Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 5 - Hole and Corner

Chapter 5 - Hole and Corner

Kejadian kemarin membuatku terpaksa harus beristirahat di rumah untuk beberapa hari. Terlebih Dokter Karl sudah memberi selembar surat keterangan dan telah menyerahkan langsung pada ketua kelas untuk selalu disertakan setiap jam perkuliahan.

Berada di rumah seharian-seorang diri, membuatku merasa bosan. Menonton televisi, bermain video game, dan semua hal yang menghibur sudah kulakukan tapi tetap saja tak mampu mengusir kebosanan yang seperti akan memakanku. Andai saja Clara juga membolos dan menemani di sini.

Ting!

Sebuah pesan masuk membuatku membulatkan mata. Blake akhirnya menghubungi setelah beberapa hari tanpa kabar seolah menghilang di telan bumi.

[Hello, beautiful! Sebentar lagi pekerjaanku selesai. Mau makan siang bersama?]

Aku yang semula masih lemah, segera bangkit dari posisiku dan memikirkan kata-kata untuk membalas pesannya. Lama hanya memandangi layar yang kosong, tak tahu kalimat apa yang sesuai untuk membalas pesan manis itu.

[Aku sedang dirumah, by the way.] kukirim pesan itu padanya. Wajahku tak henti mengulas senyum menanti balasan darinya.

[Oke. OMW]

Oh, tidak! Ia sedang perjalanan kemari. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus mandi dan memakai pakaian terbaik? Tidak, tidak! Nanti ia tak akan tahu bahwa aku di rumah karena sedang sakit. Sesekali aku ingin melihat seberapa besar perhatiannya.

Eh? Perhatian apa? Untuk apa? Blake Gillian bukan siapa-siapa. Lagipula, bukankah aku tak akan mengulangi malam dengan orang yang sama?

Tidak. Aku belum menghabiskan malam dengan Blake, jadi ia masih memiliki satu kesempatan. Namun jika dipikir-pikir menjadikan Blake sebagai sasaran cinta semalam sama saja menghancurkan diriku sendiri.

Dulu aku sangat menyukainya, hingga begitu patah hati ketika mengetahui Blake sudah pergi tanpa berpamitan. Tak ada kata perpisahan, bahkan tak ada surat yang ia titipkan melalui Clara-seperti yang biasa ia lakukan. Saat itu aku merasa patah hati dan tak mau menjalin cinta dengan siapa pun.

Namun kini, kehadiran Blake kembali justru membawa keraguan dalam hatiku. Apakah ia layak untuk mendapatkan tempat yang sama, atau sekali lagi ia akan pergi? Meski ia menyebut Clara yang membuatnya pergi tanpa pamit, tak bisakah ia mengabaikan gadis itu demi diriku?

Tunggu! Aku jadi sangat penasaran apa yang dilakukan Clara hingga ia pergi dan tak sedikit pun mengucapkan salam perpisahan? Mengapa Clara tak mengatakan apa pun tentang BlakeBlake dan kejadian itu? Mungkin nanti aku akan menanyakan hal ini langsung padanya.

Sekarang yang terpenting adalah Blake. Apa yang harus kupakai untuk menyambutnya?

Aku sudah duduk di sofa dengan pakaian yang lebih layak untuk menyambut kedatangan Blake. Tak berapa lama, terdengar suara ketukan di pintu. Sosok tampan dengan jas lengkap berdiri di ambang pintu. Tangannya membawa sebuket bunga dan paperbag, menyerahkannya padaku.

"Untukmu." Senyumnya. Aku menerima pemberian pria itu dengan canggung. Ia masih sama seperti dulu. Selalu memberi kejutan dan hadiah. Meski kebersamaan kami hanya berlangsung singkat, namun kenangan yang ditinggalkannya saat itu bahkan masih membekas hingga kini.

"Terima kasih. Masuklah." Aku membuka pintu lebih lebar, mengekor langkahnya setelah memastikan pintu telah tertutup. "Bir atau vodka?" Menunjukkan padanya sebotol bir dan botol lainnya.

"Vodka, terima kasih," jawabnya tersenyum. Aku dengan sebotol vodka di tangan kanan dan dua gelas kaca di tangan kiri mendekat pada Blake yang sudah duduk nyaman. Menuang dan menyodorkan segelas vodka padanya. Ia menerima dan menyesap minuman di tangannya.

Aku mengambil tempat tepat di sampingnya, menyandarkan tubuh yang lemah-pada sandaran sofa yang empuk. Blake membelai lembut rambutku dan menyibakkannya. Menyelipkan helaiannya ke balik telingaku.

