Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 9 - Collapse

Chapter 9 - Collapse

Sudah beberapa lama aku berdiri di balik meja bar ini, dengan beberapa jenis bahan makanan di hadapanku. Jangan bandingkan dengan Blake yang memang memiliki bakat di bidang ini, untuk membuat satu makanan saja butuh waktu sekian abad bagiku. Tidak, itu hanya hiperbola memang. Namun sungguh, berencana membuat salad sayuran—dengan bahan lengkap tersedia, jangan lupakan buku resep yang sudah siap. Lalu apa? Mulai dari mana?

Aku terkekeh sendiri, memandangi sayuran dan lainnya yang menganggur. Pada akhirnya kuambil ponsel dan menekan sebuah aplikasi e-commerce yang menjual menu makanan. Beberapa restaurant cepat saji berkumpul di sana. Hanya menggulir dan klik. Selesai.

Kubereskan bahan-bahan makanan yang semula berada di meja. Memasukkan kembali ke lemari es. Biarkan Blake yang memasak untukku nanti. Entah kapan.

Mengingat Blake memunculkan perasaan gelisah. Aku menekan nomornya, menghubungi pria yang sudah beberapa hari mengacaukan pikiranku. Andai otak ini buatan manusia, mungkin sudah gila memikirkan manusia satu itu. Dimana kau, Blake? Haruskah aku begini menderita hanya untuk mendapat perhatianmu?

'Hey, Blake di sini. Katakan sesuatu setelah bunyi 'bip' '

"Hey, a-aku hanya bertanya-tanya di mana kau. Semoga kau masih di belahan bumi yang sama denganku. Kinda missing you. Call me!"

Ah, terdengar murahan. Namun sudah terlambat. Pesan suara telah disampaikan. Perfect! Mau bagaimana lagi. Anggap saja ini pertama dan terakhir kali aku melakukan kebodohan.

Sudahlah ....

Sebaiknya aku membersihkan diri setelah ini. Entah mengapa, sudah beberapa hari aku tidak bersemangat hadir dalam perkuliahan. Kepalaku rasanya seperti burn out dan hanya ingin berguling-guling di ranjang, bermalas-malasan. Telepon dan chat dari Clara tak kuhiraukan.

Beberapa kali ia datang dan mengetuk pintu pun tak kupersilahkan masuk. Kubiarkan ia di luar, hingga berlalu. Aku mirip seperti orang depresi. Hanya karena lelaki?

Tidak. Bukan hanya karena Blake. Beberapa hari merasa lemah, tapi aku tak ingin kolaps atau menderita di tempat lain. Jika pun harus mati, aku ingin di rumah saja. Tempat ternyaman kedua selain dalam dekapan Blake. Ah, bicara apa aku ini?

***

Aku duduk di tepian Bathtub, memandangi air yang mengalir dari keran mengisi bak yang semula kosong. Suara gemericik halus terasa menenangkan, seperti sedang mendengarkan alunan musik pengantar tidur.

Aku memang membutuhkan ini, kucuran air, juga dinginnya menyentuh kulit di cuaca yang cukup gerah. Tak heran, sebentar lagi musim semi akan berlalu berganti musim panas.

Kupersiapkan bubble bath beraroma vanilla dan lavender. Memasukkannya ke dalam bak yang sudah terisi separuh, lalu mengaduknya. Aroma semerbak menguar dan memenuhi ruangan tempatku berada sekarang.

Aku bangkit dan melangkah menuju sofa yang berada di sudut kamar mandi. Mengambil majalah lalu membolak-balik, menanti air hingga sepertiga bak.

Tak berapa lama, air yang mengisi bak sudah cukup untuk merendam tubuhku. Kumatikan keran lalu mulai masuk dan membiarkan tubuhku tenggelam dalam larutan yang kini berwarna keunguan dengan gelembung busa pada permukaannya. Kuhirup aromanya dalam-dalam. Merasakan otot-otot tubuh yang kaku mulai mengendur.

Rasanya ... nyaman sekali. Aku harus lebih sering melakukan ini, selain meringkuk dalam dekapan Blake, tentunya.

Diam, kau Jenna! Pikiranmu semakin melantur akhir-akhir ini. Apakah Blake sudah memakan separuh otakmu hingga kau tak bisa berpikir logis lagi?

Mungkin.

Namun tak bisa disalahkan jika aku mulai bersikap seperti orang tak waras, pria itu sudah mengacak-acak isi kepalaku. Mengaduk-aduk perasaanku. Jika aku sampai gila, ialah yang harus bertanggung jawab.

Sedang asik menikmati nyamannya berada dalam lautan busa, tak lama, aku merasa kulitku seperti mati rasa. Hanya terasa dingin. Kembali seperti berada di antara sadar dan tidak. Tubuhku menggigil, gigiku bergemeretak. Namun aku tak bisa menggerakkan tangan maupun kaki. Nafasku mulai tersengal.

Berteriak pun tak ada gunanya, aku hanya seorang diri. Aku tidak ingin mati konyol karena kehabisan tenaga dengan sia-sia. Jika aku pingsan, tak ada yang akan mencegah tubuhku tidak tenggelam.

Sekuat tenaga kuangkat tangan kiri dan mengaitkannya pada pinggiran bak. Aku tak ingin mati sekarang. Tidak sekarang. Ja-ngan se-ka-rang ....

***

"JENNA! Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan?"

Suara itu lamat-lamat kudengar. Muncul dan hilang. Suara siapa itu? Apakah malaikat maut? Apakah aku sudah mati? Aku berusaha membuka mata tapi tak bisa.

HEKKH!

