Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Drugs + Love = Addicted

Kennie_Re
--
chs / week
--
NOT RATINGS
145.9k
Views
Synopsis
Mature content (21+) Jenna Jameson dinyatakan menderita anemia aplastik, yang membuat dirinya sering bertemu dengan Dokter Ryan Karl, hingga secara tak sengaja terlibat cinta terlarang yang tidak seharusnya terjadi di antara mereka. Pada mulanya Jenna tak mengetahui bahwa Ryan ternyata adalah pria beristri. Hingga kepulangan Hellen Duncan-Karl, istri Ryan, menyadarkan Jenna bahwa dirinya dan Ryan tak akan pernah bisa bersatu. Jenna kemudian memutuskan untuk menerima pinangan Blake Gillian, mantan kekasihnya di masa lalu yang kembali hanya demi bisa menjalin kembali kisah cinta yang sempat terputus. Ketika Jenna dan Ryan telah memilih untuk melanjutkan hidup masing-masing, takdir justru seolah membuat lelucon. Secara kebetulan Ryan-Hellen dan Jenna-Blake berlibur ke tempat yang sama, sekaligus Dokter John Armando, yang merupakan sahabat Hellen sejak kecil, yang ternyata merupakan selingkuhan Hellen. Ditambah keterlibatan Clara—sahabat Jenna, membuat kisah cinta semakin rumit. Akankah cinta menemukan jalan pulang yang benar, jika cinta tak lagi cinta? Terlebih jika didominasi obsesi yang selayaknya candu, yang pada akhirnya memorak porandakan cinta yang dibangun dan dipupuk dengan tulus. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan pada akhirnya? - Drugs + Love = Addicted - Reach me on IG: @kennie_r89 Vectorist: A_Nzee IG: @a_nzee
VIEW MORE

Chapter 1 - Hello, Doctor

BRAKK!!!

Suara alarm keamanan mobil menjerit nyaring menyusul suara hantaman keras. Tubuhku terhempas pada jok, kemudian menabrak steering wheel. Kejadiannya begitu cepat hingga aku tak mampu menyusun memori saat itu. punggung dan dadaku terasa nyeri. Terlebih lagi hidung dan dahi.

"Aw!," desisku lemah. Kuarahkan spion kemudi dan memeriksa kening yang kemerahan. Ada sedikit goresan di sana. Pantas saja terasa sakit. Kurogoh laci dashboard dan mengambil selembar plester, menempelkannya di bagian yang terluka.

Aku harus segera mencari bantuan untuk mobilku. Dari sini terlihat kap mesin yang mengepulkan asap. Jika tidak cepat bisa saja mobil ini meledak. Namun tentu saja itu hanya ada dalam khayalanku.

Tabrakan, kap mesin berasap, percikan api, lalu ledakan. Hanya khayalan saja.

Dengan langkah lemah, aku keluar dan menjauh dari kendaraanku, berdiri di trotoar jalan tepat di depan sebuah klinik Dokter. Entah siapa namanya. Sepertinya aku lupa memakai soft lens, dan kaca mataku tertinggal di mobil, sehingga tulisan yang terpampang tempat itu tak terlihat jelas. Mungkin klinik dokter gigi—dari luar terlihat mewah dan imut. Ada beberapa balon warna pink dan biru muda menghiasi bagian depan pintu.

Lupakan tentang klinik itu. Aku harus segera menghubungi mobil derek untuk membawanya ke bengkel. Atau jika ada siapa pun yang bisa membantuku dengan kendaraan berwarna silver itu, aku akan sangat berterima kasih.

Aku mengambil ponsel dari saku celana, mencari nomor yang biasa kuhubungi saat terjadi kesialan semacam ini. Sepertinya sudah waktunya mengganti mobil ini dengan yang baru, yang lebih modern dan berkelas. Atau yang gahar dan powerful untuk berbagai medan. Siapa tahu suatu saat membutuhkannya untuk pendakian atau penjelajahan alam.

Pikirkan itu nanti, first thing first, menyelamatkan nasib kendaraan kesayanganku ini.

Tak berapa lama setelah nada tunggu, suara operator yang khas menyapaku dengan ramah. Aku tahu itu hanya rekaman, tapi ayolah, mereka memang ramah, bukan?!

'Untuk berbicara langsung dengan Customer Service silakan tekan nol!'

Aku menekan nomor yang diminta, karena memang ingin berbicara langsung dengan petugas pelayanan.

Bagus! Sudah terhubung.