"Aku merindukanmu," ucapnya menatap mataku penuh arti. Hanya saja aku tak mampu menerjemahkan tatapan mata pria tampan itu.

"Kenapa kau tak memberi kabar?" tanyaku. Aku tak mampu menahan rasa ingin tahu yang sejak kemarin mengganggu. Membuatku tak bisa terpejam saat malam hari. Ia terdengar mendesah lelah sembari menyugar rambut cepaknya.

"Restaurant sedang meresmikan cabang baru di Cessmont, aku harus memeriksa apa saja yang dibutuhkan di sana. Sebenarnya ingin mengajakmu ke pesta peresmian, tapi karena pelaksanaan yang mendadak aku tak mungkin memintamu datang tiba-tiba. Maafkan aku."

"Tak apa, setidaknya kau sudah kembali dengan selamat," jawabku lemah. Mataku seperti ingin terpejam saja. Obat yang diberikan Dokter Karl sungguh luar biasa. Membuatku tidak produktif sama sekali.

"Uhm ... Jenna, kenapa kau terlihat pucat?" tanya Blake menelisik warna kulitku yang memang terlihat tidak normal. Aku tersenyum simpul.

"Sebenarnya kondisi tubuhku sedang tidak bagus beberapa waktu terakhir. Sudah sejak lama, hanya akhir-akhir ini menjadi lebih parah. Mungkin karena kegiatan yang padat membuatku kelelahan."

Wajah pria itu mendadak panik. Aku merasa senang melihat ekspresinya saat ini, merasa mendapat perhatian darinya.

"Benarkah? Kenapa kau tidak mengabariku? Lalu bagaimana kondisimu sekarang? Apakah kau baik-baik saja?" desak pria itu mulai terlihat cemas. Ia memegang dahiku, memastikan apakah tubuhku demam atau tidak.

"Aku baik-baik saja, Blake, percayalah ...," jawabku tersenyum.

"Kau yakin?" tanya pria itu lagi.

"Ya. Hanya sedikit mengantuk mungkin efek obat yang diberikan Dokter Karl, membuatku hanya tidur seharian," keluhku. Ia justru tertawa terkekeh.

Wajah cemas yang tadi sudah tak ada lagi. Apakah ia tidak terlalu mencemaskan kondisiku?

Oh, please Jenna! Jangan mengemis pada pria mana pun meski rasa cintamu setinggi pegunungan Himalaya. Ingat itu!

"Baiklah, kalau begitu istirahatlah. Apakah kau sudah makan?"

Aku menggeleng. Ia bangkit kemudian melepaskan jas yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya. Menggantung benda itu pada rak gantung di belakang pintu kemudian melipat lengan bajunya.

Ia kini sudah berdiri di balik meja dan membuka lemari pendingin serta mengeluarkan beberapa sayuran dan daging. "Mari kita lihat kau punya apa saja di dalam sini ...."

"Apa yang kau lakukan, Blake?" tanyaku bingung melihat ia sudah siap dengan bahan di hadapannya.

"Membuatkan makanan untukmu. Karena kau sakit, kau harus makan makanan sehat."

Ia mulai memainkan peralatan di hadapannya dengan cekatan. Bukan hal yang mengherankan, mengingat dari mana ia berasal. Beberapa tahun menghilang, demi versi-nya sekarang. Sukses di bidang kulinari, bukan hal yang main-main karena pada akhirnya kita bicara tentang rasa. Tentang selera. Dan Blake adalah ahlinya.

Dengan keahliannya sekarang, membuatku melihat dirinya dari sudut pandang berbeda. Pria yang pandai memasak akan terlihat beberapa tingkat lebih seksi.

Tampilannya maskulin, beradu dengan perkakas yang umumnya akrab di telinga wanita, membuatku kagum. Andai saja aku bisa melakukan hal yang sama, aku akan memasak setiap hari.

Tak menunggu lama, Blake sudah menyajikan hasil kreasinya. Hanya dari aroma yang menguar, aku bisa menyimpulkan rasa masakannya.

"Coba cicipi." Ia menyandarkan tangan di meja bar, menunggu reaksiku yang sedang mencicipi masakannya. Alisku berkerut, ditambah mimik aneh di wajahku.

"A-apa tidak enak?" tanya pria itu merasa bersalah. Melihat ekspresinya, aku melepaskan tawa yang kutahan sejak tadi.

"Mengapa kau percaya kalau kukatakan tidak enak?"

Ia ikut tertawa akhirnya menyadari keusilanku mengerjainya, lalu membiarkanku menikmati hidangan yang telah ia buat spesial untukku. Tentu saja aku memakannya hingga tak bersisa. Wajahnya terlihat senang menatap piring yang kosong.