Seseorang menekan bagian bawah dadaku. Aku tidak merasakan sakit, hanya seperti kejutan. Rasanya kebas.

"Jenna! Tetap di sini! Tetap bersamaku! Bangun! Ayo bangun!"

Aku tidak bisa bernafas. Entah apakah aku bernafas saat ini? Aku tak bisa merasakannya. Mengapa mataku tak juga terbuka? Siapa yang sedari tadi berusaha membangunkanku?

Aku pasti bermimpi! Saat ini aku berada di antara nyata dan tak nyata. Aku berdiri di sini dan melihat tubuh polos—yang ditutup menggunakan handuk—tergolek di lantai kamar mandi. Siapa yang sejak tadi memberi CPR dan berusaha agar aku tetap hidup? Dokter Karl? Mengapa ia bisa sampai di sini? Apakah aku sedang bermimpi?

"Jenna, please, bangun!" Pria itu terlihat panik, cemas, dan entah perasaan apa lagi yang ada dalam hatinya.

Ia mengambil bathrobe yang tergantung dan memakaikan di tubuhku—tubuhku yang lain. Entah apa aku sekarang. Mungkin makhluk yang bergentayangan.

Dokter Karl dengan sigap mengangkat tubuh itu dan setengah berlari membawanya ke luar dimana mobilnya terparkir.

Hey, tunggu aku! Bagaimana caraku ikut ke sana?

***

Dengan sekali tarikan nafas dalam, aku terbangun. Seperti telah berkelana di dunia kematian, mengetahui nyawaku telah kembali adalah sebuah anugerah. Aku mengedar pandangan ke seluruh ruangan. Tempat yang sama selama beberapa waktu terakhir.

Welcome, home, Jenna! Selamat datang di rumah keduamu.

Aku mendesah lemah. Tidak, tubuhku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku sudah tak merasakan sakit lagi, tapi di mana Dokter Karl?

Ceklek!

Yang sejak tadi kucari akhirnya datang juga. Ia, seperti biasa—diikuti oleh seorang perawat cantik, datang menghampiriku. Hey, ekspresi macam apa itu yang tergambar di wajahnya?

"Jenna ... Ehem, Nurse Biels, bisakah kau tinggalkan aku dan Nona Jameson sebentar?" pintanya pada perawat itu.

"Baik, Dok." Perawat itu menyerahkan catatan pada Dokter Karl lalu keluar dari ruanganku, meninggalkan kami berdua.

Pria itu mengambil kursi, meletakkan di sisi ranjangku. Ia duduk di sana, menatapku dengan tatapan tak terbaca.

"Kenapa kau begitu nekat? Huh?"

"Oh, please, Dok ... aku masih lemah dan kau ingin mengajakku bertengkar?" Aku membuang muka menghindari tatapannya.

"Bukan seperti itu, tapi kau tahu kondisimu, mengapa kau malah berendam air dingin, Jenna? Kondisimu tak sama dengan yang lain, jika itu yang ingin kau ketahui."

"Di mana perbedaannya? Katakan padaku." Kali ini aku menoleh padanya dan menatap mata kelabu itu dengan tatapan penuh tantangan. Pria itu membenarkan kacamata lalu berusaha menelan salivanya. Ragu dengan apa yang akan ia sampaikan padaku.

"Katakan saja, Dokter Karl. Aku siap mendengarnya."

Ia melepaskan kacamata yang sedari tadi seolah mengganggu dan mengekang keberaniannya untuk mengatakan sejujurnya tentang kondisiku. Memasukkan benda itu ke dalam saku jasnya. Ia menggeser kursinya lebih dekat, menggenggam tanganku.

"Ini baru dugaan, dan aku butuh persetujuanmu untuk ini."

"Untuk apa?"

"Melakukan BMP*."

Aku mengusap wajah dengan gusar. "Dok, please, gunakan istilah apa pun yang mudah. Otakku sedang tak bisa diajak berpikir saat ini," sergahku. Mungkin ia sendiri menggunakan istilah-istilah tertentu karena merasa statusku sebagai mahasiswa kedokteran, seharusnya mengetahui istilah di bidang kedokteran. Namun tidak untuk saat ini.

Pria itu mendesah lelah.

"Biopsi sumsum, Jenna. Karena aku menduga kau menderita kelainan darah. Aku berharap dugaanku salah, tapi akan lebih baik jika kita mengetahui lebih awal, bukan?!"

Aku mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Dokter tampan itu.

"Kapan kita akan melakukannya? Dan apa yang harus kupersiapkan?"

Ia mengangkat wajah dari kertas di tangannya, menghadap ke arahku. "Besok. Persiapkan saja mental dan kesehatanmu, karena itu yang terpenting."

Dokter Karl kemudian bangkit dan meninggalkanku sendiri yang masih terpekur menatap langit-langit kamar yang kosong. Berusaha mencari jawaban sendiri, apakah dugaan Dokter Karl benar atau sekedar kekhawatiran yang tak akan terwujud.

Semua orang berharap bisa menjalani hidup dengan baik dan berkualitas, tapi jika pada akhirnya harus mendapati kenyataan yang mungkin pahit, maka yang harus dilakukan hanyalah menerima dan menjalani. Begitu pun diriku. Hanya, untuk saat ini aku masih berharap.

***

————

*BMP: Bone Marrow Puncture atau Aspirasi sumsum tulang belakang yang dilakukan apabila pasien mengalami tanda-tanda penyakit kelainan darah (https://www.alodokter.com/aspirasi-sumsum-tulang-ini-yang-harus-anda-ketahui#:~:text=Aspirasi%20sumsum%20tulang%20atau%20bone,satu%20atau%20ketiga%20sel%20darah.)