Kami tiba di rumah setelah melalui perjalanan yang terasa panjang karena ia memgemudikan dengan hati-hati. Hujan yang cukup deras membuat jarak pandang lebih pendek. Kuminta Dokter Karl untuk memarkir mobil dan mampir barang sebentar sekedar minum teh hangat atau kopi.
Pada mulanya ia menolak, entah apa yang ada dalam pikirannya, tapi setelah melihat tak kunjung reda, ia setuju untuk masuk. Menanti hingga berhenti sekaligus memastikan aku baik-baik saja setelah terguyur derasnya air hujan.
Aku mempersilahkan pria itu duduk. Setelah meletakkan barang-barang, kuambil sehelai handuk dan menyodorkan padanya.
"Maaf, aku tidak punya pakaian yang pas untukmu. Kau bisa melepaskan pakaianmu dan membiarkannya hingga kering," ucapku sembari menyerahkan sebuah gantungan baju. Ia mengangguk dan menerima benda yang kuberikan padanya.
Aku menuju ke dapur, berencana membuat secangkir teh hangat untuknya. Namun, ia mencegah dan menyuruhku mengganti pakaian terlebih dahulu.
"Itu nanti saja. Gantilah pakaianmu dulu agar tidak kedinginan," perintahnya, menghindari menatap ke arahku yang masih dengan pakaian tembus pandang tadi. Melihatnya bertingkah seperti itu justru membuatku tersenyum.
Ia kemudian kembali menggosok rambut yang basah. Dan demi menghindari omelannya, aku bergegas menuju kamar lalu mengganti pakaian dengan kaos oblong berukuran besar dan celana pendek. Mengibas-kibaskan rambut yang sudah agak kering.
Saat keluar dari kamar, secangkir kopi menguarkan aroma yang lezat. Dokter Karl menikmati secangkir minuman di tangannya, sementara lainnya menggulir layar ponsel miliknya. Dada bidang dan perut—yang terpahat sempurna—masih polos. Melihatnya seperti itu membuat jantungku berdetak tak karuan.
Jangan mulai, Jenna. Jaga sikapmu. Jangan berpikiran kotor.
Aku mendekat padanya yang berada di seberang meja bar—bersandar pada dinding sembari menyeruput kopinya. Ia lalu menyadari kehadiranku.
"Oh, hey, aku sudah membuatkan susu hangat untukmu." Ia menunjuk ke meja dengan gerakan kepalanya. Aku memutar bola mata ketika mengetahui hanya mendapat segelas susu.
"Kupikir secangkir kopi atau teh untukku, ternyata hanya susu," sungutku. Ia tersenyum, kemudian meletakkan cangkirnya. Memutari meja, mendekat padaku.
"Kau pasti tahu, teh dan kopi mengandung polifenol yang menghambat penyerapan zat besi. Untuk kondisi sepertimu, sebaiknya menghindari minuman yang mengandung kafein, polifenol—"
" Dan tannin, aku tahu." Aku menatap ke dalam mata kelabunya yang dibingkai sepasang alis lebat.
Aku meraih gelas di atas meja kemudian meneguknya hingga tandas. "Terima kasih."
Ia mengangguk, kemudian melepaskan kacamatanya yang sedikit kotor. Mungkin sisa embun saat kehujanan tadi. Memandang tampilan ddi hadapanku-dada bidang yang terekspos, membuat pikiran nakal mengajakku bermain-main. Oke, cukup! Aku tak tahan lagi. Sudah tak mampu mengekang diriku sendiri untuk tidak melakukan ini.
Aku mendekat dan dengan sekali gerakan yang tidak disadarinya, bibirku bertemu bibirnya. Aku bisa melihat matanya membulat karena terkejut. Namun itu tidak membuatku menjauh atau menghentikan apa yang telah kulakukan. Jenna pantang mundur jika sudah melangkah maju.
Kacamata yang semula di tangannya kini sudah terjatuh ke lantai.
Tak perlu menunggu lama, Dokter Karl meraih tengkukku, membuatku semakin dalam memagutnya. Tidak, tidak. Kali ini ia yang memagutku. Tak ada lagi batasan antara kami. Tak ada lagi dosen dan mahasiswa, maupun dokter dan pasien. Kami hanya dua manusia yang sedang dimabuk cinta. Benarkah begitu? Entahlah. Mungkin saja.
Apakah benar aku memiliki perasaan terhadapnya? Pria asing yang bahkan aku tak tahu seluk-beluk kehidupannya. Dan apakah ini pertanda ia memiliki perasaan yang sama? Setelah apa yang ia lakukan padaku—seolah aku bagian terpenting dalam hidupnya dan ia takut kehilanganku, rasanya aneh jika ia melakukan itu tanpa alasan.
