Lagi, Eiryl berangkat terlalu pagi. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 06.18, tapi diri nya sudah berada di ambang pintu kelas. Mengedarkan pandangan nya hingga ke sudut ruang. Kosong. Ia menghela lalu masuk ke kelas nya.
"Bidadari!" Seruan itu, pasti suara Dimas.
Eiryl membalikkan tubuh nya dan benar saja. Dimas dan Arya sedang berjalan menuju kelas nya. Tapi dimana Alga.
"Kalian nggak sama Alga?" tanya nya heran sekaligus penasaran.
"Cie! Yang dari semalem nyariin," canda Arya justru membuat Eiryl mendengus kesal.
"Entahlah. Tadi juga gue ke rumah nya malah kosong. Nggak ada siapa-siapa," jelas Dimas kemudian.
"Pindahan kali," celetuk Arya sekenanya. Dimas segera menyikut perut nya dengan gemas.
"Lo berdua nggat tau dia kemana?" interogasi Eiryl benar-benar ada sesuatu hal yang janggal.
Kedua cowok di depan nya menggeleng kompak.
"Gue khawatir dia sakit. Kemaren liat muka nya pucat banget," ujar Dimas langsung membuat Eiryl tertegun.
Gadis itu bungkam. Ia takut jika sudah salah sangka pada Alga. Padahal sebelum nya ia yakin bahwa Alga adalah laki-laki yang berbeda. Ia pun ingat hal itu. Saat menatap wajah Alga yang pucat, tapi laki-laki itu justru bersikap seolah biasa saja.
"Sakit," gumam nya.
Arya malah mengangguk. Padahal itu bukan sebuah pertanyaan.
"Sakit apa?" Ini baru pertanyaan, tapi Arya malah bungkam dan justru Dimas yang menjawab pertanyaan gadis itu di depan nya.
"Gue juga nggak tau. Dia nggak pernah cerita. Mungkin karna ngerasa baru kenal."
"Kita liat aja nanti sampai bel masuk. Dia berangkat atau nggak," kata Arya memberikan satu opsi.
"Nah tuh." Dimas mengafirmasi opsi milik Arya.
Sedangkan Eiryl, gadis ini masih dalam posisi bungkam nya. Berusaha menebak-nebak satu hal yang harus ia tahu. Apa Alga sakit dan memiliki penyakit parah? Kalau iya, apa?
"Udah. Tenang aja," ujar Dimas menenangkan.
"Kan masih ada kita," sambung Arya.
Godaan nya justru membuat Dimas kembali menyikut perut nya agar tahu mana bagian serius dan hanya candaan. Laki-laki itu mendengus ke arah Dimas. Sebal.
"Yaudah. Makasih, ya," ucap Eiryl sambil berlalu menuju bangku nya.
"Nanti istirahat jangan kemana-mana, ya. Kita makan bareng," seru Dimas dan Arya nyaris bersamaan.
"Iya! Sana lo pergi!"
"Buset, di usir!" Dua anak manusia itu saling berpandangan.
***
Pukul sembilan pas, bel istirahat pertama berbunyi. Ruang kelas yang sunyi kembali berubah ramai saat guru paruh baya itu berlalu. Dimas menatap Arya penuh tanya.
"Gimana, nih?"
"Sakit kali tuh bocah," jawab Arya asal.
Plak!
Dimas langsung menghukum nya dengan satu pukulan di kening nya. "Kalo ngomong," tegur nya.
Ck! Arya berdecak.
"Sekalipun sakit kan harus ada surat," ujar Dimas logis.
Arya mengelus-elus kening nya. Tanpa menunggu lama lagi, anak itu melesat pergi menuju kelas Eiryl yang memang saling berhadapan dengan kelas nya. Meski harus terpisah oleh jalan dan taman.
Tidak sampai satu menit ia sudah ada di depan pintu kelas Eiryl yang tertutup. Menandakan bahwa sang guru belum keluar.
Hingga lima menit kemudian, pintu kelas itu terbuka dan menampakkan sosok Pak Oyek yang baru saja keluar. Arya membungkuk hormat, Dimas juga melakukan hal yang sama.
Guru itu sudah berlalu, Arya dan Dimas segera menyerbu meja Eiryl yang ternyata satu meja dengan Putri.
"Aduh! apa-apaan sih kalian?!" omel Putri yang merasa agak risih.
"Put," panggil Arya sedikit merengek.
"Apa?" Putri mendelik. Ia senang mengerjai Arya.
"Gue sayang sama lo lebih dari Dimas, Put," ujar Arya tidak jelas membuat ketiga anak manusia di hadapan nya saling merotasikan mata nya dengan gemas. Putri juga melakukan hal yang sama.
"Makan tuh sayang," Ketus Putri menyumpal gulungan kertas ke mulut Arya. Namun anak itu hanya diam dengan wajah nya yang memelas.
"Heh! Gue tau lo ikut ekskul teater. Tapi nggak gitu juga, Malih!" gertak Dimas tidak segan untuk memukuli pantat Arya.
Arya menegakkan tubuh nya. Ia sudah bersiap untuk mengatakan satu hal ini dengan serius.
"Li sini deh," ujar nya lalu mendekat. Juga, gaya bicara nya yang malah mengikuti Putri.
"Kenapa?" tanya Eiryl agak heran.
Arya mendekatkan mulut nya ke telinga Eiryl. "Alga nggak masuk," bisik nya.
