Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 22 - Vicissitude

Chapter 22 - Vicissitude

Aku berada di dalam mobil hitam yang dipacu dengan perlahan oleh pria tampan di sampingku. Pria yang ... bagaimana aku harus menyebutnya? Bahkan dengan segala kata yang ada tak mampu menggambarkan betapa istimewanya pria ini bagiku. Ia spesial. Istimewa. Segalanya.

Ia sesekali menoleh padaku yang masih menatap lurus pada jalanan di hadapanku. Sembari mengulas senyum tipis, tangannya-yang tak memegang kemudi, meraih jemariku kemudian meremasnya lembut. Aku menyukai bagian ini. Bentuk pelampiasan cinta selain dengan bercinta.

Ayolah, aku serius!

Bercinta pun tak selamanya membuktikan kau mencintai seseorang. Bisa saja hanya untuk melampiaskan hasrat yang tersimpan atau mengendap lama. Seperti yang dilakukan Blake padaku.

Aku tak akan bisa dengan mudah memaafkannya. Ia bahkan tidak mengucapkan apa pun isi hatinya. Tak ada kata cinta darinya. Jangan berharap banyak jika mengirim pesan saja tak pernah.

Bagaimana mungkin kau bisa mengakui dirimu mencintai seseorang jika tak pernah menjalin komunikasi dengannya?

Hanya akan jadi omong kosong.

Tak berapa lama kami tiba di sebuah tempat yang aku tak dapat menjelaskan bagaimana indahnya. Mungkin karena jatuh cinta pikiranku jadi sedikit bermasalah. Segala hal terlihat indah.

Bangunan dengan desain modern yang memukau. Aku dapat melihat keserasian dan keselarasan seisi rumah ini dengan kepribadian Ryan.

Ia mempersilahkan aku masuk dan memintaku menunggu sementara dirinya menuju sebuah ruangan yang kuasumsikan sebagai kamarnya.

Aku menanti sembari melakukan house tour tanpa pemandu. Seperti yang kulakukan pada Ryan, berusaha mengenalinya tanpa perlu bantuan darinya.

Aku berjalan dengan jemari menelusuri dinding dan setiap bagian bangunan ini. Di beberapa spot terdapat pilar berbentuk balok dengan aksen silver yang memantulkan bayangan selayaknya cermin.

Lama aku mematung di sana, menelisik penampilan yang berbeda jauh dibanding sebelumnya. Aku hanya mampu mendesah lelah.

Entah sudah berapa lama tidak memandang pantulan gambarku sendiri di depan cermin. ada rasa takut yang mengganggu, membayangkan sosok yang terpantul di sana adalah diriku yang berbeda.

Tubuh tinggi ramping yang cukup berisi, lekukan padat yang indah, juga warna kulit tan yang segar dengan rona merah di pipi tak 'kan lagi bisa kutemukan pada diriku.

Di hadapanku sekarang adalah gadis kurus dengan cekungan di pipi juga beberapa bagian. Bahkan dada dan bokongku sudah tak lagi seperti dulu.

Aku meremas jemariku manatap tampilan yang selama ini kuhindari, dan kini tampak jelas di hadapanku. Pantuan bayangan yang lain dari yang selama ini kukenal. Aku sungguh tak tahu siapa sosok itu. Itu bukan diriku.

Ryan muncul tiba-tiba merangkulku dari belakang kemudian mengecup ceruk leherku. Menimbulkan gelenyar aneh, mendambakannya saat ini juga. Namun, sebisa mungkin kutahan.

Banyak hal yang mengganggu pikiranku. Sedikit berbincang dengannya adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini. Bukan lainnya.

"Sepertinya ada yang sudah berkeliling tanpa butuh pemandu," godanya sembari tersenyum.

Pantulan di pilar itu kini menampakkan bayangan kami berdua. ia yang tampan dan segar bersanding dengan gadis yang lebih mirip seperti vampire. Atau bahkan zombie. Aku menunduk, takut menatap lebih lama. Merasa rendah diri membandingkan diriku dan dirinya.

"Apa ada masalah?" tanya Ryan memutar tubuhku menghadapnya. Aku masih menunduk, lalu menggeleng.

"Tidak apa-apa, Jenna, katakan padaku."

Pria itu manatap dalam mataku, meyakinkan bahwa aku bisa mengandalkannya dalam kondisi apa pun. Ia tak perlu mengatakannya, karena aku bisa membaca itu dari manik mata yang kini memandang wajahku tanpa berkedip, bahkan bergidik.

