela kiri mobil. Hatinya sedikit kesal, karena sikap dingin Edward tidak mencair.
"Jadi, kamu tidak akan resign dari kantor?" tanya Edward.
"Masih saya pikirkan," jawab Chiraaz singkat.
"Bagaimana caranya kamu membayar denda kontrak dan denda pengadilan dalam waktu bersamaan?" Edward menyeringai.
Seperti disambar petir di siang bolong, Chiraaz langsung menoleh ke arah Edward. Otaknya berpikir keras, kenapa Edward bisa mengetahui masalahnya. Napas Chiraaz tercekat, tenggorokannya terasa tercekik.
"Tidak usah terkejut seperti itu," kata Edward.
"Pak Edward bagaimana anda--." Ucapan Chiraaz terhenti saat jari telunjuk Edward mendarat di bibirnya.
"Jangan bertanya aku tahu darimana. Tapi yang jelas, aku cukup senang karena kamu tidak akan resign," kata Edward.
"Ta--tapi--?" Chiraaz mendadak panik, entah bagaimana dia harus menghadapi Edward.
"Sudahlah, aku tidak melaporkan hal ini pada suamimu. Tidak ada untungnya bagiku."
"Pak Edward...." Chiraaz tidak bisa lagi berkata-kata, dia pikir bos-nya akan memerasnya seperti orang lain.
"Tapi jangan berani berbuat ulah denganku. Sedikit saja kamu berulah, maka surat pengadilan itu akan sampai di tangan suamimu." Edward memperingatkan Chiraaz.
"Ba--baik, Pak," jawab Chiraaz tak berkutik.
"Bekerja saja dengan baik bersamaku. Jadilah asisten di kantor dan kehidupan nyataku. Dengan begitu hidupmu akan lebih baik," tandas Edward.
"Maksud Pak Edward?" Chiraaz mengerutkan dahinya.
"Saya tidak suka bicara panjang lebar," jawab Edward. Wajahnya kembali datar tanpa ekspresi.
Chiraaz terdiam dan menghela napas dalam-dalam. Dia tidak menduga akan lebih terikat dengan Edward. Padahal dia sudah sangat ingin melepaskan dirinya dari pria itu. Chiraaz memeriksa tas nya yang baru dia ingat. Semua barang yang ada, tidak lagi berada di tempatnya.
Akhirnya dia mengerti, kenapa Edward bisa tahu soal surat pengadilan itu. Ekor mata Chiraaz melirik Edward, pria itu terlihat pokus ke jalanan. Chiraaz berharap Edward tidak meminta imbalan atas apa yang dilakukannya hari ini.
Sebab Chiraaz tahu tidak ada hal yang gratis di dunia ini bagi Edward. Selain bernapas dan kentut saja.
***
"Silahkan masuk, El," sambut Fayaaz saat membukakan pintu untuk Eljovan yang baru sampai.
Eljovan menganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam apartemen Fayaaz. Suasana di dalam unit apartemen Fayaaz sangat sederhana tapi tertata rapi. Sesaat pandangan Eljovan mengamati sekitar, dia melihat potret kedekatan Chiraaz dan Fayaaz.
"Mau minum apa, El?" tanya Fayaaz.
"Tidak terima kasih, aku ke sini hanya sebentar," jawab Eljovan.
"Oh, ya sudah. Silahkan duduk dulu."
"Fayaaz, langsung saja pada intinya. Apa Chiraaz sempat ke sini dan mengatakan sesuatu?" Eljovan langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
"Chiraaz? Kamu bertengkar dengannya?" Fayaaz balik bertanya dan terkejut mendengarnya.
"Jawab saja pertanyaan saya." Eljovan tersenyum tipis.
"Ehem, kami terakhir bertemu di rumah sakit, El. Ya, saat kamu tidak ada untuk mendampingi dia," jawab Fayaaz menyindir.
"Saya sibuk saat itu. Lalu setelah itu? Sepertinya tidak mungkin, jika dia tidak cerita padamu. Bukankah kalian sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada aku suaminya," cecar Eljovan tersenyum getir.
Mata Fayaaz menatap tajam pada Eljovan, helaan napas terdengar berat. "Ada kalanya Chiraaz bercerita, ada waktunya juga tidak, El. Dia hanya membagi kebahagiaannya bersamamu. Tapi tidak pernah mengatakan hal apapun selain itu," jawabnya.
"Melihat keakraban kalian, rasanya tidak mungkin kalian bisa punya batasan lebih dari itu," desis Eljovan.
"Semua kembali padamu, El. Aku hanya bisa mengatakan padamu, wanita itu perlu rasa percaya. Jika pasangan tidak mempercayainya, hancur sudah dunianya," tandas Fayaaz.
Raut wajah Eljovan berubah tidak suka mendengar nasihat Fayaaz. Entah kenapa hatinya merasa tertampar oleh perkataan pria itu. Saat dirinya akan menjawab perkataan Fayaaz, ponselnya tiba-tiba berdering. Dilihatnya di layar ternyata Chiraaz yang mengirimkan pesan.
"Fayaaz, terima kasih. Aku permisi dulu, Chiraaz sudah pulang," pamit Eljovan lalu bangkit dari duduknya.
"El, jaga dia baik-baik. Tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini. Karena sejatinya pernikahan terjadi, itu karena pasangan harus saling menyempurnakan."