"Mami mau ke kamar dulu ahh, mau mandi juga!" Sarah sedikit berlari ke kamar, suara antukan heels dengan lantai pun berirama cepat.
"Hahahahha, Iya mam" Melanie tertawa, menutup mulut dengan tangan, menemani langkah Sarah berlari menuju kamar.
"Kalian sayang banget sama Tama ya, meskipun dalam beberapa bulan ke depan, usia nya genap 32 tahun.
Kalian juga ngga adil, memberikan kepercayaan pada Tama untuk mengelola perusahaan utama milik kalian. sedangkan aku hanya jadi penunggu rumah. Aku ngga akan tinggal diam, Tam.
Ada banyak cara kasar ku, untuk merebut kekuasaanmu, yang seharusnya jadi milik aku!!" gumam Melanie dalam hati, tak terima melihat kehidupan adiknya terlihat begitu sempurna.
"Kamu pikir, aku bisa terima liat kesuksesan kamu, Tam?" kedua tangan menyilang, mata menyipit, dan bibir senyum sebelah dengan sangat sinis.
****
"Pi, kaya nya ada yang nggak beres sama Tama, deh" ucap Sarah mendekati tubuh Adam yang memunggunginya.
"Kenapa sih, mi. kamu selalu berpikiran begitu sama Tama. dia udah dewasa, Mi. biarkan dia menikmati kehidupannya" Sahut Adam, membalikan tubuhnya, agar bisa menatap Sarah.
"Apaan sih, Pi. Mami belum bilang apa-apa sama papi loh! kok Papi udah sok tau gitu!" Sarah mengerutkan dahi, dengan raut cemberut manja.
"Iya coba mami bilang dulu, kenapa?" jawab Adam dengan sabar mendengarkan keluhan wanita yang sangat di cintai nya itu.
Lalu Sarah menceritakan kejadian detail tentang kejadian Tama pergi seharian dengan motor, dan pulang membawa bau yang melekat pada pakaiannya, sehingga mengganggu penciuman Sarah.
"Tenang aja, Mi. kita kasih kepercayaan sama Tama ya.., nanti kita ajak dia ngobrol. dia sudah dewasa, mami nggak bisa perlalukan dia seperti anak kecil lagi." nasehat Adam sambil membelai halu lengan Sarah, sebagai respon apa yang menjadi unek-unek istrinya.
"Oke, tapi please papi tanya ya sama dia. apa yang terjadi!! mami nggak bisa tidur deh mikirin dia, Pi" suara khas manja Sarah, hanya dapat di dengar oleh Adam.
"Iya, Mi. nanti papi tanyain sama Adam. sekarang sudah malam. Yuk tidur.." Adam membawa istrinya kedalam dekapan hangat.
Lalu menarik selimut, hingga tersisa wajahnya yang terlihat
Hinga di usia yang terbilang sudah cukup tua ini, Adam dan sarah adalah pasangan termanis, ter romantis sejagat raya ini. kebahagiaan mereka berdua tak mampu di tuliskan hanya dengan sebuah kata.
****
"Pagi, Mam, Pap." sapa Tama tampak rapih, walaupun hari masih sangat pagi.
"Pagi Tam, gimana Pak Abdi?! Masih suka merayu-rayu kamu?" Adam mengoles roti, tanpa melihat kearah Pratama.
"Masih, Pap. seperti biasa! aku nggak mau nikah sama anak dia, hanya untuk kepentingan membesarkan perusahaan. Pernihakan dari hati nggak bisa di paksain kan." Pratama mengambil duduk tepat di sebelah Adam.
"Eh eh, tapi anaknya cantik dan pintar kok, ya istilah nya sambil menyelam minum air aja, Tam." celetuk Sarah menyetujui perjodohan antara Tama dengan anak tunggal pak Abdi, Rebecca.
"Jangan berat gini ah obrolan pagi-pagi." Celetuk Adam halus, mengingatkan Sarah. Pratama tak begitu menanggapi apa yang Sarah ucapan. Ia terus menikmati setiap tegukan jus buah di gelas putih transparan.
Tama tersenyum dan mendelakati Sarah seraya berbisik, "Ada perempuan yang Tama suka, tapi belum waktunya untuk kenalin ke mami" dengan senyum khas nya yang menggoda.
"Sejak kapan, kamu main rahasia-rahasian sama mami" Sarah penasaran. ia melirik Tama, berusaha mendapatkan penjelasan, ia meraih anaknya.
"Ga rahasia mam, Tama sih mau langsung nikah aja" ucapnya dengan berani
"Kenal dimana? Papinya usaha apa? lulusan mana?" tama di berondong pertanyaan oleh Sarah.
"Sabar ya mam, karna Tama juga baru kenal. Oke Tama berangkat dulu ya. See u mam, pap." jawab Tama singkat, kemudian mengecup dahi Sarah.
"Nggak pernah salah papi milih Tama untuk melanjutkan apa yang di rintis oleh keluarga ini sejak dulu." ungkap Adam kagum dengan kerajinan dan kemampuan Tama, mengelola perusahaan nyaris sempurna.
