Pagi itu, ia sudah disibukkan dengan segala macam perlengkapan aneh yang harus dibawanya selama masa orientasi siswa berlangsung. Iya! Tahun ini menjadi tahun pertamanya untuk menginjakkan kaki di sekolah menengah atas. Juga tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Padahal serasa baru kemarin ia lulus dari sekolah menengah pertama, tapi hari ini kakinya akun menginjakkan ke sekolah menengah atas.
"Ga. Kalo ada yang bully. Kamu lawan aja. Mas kan udah ajarin kamu karate," cerocos Haris sembari memeragakan gerakan karate yang dikuasainya.
"Kalo yang bully aku cewek cantik gimana, Mas?" tanya Alga di panggil Gaga oleh kakaknya.
"Kamu cium aja, beres!" jawab Haris dengan begitu entengnya.
"Bu. Mas Haris ngajarin yang ndak bener tuh, Bu," seru Doni yang juga sedang mempersiapkan semua peralatan sekolahnya.
"Haris," tegur ibu dari tempatnya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya.
Yang di tegur ibu malah nyengir lebar. Lantas tatapannya tertuju ke arah Doni. "Awas, lho! Ndak akan ku kasih uang jajan," ancamnya kemudian dari ambang pintu. Namun Doni malah menjulurkan lidah ke arahnya dan tidak peduli dengan ancaman kakak tertuanya.
"Uang ibu lebih berkah dari uang mas," maki Doni sambil menggeleng santai melewati Haris.
"Kecil-kecil udah songong," rusuh Haris tangannya ingin sekali menjitak Doni.
Alga tertawa. "Mas juga gitu, toh," celetuknya tak lama menyusul langkah Doni untuk keluar dari kamarnya.
"Tau apa kamu?!" seru Haris tidak terima.
"Tau, lah. Mas Andi yang ngasih tau," jawab Alga santai.
"Alga," tegur bapak dari tempatnya.
"Nggih, Pak," sahut Alga segera berlalu menghampiri bapak.
"Makan. Ndak usah pedulikan kakakmu itu," ujar bapak menyodorkan sepiring nasi yang sudah ia siapkan untuk anak ketiganya.
"Buat aku mana, toh, Pak?" tanya Doni merasa iri dengan perlakuan bapak pada Alga
"Minta sama ibu sana," kata bapak tidak ingin ambil pusing.
"Bapak, giliran sama Mas Gaga sayang banget, sama aku ndak," ujar Doni tanpa berani menatap wajah bapak.
Doni hanya berdecih sebal. Sedangkan Alga memilih diam dan segera menghabiskan makanannya.
"Nih, dari mas." Haris menyodorkan uang sepuluh ribuan pada Doni dan sukses membuat adiknya melirik.
"Makas-" ucap Doni terpenggal saat tangannya hendak meraih uang pemberian Haris malah ditarik kembali dengan jahil.
"Tapi kamu harus ada di pihak mas," ujar Haris mengembangkan senyumnya dengan lebar.
Alga yang duduk di sebelahnya berdecih. "Kuliah hukum, prakteknyo nyogok. Mahasiswa apa koyok ngono," sindirnya.
"Bilang aja kamu juga mau toh," balas Haris.
"Nggo apa toh, Mas? uangnya ndak berkah."
Haris mendesis, "Uang dari Ibu loh ini, malah kamu bilang ndak berkah," protesnya.
"Haris, sudah jangan ganggu lagi adek-adekmu," peringat ibu kemudian kembali menatap Alga. "Lek," panggilnya "Sudah kamu siapkan obatnya?" tanya ibu yang langsung di jawab anggukan oleh Alga.
***
Sedangkan di tempat lain dengan waktu yang nyaris bersamaan, seorang gadis tengah tergesa-gesa menuruni anak tangga rumahnya. Tubuhnya lengkap di hiasi dengan semua pernak-pernik yang tidak kalah aneh nya untuk di gunakan selama masa orientasi.
Netranya tertuju pada jam mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Masih ada waktu lima belas menit, ia segera melenggang melewati ruang tengah yang senyap. Ah, papa mama selalu saja sibuk dengan pekerjaannya.
"Non, sarapannya, Non!" pekik Mbok Wati sambil melangkah tergopoh-gopoh untuk mengejar anak majikannya itu.
