Chereads / Gadis Pilihan / Chapter 5 - Ketulusan Lebih Berharga

Chapter 5 - Ketulusan Lebih Berharga

Motor yang dikendarai nya mulai memasuki jalan perumahan asri yang di setiap sisi nya terdapat pepohonan rindang. Alga sempat terkesiap dengan berbagai ornamen yang menghiasi halaman rumah sebesar ini. Patung-patung juga lampu taman yang di penuhi dengan ukiran, menambah kesan mewah pada bangunan di depan nya.

"Rumah gue di nomor 11," ujar Eiryl sambil menunjuk ke arak kiri jalan.

Tidak lama kemudian Alga menghentikan laju motor nya tepat di depan gerbang sebuah rumah megah dan Eiryl mulai beranjak turun. "Makasih, ya," ujar nya sambil memberikan helm pada Alga.

"Iya," jawab Alga singkat.

"Maaf juga," lanjut Eiryl.

"Buat?" Alga mengernyit.

"Tadi gue marah-marah sama lo," jelas Eiryl.

"oh, oke. Maaf juga kalo gitu," balas Alga.

"Buat apa?"

"Udah bikin kamu marah-marah."

Eiryl terkekeh. "Gue emang parnoan," ujar nya mengakui. "Sebenarnya bukan cuma itu, sih," lanjutnya.

"Terus?" Ah, sial. Alga malah melontarkan pertanyaan yang jelas-jelas tidak perlu di utarakan.

"OCD yang bikin gue seperti ini," jelas Eiryl mengakui.

Alga termangu dengan mata yang terus tertuju pada gadis di hadapannya.

"Jadi gue harap lo bisa maklum. Tapi sekarang gue lagi menjalani terapi."

"Ah ya, nggak masalah." Alga mengembangkan senyum nya.

"Mau mampir?" tawar Eiryl.

Alga melirik rumah besar yang ada di hadapannya.

"Mungkin lain kali," ujar nya.

"Oke, gue tunggu. Kalo perlu bawa teman-teman lo juga buat main ke sini."

"Pasti." Alga mengangguk. "Kali gitu saya pamit dulu. Sampai bertemu besok," pamit nya.

"Tunggu," cegah Eiryl dengan cepat. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikiran nya. Ia melangkahkan kaki nya mendekati Alga. Iya, diri nya cukup gemas untuk merapikan kerah kemeja yang Alga kenakan serta rambut lelaki di depannya yang tidak tertata rapi.

Tangan Eiryl dengan teratur bergerak merapikan penampilan Alga sampai diri nya merasa cukup puas.

Tatapan Alga yang tertuju kepadanya membuat Eiryl tersadar. Gadis itu seketika terpaku dengan kedua tangan memegang kerah kemeja Alga.

"Maaf," ujar nya segera menarik tangannya kembali. "Gue masuk dulu," pamit nya segera berlalu dengan meninggalkan Alga di tempat nya.

***

Eiryl menaruh tas nya lalu menarik napasnya dalam-dalam untuk menenangkan jantung nya yang terus berdebar. "Oke. Semua nya baik-baik aja," gumam nya dan beranjak menuju meja belajar. Duduk di sana lantas menarik laci untuk mengambil buku paling penting di hidupnya.

Ibu jarinya menekan kepala pena. Tangan bergerak mencoret beberapa daftar yang sudah ia laksanakan dengan baik hari ini. Eiryl menarik napas nya sejenak. Ada rasa sedih yang tiba-tiba menyelusup ke dalam hati nya. Ia ingin hidup normal, layaknya orang-orang di luar sana yang tanpa mengandalkan segala rencana yang harus di catat setiap harinya.

Kepala nya menelungkup, ada tangis yang tidak ingin ia utarakan pada siapa pun termasuk udara di sekitarnya. Namun terdengar dering telepon yang berhasil memecahkan suasana senyap di kamar nya. Kemudian layar Putri tertera di layar ponselnya.

"Halo," sapa Eiryl berusaha untuk mengatur intonasi suara nya.

"Halo Eli," balas Putri di seberang.

"Kok Eli?" tanya Eiryl mengernyitkan dahi nya.

"Biar lucu," jawab Putri lantas terkekeh geli.

"Jangan ubah-ubah nama orang, deh," gemas Eiryl.

"Ih, biarin aja. Apa salahnya, coba."

"Oke deh. Makasih Puput." Eiryl ikut terkekeh.

"Tau aja lo, sama panggilan kecil gua." Tawa Putri di seberang pun ikut terdengar.

"Dih, siapa yang nggak tau sama nama pasaran kayak gitu. Anak rusa juga tau, kali."

"Ih, Eli. Jahat!"

Eiryl malah tertawa keras.

"pedes lo, ya. Kalo ngomong."

"Nggak kok. Itu cuma bercanda aja, sayang."

"Hm, baper deh gue, di panggil sayang sama lo," ujar Putri setengah merengek.

Eiryl kembali terkekeh.

"Eh, Li. Keluar, yuk. Kita nongkrong," ajak Putri kemudian.

"Nongkrong dimana?"

"Mending sekarang lo siap-siap. Nanti gue kasih tau tempat nya."

Eiryl berdecak. "Yaudah, nih. Gue siap-siap."

"Oke sip. Dandan yang cantik ya, sayang," goda Putri lantas mengikik geli.

