Sopir dan security yang bekerja di rumah keluarga Jarrel begitu sangat bersyukur mengetahui tuan muda majikannya sudah kembali pulang. Begitu antusias pak Harry berlari mendahului Jarrel yang berjalan menuju pintu utama. Jarrel hanya memandang heran melihat security rumahnya yang berlari kesenangan ke dalam rumah.
"Dasar, gue nggak pulang semalaman aja pada heboh gini," dengkus Jarrel dalam hati.
Ia terus melangkah menuju pintu utama rumahnya, baru saja ia sampai teras depan dari arah dalam rumah berlarilah bi Mira dengan tergesa-gesa dan berbinar bahagia menyambut kehadirannya. Yang menurut Jarrel hal tersebut sangatlah berlebihan. Toh, baginya apa salahnya menginap di suatu tempat hanya untuk semalam saja atau 1 - 2 hari ke depan?
Memang tidak ada yang salah. Hanya saja kekhawatiran asisten rumah tangga yang bekerja dan mengabdi sejak lama terhadap keluarganya, hingga membuat Jarrel merasa terkekang. Mungkin kedua orang tuanya tampak tidak peduli kepadanya akan tetapi, segala bimbingan dan pengawasannya mereka serahkan kepada bi MIra sekaligus sebagai orang kepercayaan sang majikan.
Terkadang hal tersebut membuat Jarrel kesal, ia merasa seolah menjadi anak asisten rumah tangganya. Ia begitu sangat membenci kesibukkan kedua orang tuanya. Seakan hanya dengan uang dapat membeli segalanya.
"Alhamdulillah, kamu pulang juga, Den. Bi Mira senang melihatmu sudah berada di rumah lagi. Kamu sebenarnya habis dari mana? Kenapa harus keluar diam-diam pakai acara kabur begitu?" ujar bi Mira, seraya mencecar pertanyaan kepada Jarrel.
Jarrel hanya menjawabnya dengan santai tanpa rasa bersalah. "Kalau aku izin belum tentu diizinkan, bukan?" Jarrel membuang mukanya.
Pak Bowo dan pak Harry menjelaskan ke mana kemarin Jarrel pergi. Bi Mira yang mendengarkan keterangan dari kedua rekannya hanya manggut-manggut menandakan jikalau ia memahami semua penjelasan yang disampaikan oleh kedua rekannya.
"Ya udah, aku mau mandi dulu. Tunggu aku bentar ya, Pak!" perintah Jarrel, mengalihkan pandangannya ke arah pak Bowo selaku sopir pribadi rumahnya.
"Baik, Den."
"Biar Bi Mira siapkan sarapan dulu ya," tambah bi Mira.
"Nggak usah, aku mau berangkat pagi-pagi soalnya, Bi." Jarrel segera masuk ke dalam rumah setelah mengatakan itu.
Ia bergegas menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Sesampainya di Jakarta ia sudah mulai sedikit berpeluh, lekas saja ia menuju kamar kecil yang berada di dalam kamar pribadinya. Tidak sampai 10 menit, Jarrel sudah selesai dengan rutinitas membersihkan dirinya di pagi nan cerah ini.
"Semoga pilihan gue nggak salah, ahh lihat aja nanti deh," gumamnya sembari berpakaian.
Berapa menit kemudian ....
"Sudah siap, Den?" tanya pak Bowo, saat melihat Jarrel menghampirinya di beranda depan.
"Udah, Pak. Ayo berangkat!" seru Jarrel.
Mereka pun memasuki mobil yang memang sedari tadi sudah dipersiapkan oleh pak Bowo. Tak lama mobil yang dikemudikan pak Bowo melaju meninggalkan rumah itu. Tinggallah pak Harry dan bi MIra yang berada di rumah itu. Mereka berdua dengan kesibukan masing-masing.
***
Sekar merasa harus memberitahukan bi Aida tentang penyakit Dreena. Ia juga tidak ingin ada kesalahpahaman di sini. Menyadari sikap canggung bi Aida, membuat Sekar merasa tak enak hati. Ia juga tidak ingin jika putrinya membuat orang lain merasa takut berada di dekatnya nanti.
"Aku harus bicara pada bi Aida, ya harus. Semoga saja dia dapat mengerti persoalan yang sebenarnya menimpa keluargaku," pikir Sekar.