"Apa kau menyukainya?"

Aku mengangguk. "Aku akan merasa senang jika memakan makanan selezat ini setiap hari," ucapku asal yang sejurus kemudian membuatku menyesali apa yang baru saja kukatakan.

"M-maksudku ...."

Oke, ini jadi terasa canggung. Dan memalukan.

Pria itu tersenyum. "Aku bisa memasak untukmu kapan pun kau mau." Jantungku seperti mau copot mendengar kata-katanya.

Apakah ia benar-benar akan melakukan itu untukku? Apakah itu berarti ... ah, sudahlah, Jenna. Jangan langgar perkataanmu sendiri bahwa percintaan adalah sesuatu yang membuang waktu dan memuakkan. Kini setelah Blake kembali apakah semua itu masih berlaku?

***

Suara ketukan di pintu membuatku terperanjat. Siapa lagi yang datang, padahal sudah hampir malam. Apakah Clara? Belum sempat bangkit, pintu sudah terbuka dan gadis itu menyelonong masuk tanpa dipersilahkan.

"Hai, baby ...." Clara menghambur kemudian mengecup pipiku. Kemudian okut berbaring di sampingku di atas sofa. Aku mendesah lega.

Untung saja Blake sudah pulang sejak tadi, jika tidak, pasti akan terjadi perang dunia ke berapa. Aku tak berani membayangkan.

"Kenapa wajahmu tegang begitu? Apa yang baru saja kau lakukan?" Gadis itu memicingkan mata menatapku penuh curiga. Aku pura-pura memejamkan mata menghindari tatapannya.

"Aku mengantuk, Clara. Jangan ganggu aku!" sergahku. Mendengar pekikanku ia kemudian beranjak dari sofa menuju ke dapur.menemukan makanan yang dimasak Blake untukku.

"Kau memasak?" Gadis itu mencomot seporsi makanan yang masih tersisa. "Hmm ... lezat sekali! Aku tak percaya kau memasak ini."

Aku terpaksa bangkit dan duduk nyaman dengan mata yang masih setengah mengantuk.

"I-itu ... aku memesan layanan antar."

"Oh ...."

Ia kembali ke sofa dan mengambil remote dan menyalakan televisi. Kubiarkan saja ia melakukan apa pun, aku sedang tidak ingin terlalu banyak bicara. Tubuhku masih lemah. Kedatangan Blake tadi lumayan menguras energiku. Ia berkelakar dan berusaha membuatku tertawa. Dan satu hal yang baru kuketahui, tertawa juga menguras tenaga.

"Kau tidak ke Glory?" tanyaku. Gadis itu menggeleng. "Kau belum mengatakan padaku, saat itu kau pergi ke mana."

Gadis itu tak menjawab, tidak juga menoleh sebagai responnya atas pertanyaanku.

"Baiklah kalau kau tidak ingin bicara, aku tidur saja."

"Eh, jangan! Baik aku akan katakan." Cegahnya saat melihatku siap untuk kembali tidur. Ia mulai mempersiapkan diri untuk mengatakan segalanya. Sudah berlalu beberapa hari, dan harus memaisanya dulu agar ia bicara.

"Cepatlah katakan, kau membuang waktu tidurku."

"Baiklah. Jadi pria tampan itu membawaku ke hotel setelah kau meninggalkan kelab."

Aku menatapnya penuh selidik. "Hanya itu?"

"Iya, hanya itu." Kali ini Clara yang berusaha menghindari tatapanku. "Ayolah, Jenna. Aku bukan anak kecil lagi, jadi jangan selalu ingin tahu aku tidur dengan pria yang mana lagi."

"Baiklah ... aku akan membiarkanmu melakukan apa pun karena kau sudah dewasa." Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku akan membiarkannya seperti yang selalu kulakukan.

Aku tak pernah mencampuri urusan sahabatku itu. Hanya, ada perasaan khawatir yang membuatku bersikap protektif padanya. Terlebih apa yang dulu pernah terjadi padanya. Meski cerdas dan selalu berprestasi, ia gadis yang ceroboh jika itu menyangkut pria. Aku tak ingin semua itu terulang kembali.

Namun Clara sepertinya tak ingin membahas masalah di Glory Club. Ia tetap bergeming dan fokus pada tayangan di hadapannya. Aku pun memutuskan untuk kembali tidur. Setidaknya satu jam lagi untuk memulihkan tenaga dan kesehatanku. Aku ingin bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Berada di rumah seorang diri adalah hal yang menjemukan.

Oke, aku akan tidur, satu jam saja.

***