"Hm," sahut Eiryl. singkat. Ia mematikan sambungan telepon itu. Lantas bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Mencocokkan baju yang akan ia kenakan selama menikmati suasana luar bersama Putri.

Di depan pantulan cermin Eiryl menatap dirinya dengan baju kasual yang kini sedang ia pegang. Untuk kesekian kalinya ia menghela. Lalu dengan cepat mengganti pakaiannya dan kembali beranjak menuju meja belajar nya. Menuliskan semua yang akan ia lakukan dengan Putri.

***

"Gimana, bro? Lancar?" seru Arya dari tempatnya sambil mengenakan pakaian sekolahnya.

Alga berdecak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lah, kenapa lu?" tanya Dimas.

"Kadang saya suka heran. Orang punya duit sebanyak itu darimana?" ucap Alga dengan raut bingungnya.

"Ya, kerja lah. Goblok lo," maki Arya gemas.

Alga berdecak sambil melempar kunci motor yang di pegangnya kepada Dimas. Lalu duduk di tribune.

"Emang kenapa, sih?" selidik Dimas ikut duduk di samping Alga.

"Kalian tau perumahan Citra Nusa Indah?" tanya Alga menatap kedua temannya dengan bergantian.

"Tau lah. Perumahan orang elit kayak begitu, siapa yang nggak tau," sambar Arya.

"Nah itu," ujar Alga.

"Apaan?" tanya Dimas menahan gemas.

"Dia anak nya sultan. Lah, saya kan cuma anak pinggiran," ujar Alga dan langsung mendapatkan tepukan yang mengejutkan di pundaknya. Dimas menepuk-nepuk pundak nya kemudian mendekat.

"Harta, tahta, jabatan, dan kawan-kawan nya. Itu nggak ada artinya, nggak bisa ternilai dan bahkan nggak bisa di bandingin sama ketulusan," ucap Dimas dengan bijak.

"Ketulusan lebih berharga, bro," simpul Arya. "Apalagi di jaman sekarang, pertemanan itu cuma formalitas, selebihnya, ya buat kepentingan pribadi," tambahnya.

Dimas menoleh. Menatap Arya dengan takjub. "Tumben lo pintar," ujar nya.

Lantas Arya nyengir lebar. "Abis renang. Jadi otak gue rada seger," balasnya kemudian terkekeh.

Pandangan Dimas kemudian beralih menatap Alga yang tengah melamun menatap kosong lantai di depan nya. Kedua alisnya terangkat, memberi isyarat pada Arya agar mau bersekongkol dengan nya.

Alga tersadar dari lamunan nya ia menatap Arya dan Dimas bergantian dengan rasa curiga. "Perasaan saya nggak enak," ujarnya tanpa ekspresi.

Dengan kompak Arya dan Dimas memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun detik berikutnya mereka bangkit dan menarik tangan serta kaki Alga untuk menceburkannya ke dalam kolam.

"Ceburin," teriak Arya dan Dimas dengan kompak melempar tubuh Alga ke tengah permukaan air.

Suara bunyi percikan air pun mengisi seantero gor.

"Kampret," maki Arya dengan wajah nya yang datar. Sedangkan kedua teman nya malah tertawa puas di atas penderitaan nya.

"Gue tau. Dari SD lo belum mandi," sahut Arya terbahak.

"Bukan dari SD, tapi dari lahir," sambung Dimas tertawa puas.

Dengan cepat Alga menuju tepi kolam dan siap untuk membalas dendam. Tanpa segan ia berlari untuk untuk menangkap Dimas dan Arya. Sampai akhirnya dapat dan tidak hanya kedua temannya yang kembali tercebur ke dalam kolam, melainkan dirinya pun ikut tercebur dengan kuat Arya mendorongnya hingga kembali jatuh ke permukaan air.

Mereka tertawa. Begitu lepas. Sangat puas.

Seseorang terlihat berjalan mendekati tepi kolam untuk melihat makhluk macam apa yang mengisi kolam renang sebesar ini. Sedang, semua makhluk penghuni sekolah sudah pulang kerumahnya masing-masing.

"Hei, kalian!" teriakannya setelah tau kalau ada tiga anak manusia yang malah tengah asyik bercanda di tengah-tengah kolam.

"Anjay, manjay, gurinjay!" seru Arya merasa kaget.

"Pak Santoso, kampret," susul Dimas.

"Cepetan kabur," ujar Alga mengambil arah lain untuk menggapai tepi kolam.

Arya dan Dimas pun tidak kalah cepat nya. Sedangkan Pak Santoso terlihat bingung karena tiga anak muda di depan nya saling berpencar untuk melarikan diri.

"Hei! Mau kemana kalian?" teriak Pak Santoso.

"Kabur lah, pak. Gimana, sih?" sahut Arya dengan mengambil semua barang-barang milik nya dan kedua temannya.

Dengan cepat mereka melesat pergi. Meninggalkan Pak Santoso bersama raut bingung nya.

"Awas ya kalian! Saya ingat wajah kalian!" pekik Pak Santoso penuh ancaman.

"Iya, pak. Kita juga inget!" balas Dimas segera berlari menjauh.

"Salam juga buat anak dan istri!" tambah Arya sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

Melihat kepergian ketiga anak manusia itu, Pak Santoso hanya bisa menghela pasrah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Anak jaman sekarang, keterlaluan," gerutu nya lantas berkacak pinggang.