Aku sudah bersiap dan mengganti pakaian dengan yang baru. Beberapa hari dengan baju pasien, membuat Dokter Karl prihatin. Jangankan dirinya, aku pun merasa prihatin pada kondisiku sendiri. Berharap kedatangan Clara bisa memberiku kekuatan,justru sebaliknya. Ia pergi dan hingga kini tak menghubungiku, apalagi kembali.
Akhirnya segala kebutuhanku menjadi beban Dokter Karl. Ia memutuskan membeli beberapa pakaian yang nyaman untukku. Tentu saja aku tidak ingin menerima begitu saja. Kuminta padanya untuk memasukkan dalam tagihanku nanti. Kartu debitku masih terisi setiap bulannya dengan lancar. Kalau pun nanti ayah bertanya kemana kuhabiskan uang-uang itu, aku punya banyak jawaban. Yang pasti tak akan kukatakan padanya bahwa anak semata wayangnya ini menderita penyakit yang konyol.
"Kau sudah siap?" tanya Dokter Karl yang muncul di ambang pintu dengan segelas kopi dan jus di tangan lainnya. Ia menyodorkan jus padaku. "Itu jus buah bit, minumlah, agar tubuhmu lebih segar."
Tak banyak bertanya segera kutenggak isi dalam gelas itu hingga tak bersisa. "Terima kasih."
Ia kemudian duduk di sisi ranjang, tepat di sampingku.
"Terima kasih untuk semua perhatianmu beberapa hari ini. Kau sampai mengabaikan kehidupanmu sendiri," ucapku sungguh-sungguh. Ia tertawa masam.
"Aku harus bilang apa? Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini untukmu."
Kalimat yang baru saja ia ucapkan terus terang seperti menohokku yang sudah terlanjur terharu atas sikapnya. Namun, aku memilih untuk tidak menanggapi, berharap ia punya kalimat lain untuk memperjelas ucapan sebelumnya.
Dan memang, ia lalu melanjutkan, "tapi entah mengapa aku tak bisa meninggalkanmu begitu saja. Ada sesuatu yang membuatku seperti menancap di sekitarmu beberapa hari ini."
Kali ini aku tak bisa berkata-kata. Berusaha menerjemahkan sendiri apa maksud ucapannya tapi takut jika aku salah. Bahkan menatap ke arahnya pun aku seperti tak punya nyali.
"Padahal aku tahu kau punya sahabat dan orang-orang yang bisa menemanimu,memberi kekuatan untukmu, tapi nyatanya aku tidak mampu pergi." Ia mendesah, kemudian bangkit.
"Ayo! Sudah saatnya kita ke ruangan Dokter Armando. Jangan terlalu siang, nanti kita tidak kebagian antrian. Ia sangat sibuk hari ini." Ia membantuku duduk di atas kursi roda dan mendorongnya perlahan keluar dari ruangan.
***
Dokter Armando memeriksaku seperti biasanya. Kemudian menuliskan resep, karena hari ini ia mengijinkanku pulang. Hanya, Dokter Karl bersikeras menahanku di klinik untuk menjalani perawatan lanjutan.
"Tak ada seorang pun yang bisa merawatmu, jadi sebaiknya kau tetap di klinik hingga kondisimu benar-benar membaik. Aku memaksa."
Aku hanya mengangkat bahu. Jika ia sudah mengatakan 'aku memaksa' lantas apa yang bisa kukatakan? Apa pun alasanku pada akhirnya akan menuju pada kata setuju. Mau tak mau. Lagipula ia benar, aku tak bisa mengandalkan siapa pun dalam kondisi seperti ini.
"Itu artinya setelah ini aku akan bangkrut," kelakarku sembari tertawa kecut. Ia mengerutkan keningnya tak paham dengan apa yang kuucapkan.
"Jika sehari-hari aku tinggal di klinikmu, berapa yang harus kubayar untuk itu, Dok? Aku bahkan belum bekerja, semua uang yang kumiliki adalah jerih payah orang tuaku."
"Masalah uang, pikirkan nanti saja. Yang terpenting adalah kondisimu. Aku juga tahu kau bukan wanita yang mau menerima sesuatu dengan gratis."
Ia membuka pintu mobil kemudian membantuku naik. Barulah ia berlari kecil menuju pintu kemudi.ia membantuku memakai sabuk pengaman, lalu melajukan tunggangannya perlahan menerobos jalanan yang padat akan kendaraan lain yang berlalu lalang.
"Dok," panggilku. Ia menjawab dengan deheman. "Sekali lagi, terima kasih."
Ia menoleh padaku, menatap dengan mata kelabunya yang teduh kemudian tersenyum sembari mengangguk. Aku membalas senyumannya dan kemudian melemparkan pandanganku ke depan.