"Iya pi, sekarang yang perlu mami cari tau adalah, siapa perempuan yang bikin hati dingin anak kita menjadi luluh seperti ini" pandangan kosong Sarah tertuju pada bayangan Pratama yang sudah menghilang.
"Mi, mi.. udah ah jangan di pikirin. Nanti juga di bawa kesini kan" jelas Adam, membelai bahu Sarah.
****
Sejak Pratama menjadi pemegang sekali penanggung jawab 100% perusahaan ini, Tama berusaha mencari cara membuat perusahaan ini terhandle meski dari jauh, dan banyak juga program yang di ubah oleh Tama hampir 70%.
30% karyawan yang tidak bisa diajak maju dan tidak mampu mengerjakan deadline, diberikan waktu 3 bulan. jika masih tidak berubah, Tama bertindak tegas untuk menggantikan posisi tersebut dengan orang yang lebih mampu.
Ketegasan Tama ini membuahkan hasil, perusahaan Adam yang dulunya hampir bankrupt, karna selain banyak karyawan yang korupsi, banyak karya yang tak mampu bekerja dengan baik, Namun sikap Adam yang tak tega ini ternyata membuat perusahaan merugi.
Di butuhkan pemimpin tegas dan berjiwa muda, serta egois yang tinggi. agar suatu perusahaan bisa berdiri tegak.
****
Pratama gelisah, apapun yang ia baca dalam dokumen itu, sama sekali membuatnya pusing.
Ini semua karna Salma, wajah Salma selalu melintasi pikiran Pratama.
"Bagaimana aku mengerjakan semua ini, kenapa aku kepikiran Salma terus." gumam nya seraya memijat halus kedua pelipis.
Setelah berpikiran agak panjang, Pratama pun menutup semua berkas yang ada di hadapannya, bahkan sejak sebelum ia datang. ia pun meninggalkan ruangan kerja, berencana mendatangi tempat Salma berjualan.
****
Kios Salma masih tutup, Pratama memutuskan untuk datang kerumah Salma.
"Permisi, selamat pagi.."
"Iyaa pagi, siapa ya?" Rahman keluar, sedikit kebingungan dengan seseorang yang berdiri di hadapan nya, karna dari penampilan nya sudah jelas Pratama bukan orang sembarangan.
"Pagi, Pak. Salmanya ada?"
"Hah? Salma atau Salwa? Setau saya, Salma tidak memiliki kenalan seperti bapak" jawab Rahman santun, menggunakan jempol untuk menunjuk Pratama.
"Salma pak.." Pratama meyakinkan dengan senyum.
"Oh baik pak, silahkan masuk. biar sebentar saya panggilkan Salmanya"
"Maaf, jangan panggil saya bapak. panggil saya Pratama aja pak." pintu Pratama seraya mengeluarkan simpulan tangan dalam saku celana.
"Oke .." sahut Rahman, meninggalkan Tama.
"Siap pak" Tama duduk di sofa butut nan kuno milik keluarga Rahman, menunggu dengan sabar.
"Eh, Tama ?" Penampilan Salma yang sangat berantakan, membuat Tama semakin terpesona.
"Iya, ini Tama" Tama tersenyum lebar, semua gigi putih nya hampir terlihat.
"Ada apa?" Salma kebingungan melihat sosok Pratama duduk di dalam rumahnya, sepagi ini.
"Heumm, a.. ku ma..u makan bakso, tapi masih tutup.. jadi aku kesini aja.." jawab Pratama gugup, tersipu malu.
"Yah ampun, kan bisa suruh Asep.. Sampe repot-repot banget kesini. sebenernya belum siap sih.. tapi kalau kamu udah lapar, aku bikinin sebentar ya.." Saat Salma ingin beranjak, Tama menarik tangan Salma seraya berkata "Heumm, gak usah Sal. Nanti aja.. ngga apa-apa kok, kamu masih sibuk ya?"
"Iya, aku masih bantu ibu dan bapak sih.." jawab Salma tersenyum tipis.
"Paaaakk, apaan sih itu berisikkk banget" Suara manja Salwa berteriak dari dalam kamar, hingga di dengar oleh Pratama.
"Kembaran kamu masih tidur?" Tama berbisik
"Iyaa.. manja dia mah, Hehehe" jawab Salma ikut berbisik.
"Kok kita ngomong nya bisik-bisik gini?" ledek Salma.
"Iya kan supaya kembaran kamu nggak terganggu"
"Ahh, Salma seneng gangguin Salwa, karna dia ngga suka di ganggu dan pasti marah." Salma mengangkat telunjuknya, mengartikan sesuatu.
"Hahaha .. yaudah kalau gitu, aku pamit aja deh.. maaf ganggu. Salam untuk kedua orang tua kamu."
Begitu sudah puas melihat wajah Salma, Pratama kembali ke kantor untuk bekerja.
Kali ini ia mampu mengerjakan semua file yang sebelum di tanda tangan, ia harus membaca satu per satu secara teliti, walau hanya sebentar, wajah Salma mampu memberikan efek positif untuk pikiran Pratama.