"Ah, ya, halo. Aku Jenna Jameson. Jenna. J-E-N-N-A. Ya, ya benar." Aku mondar-mandir mencari tempat yang sedikit lebih tenang. Suara alarm mobil sudah tidak berbunyi lagi, mungkin pemiliknya sudah memeriksa mobil itu. Namun bunyi klakson dan riuh pejalan kaki cukup mengganggu konsentrasi.

Beberapa orang hanya menatap mobilku yang teronggok mengepulkan asap.

"Ya, aku sekarang di 21 Street. Iya, benar. Uhm ... tepat di depan sebuah klinik. Sebentar, sebentar ...." Aku menoleh dan mendekat pada jendela kaca berukuran besar itu, membaca kalimat yang tertulis di sana.

"Ya, halo. Health Clinic Dr. Karl. Karl. Ya, mana aku tahu Karl siapa! Haruskah aku masuk dan bertanya pada mereka siapa nama depan dokter itu? Ya, Tuhan! Bawa saja mobil derek ke sini mobilku berasap dan ...."

Tut tut tut!

Ah, sial! Bagaimana caraku memperbaiki benda ini kalau pelayanan derek saja sulit dihubungi. Aku tidak sedang berada di dimensi lain, 'kan? Seharusnya mereka tinggal cari saja titik lokasi tempatku berada. Apa gunanya GPS?

Kepalaku juga sudah terasa pening dan berputar. Haruskah aku masuk ke klinik ini untuk meminta pertolongan? Tidak. kurasa aku baik-baik saja, tapi tidak dengan tungganganku. Aku sudah meminum obat sakit kepala sebelum berangkat. Tapi kenapa rasanya ....

... ge-lap ....

***

Aku tersadar dan berada di sebuah ruangan sempit yang kira-kira hanya berukuran 3x4, seukuran kamar mandi di rumahku. Tapi tunggu, ada apa denganku? Kenapa aku berada di ruangan ini?

Aku berusaha bangkit. Sebuah jarum terpasang di punggung tanganku. Selain itu cairan mengalir melalui selang kecil yang terhubung dengan jarum infus yang menancap di sana. Aku tidak merasa sakit, kenapa tubuhku harus diberi cairan itu?

Seorang wanita dengan seragam berwarna baby pink dan pria berperawakan tinggi tegap dengan jas putih—jika boleh kutebak usianya kira-kira 35 tahun, masuk ke ruanganku. Sebuah senyum terulas di wajah mereka menyapaku yang sudah mulai sadar. Baiklah, aku tahu di mana aku sekarang.

"Kau sudah sadar rupanya. Perkenalkan, aku dokter Ryan Karl. Dan kau, Nona...." Ia membolak-balik kertas yang disodorkan perawat padanya, kemudian menyerahkan kembali pada wanita yang mengekor di belakangnya.

"Jenna Jameson," jawabku parau. Pria itu mengambil stetoskop dari sakunya memasang di telinga kemudian menempelkan lainnya ke dadaku. Ia juga menyentuh pergelangan tangan dan memeriksa denyut nadiku.

"K-kenapa aku ada di sini?" tanyaku tergagap. Dokter itu melepaskan stetoskop dan memasukkan kembali dalam saku jasnya.

"Kau pingsan. Apa kau bisa mengingat yang terjadi?"

Aku mengurut kening, ada rasa berdenyut di sana. Sekaligus berusaha mengumpulkan kembali ingatan tentang kejadian sebelumnya.

"Aku mengalami kecelakaan. Hanya benturan dan luka kecil di bagian kening. Selebihnya aku baik-baik saja."

Dokter yang bernama Ryan Karl itu menarik kursi dan duduk di samping ranjangku.

"Kau mengalami gejala kekurangan zat besi dan sel darah merah, apakah kau sedang datang bulan?" tanya pria itu. Aku menggeleng.

"T-tidak."

"Apa ada benturan di bagian lain selain kepala?" Pria itu bangkit kemudian menekan bagian perutku. "Apakah sakit?"

"Tidak."

Pria itu kembali duduk. "Apakah kau sering merasa berkunang? Jika ya, seberapa sering kau merasakan itu? Terlebih ... hingga pingsan."

Aku menggeleng. Tentu saja aku tak ingat, tapi memang cukup sering. Apakah penting untuk menjawabnya?

"Memang apa yang terjadi padaku? Aku cukup sering merasa berkunang-kunang, lalu pingsan. T-tapi aku tidak tahu apa hubungannya dengan itu?"

Dokter Karl bangkit lalu tersenyum. Kembali mengambil catatan di tangan perawat yang masih berdiri menemaninya.

