Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 10 - Preparation

Chapter 10 - Preparation

"Selamat Pagi, Nona Jameson. Bagaimana kondisimu?" Seorang perawat memeriksa denyut nadi dan jantungku. Memastikan suhu tubuhku normal, namun yang terjadi tak sesuai harapan. Belum juga aku menjawab apa yang kurasakan, perawat itu sudah mendahului.

"Suhu tubuhmu cukup tinggi. Ada keluhan yang kau rasakan?"

Aku berusaha menelan salivaku. Tidak ada yang kurasakan selain pening dan lemah. Aku berusaha menggeser kepalaku mencari posisi yang nyaman, tapi semua terasa sebaliknya.

"Kepalaku sakit dan aku merasa lemah."

Ia terlihat mencoret-coret kertas di tangannya, lalu beranjak dari kamar yang tak lama kemudian kembali bersama Dokter Karl.

Pria itu mengulangi apa yang sudah dilakukan perawat sebelumnya, melakukan pemeriksaan.

"Jenna, bagaimana sakit yang kau rasakan? Berdenyut atau seperti bergoyang?" tanya pria itu yang hapir saja tak terdengar olehku karena rasanya seperti mau pingsan.

"Uhm ... entahlah, aku tak tahu perbedaannya. Mungkin keduanya," jawabku lemah.

"Skala 1-10, berapa yang kau rasakan?"

Oh, please! Haruskah aku mengukurnya terlebih dahulu, Dok?

"Sepuluh."

Lalu gelap...

***

Aku terbangun masih di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Memindai seisi ruangan, memastikan memang benar belum ada tanda-tanda pemindahanku oleh para petugas medis. Tentu saja belum. Dari yang terakhir kali kuingat adalah badanku demam, selebihnya tidak.

Keringat membasahi kening dan tubuhku. Aku menempelkan punggung tangan pada kening, sepertinya suhu tubuhku telah kembali normal. Hanya masih terasa nyeri di beberapa bagian persendian, juga memar yang sepertinya baru muncul. Entah, mungkin baru hari ini ataukah aku yang tak menyadarinya.

Tenggorokanku kering. Aku berusaha bangkit dan meraih gelas berisi air di atas nakas dan meneguk hingga tandas. Sudah berapa hari rasanya tak mengisi tubuh dengan cairan mineral. Hanya selang infus yang masih menancap dan ... infus baru yang tergantung di sana. Sudah berapa hari aku di sini?

Aku mencari benda pipih yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman. Di mana benda itu? Seperti sudah berabad lamanya tak memeriksa benda itu. Tak ada seorang pun yang mengetahui aku terjebak di tempat ini. Terjebak karena keadaan.

Aha! Ini dia benda yang sejak tadi kucari. Bersembunyi di bawah tubuhku sendiri, dan sudah dalam keadaan nonaktif. Beberapa orang terdekat pasti berpikir aku menjadi korban penculikan karena beberapa hari menghilang dan tak dapat dihubungi. Terlebih Clara.

Dengan bersusah payah kubuka tiap laci yang ada di nakas. Aku tak mengingat apakah telah menyimpan charger di sana atau mungkin perawat membantuku menyimpannya. Dan ketemu! Menancapkan benda itu pada steker terdekat yang mudah kujangkau, di samping ranjangku, lalu menekan tombol daya pada bagian samping benda pipih itu.

Puluhan chat dan panggilan tak terjawab sudah menanti untuk diperiksa satu per satu. Mataku berbinar dan senyum terkembang saat melihat nama Blake tertera di sana. Ada bberapa pesan suara dan chat menanti.

[Hey, Jenna. Maaf beberapa hari tak menghubungimu. Kinda busy lately.]

Hanya itu? Seriously, Blake?!

Aku kecewa dan malas memeriksa pesan suara lain darinya. Namun rasa penasaran pada akhirnya menang.

[Jenna, apakah kau marah? Tolong jawab panggilan dan pesanku. Aku cemas.]

Pesan tadi membuatku menyunggingkan senyum. Mari kita lihat pesan chat yang dikirimkannya.

[Jenna, aku mulai frustasi. Apakah kau baik-baik saja? Berapa hari ini kau hanya mendiamkanku. Tak ada satu pun pesan yang kau balas. Di mana kau?]

Oke, cukup. Aku bisa mendadak masuk rumah sakit jiwa jika membaca semua pesan darinya. Jantungku rasanya seperti akan meledak karena bahagia. Terlebih wajah yang terasa keram ringan karena tersenyum sejak tadi.

Oh, Jenna ... kau tampak menjijikkan.

Aku terkekeh sendiri. Dan kemudian senyumku memudar saat Dokter Karl masuk. Kali ini ia tidak bersama perawat yang biasa mengikuti di belakangnya.

"How's your feeling today?" tanya pria itu menempelkan stetoskop di dadaku. Aku meletakkan ponsel di samping tubuh kemudian fokus pada pertanyaan Dokter itu.