Seusai makan malam, Sekar sengaja membantu bi Aida membersihkan meja makan. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ia bicarakan kepada asisten rumah tangganya itu. Dari sebelum makan malam, ia sudah memikirkan bagaimana cara mengatakan semuanya dengan tepat. Tak luput pula ia mendiskusikan hal ini kepada suaminya. Andres hanya menghela napas seraya berkata, "Baiklah, Ma bagaimana menurutmu baik saja.
Kembali ke meja makan, bi Aida yang sedang merapikan meja makan terbantu juga oleh majiknnya. Sekar masih belum berbicara apa pun pada bi Aida. Ia berniat akan mengatakan ini semua di dapur nanti.
Sesampainya di dapur, Sekar mengutarakan maksudnya ketika ia meletakkan beberapa piring kotor sisa makan malam tadi di wastafel tempat cuci piring.
"Bi, boleh aku bicara sebentar? Ini soal Dreena," ucap Sekar tiba-tiba.
"Iya, Nya kenapa dengan non Dreena ya?" balas bi Aida, bertanya.
Sekar pun menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum ia memberitahukan apa yang terjadi sebenarnya mengenai Dreena. Ia berbicara dengan nada tenang dan mimik wajah senyaman mungkin. Ia juga tidak ingin langsung to the point membicarakan tentang penyakit putrinya itu. Ia berusaha agar masuk ke dalam pembicaraan itu dengan mengalir begtu saja.
Berapa menit kemudian, tibalah Sekar pada pembahasan mengenai Dreena. Bi Aida mendengarkannya dengan saksama. Nyaris jantungnya terhenti seketika.
"Apa Nya? Kok bisa non Dreena mengidap penyakit langka seperti itu?" tanya bi Aida, tersentak kaget mendengar penjelasan dari nyonya majikannya.
"Iya, Bi doa 'kan Dreena ya semoga lekas sembuh dari penyakitnya itu." Sekar tak lupa mohon doa kepada asisten rumah tangganya itu.
"Tapi, Nya ... memang, a-anu ... penyakit seperti itu memang benar adanya? Lah kok aku baru dengar ya?"
"Benar, Bi. Aku juga awalnya tidak percaya, tapi dokter itu pada hari Dreena dibawa ke rumah sakit telah menvonis Dreena mengidap penyakit langka itu. Aku dan suamiku awalnya menyangkal diagnosis yang tak rasional itu. Namun, apa daya semua itu fakta bukan sebuah karangan. Memang tampak tidak masuk akal, tetapi itulah hal yang terjadi sebenarnya." Sekar kembali meyakinkan bi Aida yang sedari tadi membelalakkan kedua matanya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya akan informasi yang nyonya majikannya beritahu.
"Ya Allah, non Dreena kasian banget. Semoga segala penyakitnya diangkat oleh Allah SWT, aamiinn," seru bi Aida, mendoakan kesembuhan Dreena.
"Aku harap Bi Aida maklum apabila suatu ketika mendapati Dreena bersikap di luar nalar dan sebagainya. Itu semua semata-mata hanya karena efek penyakit langkahnya itu. Terkadang efeknya memang seperti makhluk mengerikan itu. Aku percaya, kalau putriku tidak akan menyakiti orang-orang di sekitarnya. Semoga ia dapat mengendalikan efek dari penyakit yang terjadi pada dirinya."
Bi Aida mengangguk serta mengaminkan perkataan dan doa harapan yang tertutur oleh Sekar.
Ketika mereka sedang membicarakan mengenai penyakit Dreena, tetiba dari luar dapur ada suara seseorang berdeham cukup keras dan mengejutkan mereka kala itu. Untung saja, bi Aida tidak sedang mencuci piring. Jika iya, mungkin saja piring-piring itu jatuh pecah berserakan di lantai dan serpihan porselin berwarna putih itu sudah pasti mengenai kakinya.
Mereka berdua secara berbarengan menoleh ke arah pintu masuk dapur. Lalu siapa yang mereka lihat di depan pintu dapur itu?
***
Hai, Readers!
Mohon maaf, aku baru sempat update lagi.
Apa kalian masih lanjut baca?
Makin seru ya?
Semoga kalian suka dengan kisah Dreena & Jarrel ya. Aku tunggu star vote, krisan/review terbaik kalian ya. Boleh beri gift bila berkenan.
Terima kasih & selamat membaca.
Follow IG: @yenifri29 & @yukishiota29