Aku ragu mengatakan hal konyol semacam ini. Entah apakah ia akan memberi reaksi yang kuharapkan atau justru sebaliknya.

"Aku seperti tidak mengenali diriku sendiri, Ryan. Kapan aku akan kembali seperti sedia kala?" tanyaku.

Aku kembali berbalik menatap pantulan bayanganku di pilar silver itu. Ryan memandang ke arah yang sama denganku dengan raut wajah yang tak terbaca olehku.

"Memangnya kenapa dengan kau yang sekarang? Kau masih sama. Cantik. Bagiku begitu. Persetan apa kata orang," ucapnya sembari membungkusku dengan lengan kokohnya, mengecup pucuk kepalaku. "Kau akan baik-baik saja, Jenna."

"Tapi bukan baik-baik saja yang aku inginkan. Aku ingin kembali seperti sedia kala. Aku ingin diriku yang dulu!" rengekku. Entah mengapa aku tak mampu menahan luapan emosi yang seakan mengumpul di dadaku.

"Aku tidak ingin HANYA baik-baik saja, Ryan. Bukan itu," ulangku tergugu. Pria itu hanya mengangguk entah mengerti maksudku atau hanya karena tidak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menenangkan gejolak emosiku.

Ia mengalah untuk perdebatan tak berujung. Ia memahami keinginanku, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya menarikku kembali dalam rengkuhannya dan membiarkanku mendapatkan ketenanganku kembali. Nyaman dalam dekapannya.

***

Aku masih terjaga sejak semalam, setelah menghabiskan malam panas dengan Ryan. Sekali lagi. Kini hanya berbaring tanpa terpejam, semalaman memandang wajah tampan dengan rahang tegas dan bulu halus menghiasinya.

Tanganku mengelus pipinya, teringat bagaimana rengekanku padanya semalam. Berharap mendapatkan kembali diriku yang dulu. Wajar jika ia hanya bergeming.

Bahkan dokter Armando pun tak pernah mengatakan aku akan kembali seperti semula. Ia hanya bilang, kondisiku bisa saja lebih baik atau bahkan memburuk. Jika lebih baik saja tak mampu mengembalikanku seperti dulu, apalaggi memburuk.

Sebenarnya hal ini tidak terlalu buruk, mendapat kesempatan hidup lebih lama sudah merupakan hal yang luar biasa, terlebih dengan kehadiran Ryan. Rasanya tak ingin menukarnya dengan apa pun. Namun, tetap saja ....

Berharap ini hanya mimpi. Namun, jika ini mimpi, maka Ryan pun hanya akan menjadi kenangan yang tak nyata. Hanya sebuah angan.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Tak menyangka semua akan jadi seperti ini. Sebelumnya aku gadis yang sehat, postur tubuh jenjang dan sedikit berisi bahkan tojolan sempurna di beberapa bagian tubuh, membuatku terlihat seksi meski tak pernah mengenakan pakaian yang anggun.

Hanya jeans favorit dan sweater atau kemeja. Jika menyesuaikan kondisi bisa saja mengenakan blus atau kemeja. Dan itu tetap membuatku tampak ... cantik.

Lalu kini, baju apapun yang kukenakan telihat seakan menelan tubuhku. Membuatku terlihat tidak seindah dulu. Jelas aku tidak baik-baik saja saat ini.

Aku bangkit dari ranjang. Memunguti pakaian yang berserakan, memakainya sembarangan dan memutuskan untuk pulang jika saja lengan kokoh itu tidak menarikku kembali ke ranjang.

"Kau tidak boleh pergi." Aku tertegun mendengar suara bariton itu berbisik lirih di telingaku. Darahku berdesir, mengirimkan panas hingga ke wajahku. Aku yakin pipiku sudah memerah kini.

Apakah seperti ini yang namanya cinta? Aku sepertinya pernah merasakan perasaan semacam ini. Dulu sekali saat bersama Blake. Namun, kini tidak lagi.

"Jika aku tidak pergi sekarang, tidak ada yang menjamin kita bisa berhenti, Ryan. Aku harus kuliah dan kau harus bekerja." Aku berbalik kemudian mengecup bibirnya lantas bangkit, meraih tas selempang milikku kemudian bergegas pergi sebelum pria itu menahanku lagi.

***