Wajah Eiryl berubah bingung. Pasal nya MOS saja baru selesai mereka jalani. Tapi Alga malah tidak masuk sekolah.
"Bolos?" tanya Eiryl menebak.
"Gue yakin dia anak baik-baik. Tampang kalem kayak dia, mana mungkin juga punya keahlian bolos." Dimas yang menjawab nya. Entah kenapa ia seolah merasakan hal yang sama dengan Eiryl.
Eiryl terdiam. Membenarkan ucapan Dimas. Padahal baru tiga hari pula ia mengenal Alga.
"Apa kita harus tanya ke konseling?" opsi Putri.
"Put. Ini masalah gue sama Alga. Nggak ada sangkut-pautnya sama konseling," tolak Eiryl.
"Ya kali aja lo mau nyari tau. Karena siapa tau dia ngirim surat ijin nya langsung ke konseling," sambung Arya.
Alga menghilang? Laki-laki itu pergi kemana? Ah, kenapa resah seperti ini?
"Udah lah. Gue nggak mau mikirin dia lagi," ucap Eiryl segera pergi dari hadapan tiga teman nya. Ia pikir saat mencintai seseorang akan semulus ekspetasi nya. Ternyata tidak.
"Li." Dimas mencegah langkah nya. "Sebaik nya kita mastiin dulu kenapa Alga nggak masuk hari ini. Jujur, gue aja bingung. Gue bingung kenapa bisa-bisanya dia bohongin lo," ujar nya.
Eiryl tidak menghiraukan perkataan Dimas. Ia tetap berlalu pergi dari hadapan teman-temannya.
Ini tidak bisa dibiarkan. Apalagi awal dari semuanya ini adalah diri nya. Ia yang mendesak Alga agar mau mendekati gadis itu dan bahkan kalau bisa memacari nya. Saat desakan nya berhasil dan Eiryl benar-benar jatuh, kenapa Alga malah menghilang?
Tanpa ba-bi-bu Dimas berlalu menuju ruang konseling. Opsi pertama dari Putri boleh juga untuk di coba. Setidak nya ia tahu, siapa Alga yang selalu ia anggap sebagai teman baik.
"Wah! Sialan gue di tinggal," rutuk Arya segera menyusul langkah Dimas.
"Yah, kampret! Gue juga malah di tinggal," gerutu Putri segera mengejar langkah Arya. Ia ingin tahu perkembangan selanjut nya.
Tok! Tok! Tok!
Dimas mengetuk pintu. Di belakang nya sudah ada Arya dan Putri.
Seorang guru muda mengangkat wajahnya dan mempersilahkan Dimas, Arya dan Putri untuk masuk.
"Ada apa ini rame-rame?" tanya pak Ari.
"Maaf, pak. Jika kedatangan kami mengganggu. Saya kesini mau mengecek absen anak kelas 10 IPA 5. Tadi ada sedikit kesalahan," jawab Dimas santun.
"Oh iya. Ada di sebelah sana." Pak Ari menunjukkan ke arah meja yang berada di sebelah Utara.
Oke. "Terima kasih, pak." Dimas langsung menuju ke arah tumpukan buku absen.
Lantas mencari nama lengkap Alga yang ternyata ada di absen ketiga. Absen nya masih di tulis kosong. Ia kembali mendekati Pak Ari.
"Punten, pak. Mau tanya. Ini absen atas nama Alga Sadewa kenapa kosong, ya?"
Pak Ari terdiam sejenak. Ia pun tidak tahu-menahu soal itu. "Saya juga kurang tahu," jawab nya.
"Punten, pak. Mau di tambahi sama tempe?" tawar Arya.
Lagi-lagi Dimas harus menyikutnya agar tahu suasana.
Pak Ari tertawa. "Maksud saya. Saya tidak tahu-menahu soal itu. Tugas saya kan di kedisplinan siswa," jelas nya.
Pak Ari memang guru yang ramah. Tapi Jangan di tanya saat menghukum siswa-siswi yang melanggar aturan sekolah. Karena ia tidak segan untuk menghukum nya.
"Kalo soal absen. Kalian bisa tanya pada Bu Hana," ujar pak Ari.
"Ada apa, pak?" tanya Bu Hana yang baru saja masuk dan merasa terpanggil.
"Ini, bu. Kami ini memastikan absen milik Alga, bu. Soal nya hari ini dia nggak berangkat dan nggak kirim surat apapaun sebagai keterangan nya. Dan barangkali dia langsung mengirimkan nya ke ruang konseling," jelas Dimas.
"Alga?" Raut Bu Hana malah berubah bingung. "Seperti nya tidak ada surat atas nama Alga," jawab nya kemudian.
Sempat terdiam. Akhir nya Dimas memutuskan untuk menyudahi pencarian nya. Ia melirik Arya yang juga ikut memasang tampang pasrah nya. Kemudian Putri yang menghela panjang dan berat.
"Terima kasih pak, bu. Kalau begitu kami pamit dulu," ucap Dimas sebelum pergi.
Andai Alga memiliki ponsel. Pasti diri nya tidak akan sampai seperti ini. Mencari Alga seolah hilang di telan bumi. Ah, itu terlalu berlebihan.
"Udah. Positif thinking aja. Mungkin Alga lagi ada urusan mendesak," ujar Putri setelah mereka keluar dari ruang konseling.