"Baik ... untuk sementara."

Berikutnya tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya.

"Bagus. Berarti kau siap untuk biopsi. Setelah ini aku akan meminta perawat mempersiapkanmu untuk dibawa ke Westmont General Hospital dan bertemu Dokter John Armando, Dokter Hematologi di sana."

"Apa kau akan pergi bersamaku?" tanyaku. Aku sedikit gugup jika Dokter Karl tak mendampingi. Beberapa hari di sini, mendapat perawatan darinya, membuatku merasa lebih aman bersamanya.

"Tentu saja. Aku pun akan bersiap setelah ini." Ia kemudian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Janji dengan Dokter Armando pukul tiga nanti, kita punya waktu satu jam untuk bersiap. Apakah kau ingin seseorang untuk mendampingimu? Masih ada waktu untuk menghubungi dan memintanya kemari."

Aku berpikir sejenak. Haruskah aku meminta Blake? Setidaknya ada seorang yang bisa memberiku kekuatan dan keberanian menjalani tes nanti. Tidak mungkin Clara. Entah mengapa sejak kemarin aku tak ingin menghubunginya. Bukan karena masalah, entahlah hanya tak ingin saja.

Terlebih orang tuaku. Mereka Raja dan Ratu panik sedunia, yang justru akan membuatku gelisah dan panik nantinya. Sebaiknya jangan.

"Aku akan coba menghubunginya sendiri," jawabku kemudian.

"Bagus. Kalau begitu aku akan megerjakan lainnya kemudian bersiap. Kau juga setelah ini akan dibantu oleh Nurse Biels. Aku permisi dulu."

Dokter Karl sudah meninggalkan ruanganku, membuatku leluasa kembali menggulir layar benda persegi di tangan. Oh, iya! Aku harus menghubungi Blake sekarang.

'Hey, Blake di sini—"

Klik!

Sudahlah, lupakan saja.

***

Aku berada di atas kursi roda, berjalan melewati ruangan-ruangan di dalam gedung besar yang didominasi warna putih ditambah cahaya lampu yang menyilaukan. Dokter Karl sendiri yang mendorong kursi rodaku. tak ada siapa pun menyertai kami, hanya berdua.

Mataku mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan, menoleh ke kanan dan kiri bergantian. Membaca tulisan yang tertera di permukaan daun pintu berwarna putih dengan sebuah kaca berbentuk persegi.

Kami berhenti di depan sebuah meja tinggi bertuliskan Customer Service. Ia mengunci roda kursiku lalu berbicara langsung dengan petugas di sana. Tak berapa lama ia kembali membawa secarik kertas kemudian kembali mendorongku menuju sebuah ruangan. Kembali kami berhenti, kali ini di depan sebuah pintu bertuliskan 'dr.John Armando'. Dokter Karl mengetuk kemudian langsung mendorongku masuk.

Di dal ruangan berukuran 4x6, ada dua orang perawat yang mendampingi seorang dokter dengan perawakan tinggi dan kulit kecoklatan, jika kuperhatikan sepertinya seusia Dokter Karl. Dua pria dengan usia tak berbeda jauh itu kemudian berpelukan, berbincang sedikit. Lalu tatapan Dokter Armando beralih padaku.

"Ini Nona Jenna Jameson, kemarin sudah kuceritakan padamu. Aku butuh bantuanmu untuk ini." Pria itu menyerahkan sebuah map pada pria lain di hadapannya. Dokter Armando membaca tulisan yang tertera pada kertas itu dengan ekspresi serius. Entah apa yang tertulis di sana.

Ia kemudian duduk di kursinya. Dokter Karl menggeser kursi rodaku menghadap Dokter Armando yang berada di seberang meja.

"Kita bisa lakukan tes hari ini. Apakah kau siap, Jenna?"

Aku mengangguk. Ia kemudian meminta salah seorang perawat untuk mengatur segala yang kubutuhkan termasuk kamar untuk menginap. Sepertinya aku harus terbiasa terbangun di ranjang yang berbeda, meski aku lebih menyukai ranjang hotel.

"Kami akan mengatur dan memindahkanmu ke ruang perawatan, kemudian setelah menjalani tes, hasil akan bisa kita dapatkan antara dua sampai tiga hari ke depan."

"Baik, aku mengerti, Dok. Sepertinya aku harus membiasakan diri dan menikmati staycation-ku di sini," kelakarku yang mengundang tawa orang yang ada dalam ruang Dokter Armando. Kecuali Dokter Karl yang seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biarlah, yang penting ia sudah melakukan tugasnya dengan baik.

Sementara aku? Tentu aku pun telah melakukan tugas sebagai pasien. Aku telah berusaha untuk bersikap kooperatif dan tidak melawan dengan apa pun suspect Dokter Karl mengenai penyakitku. Anggap saja ini langkah awal untuk sembuh, selain berharap tak akan ada masalah yang serius.

***