***
Baru saja perawat membantuku berbaring di ranjang klinik, ada sebuah panggilan suara dari Blake. Aku bahkan tak merasa terlalu bersemangat untuk menerima panggilan darinya. Tidak, dibanding kemarin atau hari-hari sebelumnya. Hilangnya dia selama beberapa hari membuatku banyak berpikir. Selama ini hanya Dokter Karl yang menemaniku selama masa sulit, sementara Blake, bahkan tak menjawab saat kuhubungi.
Aku mengabaikan telepon itu. Terlalu lemah untuk menanggapi apa pun, entah itu hal tidak menyenangkan atau pun sebaliknya. Aku lebih memilih untuk memejamkan mata saat ini. Tubuhku terasa agak lelah, meski hanya menempuh perjalanan beberapa menit.
Ceklek!
Belum sempat memejamkan mata, Dokter Karl masuk ke ruanganku membawakan menu makan siang. Kenapa dia jadi semanis ini? Lagipula itu bukan tanggung jawabnya untuk membawakan segala kebutuhanku karena ia punya beberapa perawat untuk mrlakukannya.
"Aku membawakanmu makan siang."
Aku tahu, Dok. Sejak tadi sudah terlihat apa yang kau bawa itu. Kenapa kau jadi secanggung ini?
"Terima kasih. Kau tak perlu melakukannya sendiri, 'kan ada perawat yang bisa membawakan semua itu untukku," jawabku yang membuatnya salah tingkah. Terlihat dari caranya membenarkan kacamata dan menggaruk tengkuknya—yang kuyakin tidak gatal.
"Uhm, hanya ingin sekalian memeriksa kondisimu," kilahnya. Aku tersenyum melihat perubahan mimik wajah pria itu.
"Aku baik-baik saja, tubuhku sudah lebih baik dan siap untuk menenggak obat-obatan yang diresepkan oleh Dokter Armando," jawabku. Ia mengangguk mengerti. "Yang tak baik adalah hatiku."
Mendengar penuturanku, ia mengambil kursi dan duduk di samping ranjang, siap menyimak andai aku ingin bercerita padanya. Aku mendesah, antara lega dan melepas beban. Lega karena sudah keluar dari Rumah Sakit itu yang berarti juga sudah keluar dari masa kritis, tinggal melanjutkan tritmen dan pengobatan lanjutan. Terlebih, aku berada di tangan yang tepat, jadi tak ada yang perlu dicemaskan.
Namun di sisi lain, ada beban yang tak mampu kupahami. Tentang banyak hal. Semua bercampur seperti benang yang kusut.
"Kau bisa menceritakan padaku, mungkin akan membuatmu lega."
"Aku tahu. Saat ini hanya kau yang ada di sini dan bersedia mendengarkan." Aku tersenyum. "Aku hanya merasa gelisah. Entah mengapa."
"Apakah kau takut karena penyakitmu?"
"Ya, pada awalnya. Namun, kemudian aku sadar i'm on a good hand. Hanya, entahlah."
Ia mengangguk mengerti.
"Dokter Karl,"
"Panggil aku Ryan saja jika kita hanya berdua." Ia menatapku penuh arti. Entah apa arti tatapan itu, tapi aku setuju dengan permintaannya.
"Okay, Ryan. Terdengar lebih baik." Gelakku yang disusul olehnya dengan gelak yang sama.
"... apakah kau pernah merasa jatuh cinta pada seseorang, tapi tak mendapat hal yang sama? Hingga akhirnya kau lelah untuk memberikan cinta dengan kadar yang sama seperti sebelumnya, lalu lebih memilih untuk menyimpan saja rasa itu yang mungkin bisa kau berikan pada orang yang tepat," lanjutku.
Ia mendengkus, lebih tepatnya tertawa pahit.
"Saat ini aku sedang merasakan itu. Namun mencari orang yang tepat untuk menerima perasaan itu,entahlah ...," jawabnya. Ia menoleh padaku.
"Kau, masih single dan punya banyak waktu untuk memilih. Pilihlah pria yang tepat, yang bisa memberimu kebahagiaan sebanyak yang kau butuhkan, memberimu cinta lebih dari yang kau beri. Penyesalan tak pernah datang di awal."
Kali ini giliranku menatap iris kelabunya. Ada sesuatu di sana, yang tak pernah kulihat padanya beberapa waktu sebelumnya. Apakah Dokter Karl sedang bicara tentang dirinya sendiri? Siapa yang ia maksud? Apakah ia sedang terluka?
Ia bergeming, menunduk seolah tak mengijinkanku menerobos ke dalam hati melalui matanya. Aku ingin, sangat ingin membaca apa yang kini ia rasakan. Ingin mengenali sakit yang sedang ia simpan. Namun, dengan sikapnya saat ini, sepertinya ia tak mungkin.
Sudah jelas ia tak ingin siapa pun membacanya, atau bahkan mengetahui apa yang ia rasakan. Namun, aku sangat ingin tahu dan akan mencari tahu tentangnya, cepat atau lambat.
***