Pria itu mengangkat dan mendudukkanku di atas meja bar tanpa melepaskan ciumannya. Lalu tetap melanjutkan yang kami lakukan sejak tadi tanpa terganggu apa pun.
Kubiarkan tangannya menyusup ke sebalik kain yang membungkus tubuhku, melakukan permainan yang lebih intens. Menunjukkan betapa ia mendambakanku, begitu pun sebaliknya. Aku menginginkannya. Bahkan sejak beberapa hari yang lalu.
Tak ada lagi jarak yang mampu terhitung saat ini. Semua kabur oleh pergumulan kami.
Pertama kalinya, aku dan dirinya saling memberi dan menerima, seperti yang seharusnya terjadi. Jika bukan karena cinta, anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih untuk segala yang sudah ia lakukan padaku.
Malam ini ditutup dengan pelepasan yang indah. Luar biasa dan indah. Dan ... kami mengulanginya lagi dan lagi. Benar-benar seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Mungkin memang seperti itu.
Ia menggendong dan membaringkanku di ranjang, tak lama kemudian menyusulku masuk ke dalam selimut, memelukku erat.
Aku dapat merasakan tubuhnya yang hangat merengkuhku di dalamnya. Kurasa aku tak membutuhkan selimut, pelukannya saja sudah lebih dari cukup untuk menghangatkan malam ini. Namun, aku tidak terlelap, aku bahkan terjaga hingga pagi tiba, menatapnya yang mulai terpejam. Terus menatapnya seolah tak kan ada hari esok bagiku.
***
Dalam keadaan sunyi dan sendiri seperti ini, pikiranku melayang pada Blake. Entah apa yang ada dalam hati pria itu. Apakah ia mencintaiku? Atau hanya rasaku saja? Jika memang hanya aku, mengapa ia bersikap baik dan bahkan menghabiskan malam bersamaku? Apa yang ia inginkan dariku?
Lalu sejurus kemudian, pikiran itu berpindah pada Ryan, pria yang kini terlelap sembari mendekapku erat. Seakan lupa pada batasan yang sejak awal memberi sekat pada kami berdua. Aku bisa merasakannya, bahwa ia juga memiliki rasa yang sama. Namun,aku tak berani memastikan itu. Meski pada akhirnya kami bercinta, tapi tetap tak membuatku yakin pada apa yang ia rasakan padaku.
Mungkin, sekali lagi aku harus bersiap dengan konsekuensi yang harus kuhadapi. 'Tak akan melakukannya lebih dari sekali dengan orang yang sama'. Namun, bagaimana jika ternyata ia memiliki perasaan terhadapku? Mampukah aku menolaknya?
***
Pria di sampingku akhirnya membuka matanya. Secercah sinar yang menyeruak melalui celah tirai kamarku membuatnya mengerjap. Dan aku adalah orang pertama yang dilihatnya. Mengapa aku merasa begitu bahagia hanya karena hal remeh-temeh seperti itu? Aku tak mampu menahan keinginan untuk tersenyum. Jantungku bahkan seolah ikut melompat girang.
"Selamat pagi," sapaku. Ia mengecup keningku kemudian menjawab sapaanku.
Oh, Tuhan! Tolong, jinakkan detak jantungku yang mulai menggila ini.
"Selamat pagi. Apakah tidurmu nyenyak?" tanyanya sembari mengulas senyum. Aku mengangguk. Tentu saja tak 'kan kukatakan padanya bahwa aku terjaga dan memandanginya semalaman. Dan ya, sekarang aku merasa mengantuk.
Ia kemudian mengecup bibirku sebelum bangkit dan beranjak dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi dan tak lama terdengar gemericik air.
Mendengar suara air, timbul pikiran nakal di kepalaku. Aku beranjak dari ranjang dan menyusulnya ke sana. Saat tiba, ia tidak terlihat terkejut mendapatiku sudah berdiri di hadapannya.
Oke, bagian ini tak akan kukatakan secara mendetail. Semua akan tahu apa yang dilakukan dua orang berlawanan jenis—di kamar mandi—tanpa perlu diceritakan.
Kami menyudahi permainan hari ini dengan perasaan yang bahagia. Kali ini aku mulai yakin, ia memiliki rasa yang sama. Dan aku tak akan melepaskannya begitu saja. Aku bertekad pada diriku sendiri. Aku akan memperjuangkan menjadi milikku dan mempertahankannya. Persetan dengan Blake.
***