"Aku sudah mencatat semuanya, kita akan lihat perkembangan setelah ini. Ini hanya dugaan, harus ada beberapa tes yang dilakukan agar kita tahu apa benar merujuk ke sana. Diagnosa sementara, kau mengalami gejala anemia. Aku akan memberi suplemen penambah darah."

"L-lalu, kapan aku bisa keluar dari sini?" tanyaku. Entah sudah berapa lama aku tertidur atau pingsan, yang pasti masih banyak hal yang seharusnya aku kerjakan hari ini.

"Tunggu sampai kantong itu kosong," jawabnya sembari tersenyum, menunjuk kantong yang menggantung pada tiang infus. Isinya tinggal sepertiga.

"Apakah ada keluarga yang bisa dihubungi?" tanya pria berkacamata itu lagi.

"Uhm, orang tuaku. Tapi mereka berada di kota lain dan pasti akan sangat panik jika mengetahui kondisiku." Aku tersenyum kecut. "Mereka agak berlebihan, jadi kurasa tak perlu hubungi keluarga."

Pria itu mengangguk kemudian pamit untuk keluar dari ruanganku. Dan sepeninggal mereka, aku berusaha memejamkan mata. Setidaknya sebentar saja. Kondisiku jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Setidaknya beristirahat mungkin akan membuatku lebih cepat pulih.

***

Ada rasa seperti gigitan serangga di punggung tangan yang membuatku terbangun. Seorang perawat sedang melepaskan jarum infus dari sana. Ah, syukurlah ... Berarti aku bisa pulang sekarang. Tubuhku pun sudah merasa lebih segar. Hanya ... masih sedikit merasa pusing karena terlalu banyak tidur, mungkin.

Aku bangkit perlahan, membereskan barang-barang sebelum kemudian mengekor langkah perawat ke luar dari ruangan. Salah seorang dari mereka menghampiri.

"Untuk administrasi sebelah sini, Nona Jameson." Ia menunjukkan jalan padaku. Kuikuti langkahnya sembari mengedar pandangan ke bagian dalam gedung ini.

Ada beberapa pintu bertuliskan angka yang sepertinya merupakan ruang perawatan. Apa pun itu, tidak lagi penting. Aku bersyukur sudah membaik dan harus segera menyelesaikan pembayaran lalu keluar dari tempat ini. Jika tidak Clara pasti akan membunuhku karena tak memberi kabar. Terlebih kami sudah berjanji akan bertemu di kafe malam ini.

Selesai melakukan pembayaran, aku segera mengambil ponsel dalam saku celanaku. Dan benar saja. Ada puluhan panggilan tak terjawab serta pesan dari Clara yang isinya... Jangan tanyakan. Dia sangat mengamuk.

[Jenna, kau di mana?]

[Oke, aku akan menunggumu 10 menit lagi]

[Baiklah, aku pulang! Kau tidak mengangkat teleponku bahkan mengacuhkan pesanku. Apa yang kau lakukan? Kau sedang tidur dengan siapa lagi?]

[Baiknya kau mempersiapkan jawaban yang tepat, jika tidak, aku akan marah!]

Nah, sudah cukup itu saja pesan yang kubaca. Lainnya pasti sama seramnya dengan itu dan tak ada yang tak takut jika Clara sudah marah.

Kini aku sudah berada di luar Klinik. Langit sudah gelap, tapi jalanan masih padat lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki. Aku harus bergegas ke rumah Clara jika tak ingin dia makin naik darah. Sahabatku satu ini memang sedikit kurang sabar. Tapi tunggu, aku harus terlebih dahulu memastikan mobilku tidak akan meledak saat kunyalakan.

Benda berwarna silver itu masih terparkir di sana. Lebih tepatnya terabaikan. Di tempat yang sama di mana terakhir kali aku tinggalkan. Sudah tidak berasap lagi, syukurlah. Aku bergegas masuk dan mencoba menyalakan mesinnya.

Yes! Masih berfungsi! Berarti aku tidak membutuhkan jasa mobil derek hanya untuk menarik benda ini. Aku memakai kaca mata agar mempermudah melihat jalanan dan tidak terjadi tabrakan lagi. Dan jangan lupa, kemudikan mobil dengan hati-hati dan tidak bermain ponsel. Oke, aku akan mengingat itu.

Kukemudikan tungganganku perlahan, meluncur menuju ke rumah Clara. Lebih baik langsung bertemu saja, sekaligus mengganti waktunya yang sia-sia karena menungguku.

***