"Oalah," sontak dia menepuk dahi nya dan berbalik untuk menghampiri Mbok Wati.
"Makasih, Mbok," ujar nya setelah menerima bekal sarapan pagi nya dan segera melesat pergi.
"Nggih, hati-hati, Non," balas Mbok Wati dengan sepasang bola mata yang tidak lepas dari seorang gadis yang mulai beranjak dewasa. Iya Mbok Wati yang sejak kecil mengasuh gadis cantik itu sampai tidak terasa seiring dengan berjalan nya waktu iya sudah berubah dan tumbuh menjadi sosok remaja anggun.
Perkenalkan, nama nya Eiryl Ciya Andara. Gadis yang tak ubah nya seperti malaikat yang Tuhan utuskan ke bumi. Ia menaiki kendaraan roda empat nya yang kemudian melaju membelah jalanan padat merayap.
"Kenapa sih mama mau pindah ke kota sepadat ini?" geramnya gusar, ia tidak suka dengan suasana kota yang padat seperti ini. Macet, paling menyebalkan.
Pak Nur yang sedang menyetir mobil menatap Eiryl dari kaca di atas dashboard. "Sabar, Non. Namanya juga Jakarta," haturnya dengan nada pelan.
"Tau gini aku tetap milih di Surakarta," rutuk Eiryl menyandarkan tubuh nya pada sandaran jok mobil.
Pak Nur tertawa kecil, "Ndak apa-apa, non. Seendak-nya Non Eiryl bisa tau dunia luar dan bisa belajar keluar dari zona nyaman. Ambil positif aja, Non," nasihatnya pada putri semata wayang majikannya itu.
Eiryl menghela napas nya dengan kesal. Lalu memilih untuk mengedarkan pandangan nya ke arah luar. Semua kendaraan sekeliling nya hanya bisa merayap dengan klakson yang berbunyi memekakkan telinga nya. Ia melirik arlojinya lagi. Waktunya hanya tersisa tujuh menit lagi.
"Lama-lama gue bikin rollercoaster juga nih buat ke sekolah," gerutunya sukses membuat Pak Nur tertawa.
"Pak Nur, diem!" gertak Eiryl semakin kesal.
***
"Aku berangkat dulu, Pak, Bu," pamit Alga mencium punggung tangan kedua orang tua nya.
"Nggih, hati-hati," balas ibu mengelus rambut Alga dengan lembut.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Ingat, Ga. Di bully cewek cantik kamu cium aja," seru Haris beriringan dengan langkah Alga.
"Haris," tegur ibu pada anak tertua nya.
Haris nyengir lebar. "Biar dia ada kenalan, Bu," ujarnya.
Tidak lama kemudian, "Beres, Mas!" sahut Alga sambil melangkah menjauh.
Sontak Haris terkekeh geli. "Di sahut, Bu. Si Gaga udah gede ternyata," lanjutnya.
Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Haris.
"Mas." Panggilan itu lantas tidak hanya membuat Haris menoleh. Ibu, bapak dan Andi pun ikut menolehkan kepalanya.
"Kalo yang bully aku burik, item, dekil, gimana?" lanjutnya.
Ibu menghela napas sabar saat Alga rela memutar balik langkah nya hanya untuk menanyakan hal semacam itu pada Haris.
"Kamu buang aja ke laut," jawab Andi dengan asal lalu bangkit dan masuk ke dalam.
"Oalah," gumam Alga terkejut.
"Tuh, udah di jawab sama mas-mu. Sana berangkat," ujar ibu.
Alga terkekeh.
"Ga! jangan lupa!" pekik Haris.
"Beres, Mas!" sahut Alga mengacungkan dua ibu jari nya ke arah Haris. Lantas langkah nya melesat cepat, menyusuri gang sempit yang hanya dapat di lewati satu kendaraan roda dua, melintasi jembatan yang hanya selebar dua meter dan sebagai penghubung jalan.
Ah, hari ini semoga menjadi hari terbaik nya. Alga terus melangkah sampai kedua netra nya di hadapkan dengan banyak nya siswa baru sama seperti diri nya yang tengah hilir mudik tepat di halaman luas lapangan upacara.
***
Bersambung.