Ryan melajukan mobil ke arah berbeda. Bukan ke arah rumahku, melainkan rumahnya. Aku bertanya padanya sejak tadi dan hanya dijawab dengan senyuman. Tak ada jawaban yang benar-benar memuaskan keingintahuanku.
Tak berapa lama, seperti dugaanku, mobil berhenti di depan bangunan yang sangat kukenali. Ryan membuka pintu pagar lalu kembali melajukan tunggangannya memasuki pekarangan rumah. Tak ingin menunggu ia membuka pintu, sementara aku memilih lebih dulu keluar dari mobil. Ada sedikit rasa kesal di hati saat sejak tadi ia mendiamkanku.
Apa sebenarnya kesalahan yang telah kuperbuat?
Aku melangkah masuk dan menghempaskan tubuh di atas sofa, membiarkan dirinya sibuk dengan apa pun. Sementara aku pun berkutat dengan duniaku sendiri, tak ingin merusak mood-ku dengan sikap dinginnya hari ini.
"Kau mandilah dulu lalu istirahat," ucapnya, sembari meneguk segelas air mineral dingin. Aku tidak merespon perkataannya, sama seperti yang telah ia lakukan padaku. Aku bangkit dan hendak pergi, tetapi dengan cepat tangannya menarik lenganku. Menahan kepergianku.
"Aku mau pulang saja," ucapku, malas. Untuk apa aku berada di sini jika hanya diabaikan seperti ini.
"Kau ini kenapa? Duduk dan beristirahatlah." Ia memberi isyarat padaku untuk kembali duduk dengan nyaman. Namun, aku berbalik dan hendak melangkah ketika sekali lagi ia menahanku. Kali ini sedikit lebih kasar.
"Tidak bisakah kau bertahan di sini seperti yang kuminta?!" bentaknya.
Aku terhenyak mendengar apa yang baru saja ia katakan. Bukan, bukan karena perkataannya, melainkan intonasi yang ia gunakan. Ia membentakku? Sejak kapan ia punya hak untuk memperlakukanku seperti itu?
Lalu, melihat kemarahannya kali ini, jujur saja aku merasa takut. Bukan karena takut jikalau ia menyakitiku, melainkan takut ia menyakiti dirinya sendiri. Karena, yang ia bicarakan dengan dokter Armando sepertinya masalah yang sangat rumit.
"M-maafkan aku, Jenna. Aku sangat kalut hari ini," ucapnya terbata kemudian melepaskan lengan yang sejak tadi dicekalnya.
Aku mundur beberapa langkah, terhenti karena pilar yang berada di balik punggung menghalangi langkahku.
Sorot mata pria itu berubah menjadi seteduh biasanya, sorot mata Ryan yang kukenal.
"Kumohon tinggallah di sini, Jenna." ia mendekat dan tanpa menunggu persetujuanku, ia memagut bibirku.
Ia mengunciku dengan lengannya yang bersandar pada pilar, tak membiarkanku melarikan diri darinya saat ini.
Tenang saja, Ryan, aku tak akan melarikan diri darimu.
Aku membalas pagutannya, membiarkannya bermain-main sebentar kemudian mengangkat tubuhku dan membawa ke kamar miliknya. Merebahkanku di sana tanpa melepaskan ciumannya padaku. Dan ... kau tahu selanjutnya.
***
kali ini aku tidak terjaga sama sekali setelah permainan semalam. Aku bahkan tertidur sangat lelap seperti seorang bayi. Kulihat justru Ryan yang kini terjaga hanya memandangiku tanpa melakukan apapun.
"Daripada kau memandangiku seperti itu, lebih baik kita lakukan lagi seperti semalam, bagaimana?" godaku, membuatnya terkekeh lalu menutup wajahnya dengan bantal.
Ia kemudian menghempaskan benda di tangannya, dan bergerak merubah posisinya saat ini menjadi berada di atasku. Mengecup bibirku sejenak.
"Aku ingin melakukannya. You know i'll never feel enough of you. Namun, banyak hal yang harus kulakukan hari ini. Tentunya setelah mengantarmu ke kampus."
Aku mengangguk, membelai pipinya sebentar. Melihatnya sedekat ini membuatku teringat pada kejadian kemarin. Apa yang kudengar dari balik pintu ruangan dokter Armado membuatku merasa penasaran.
"Uhm ... Ryan, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku. Pria itu mengangguk, menatap ke dalam mataku menanti apa yang ingin kutanyakan padanya.
"Katakanlah," ucapnya, kemudian.
"Apa yang kau bicarakan dengan dokter Armando kemarin? Aku tidak mendengarnya terlalu jelas, tetapi kelihatannya itu masalah yang cukup serius."
Pria itu mendesah kemudian menyugar rambutnya. Ia meraih jemariku dan didekatkan ke dada polosnya. Hangat.
"Bukan aku tak ingin mengatakan padamu, Jenna. Aku hanya takut. Takut jika nanti kau mengetahuinya, lalu kau akan meninggalkanku."
Aku tertegun mendengar apa yang baru saja ia katakan. Sepertinya ia sudah terjerat dalam perangkap cinta, sama sepertiku. Namun, mengapa aku tidak bahagia ketika mendengar kalimat yang baru saja ia ucapkan?
"Aku tidak bisa memahaminya, Ryan. Apa sebenarnya yang kau maksudkan? Apakah sebesar itu masalah yang sedang kau alami?" tanyaku, masih belum puas dengan jawaban darinya.
Pria itu mengangguk. "Kau harus berjanji padaku, jika suatu saat kau mengetahui kenyataan ini, kumohon tetaplah disisiku." Ia mengecup jemariku lalu meletakkan di dadanya lagi sementara aku masih dengan pikiran yang berkecamuk tentang segala hal.
Termasuk hal-hal yang disembunyikan olehnya.
***
Aku berdiri di balik meja, membuat adonan waffle sesuai dengan apa yang aku lihat dalam video memasak. Kemeja Ryan masih membungkus tubuhku yang kini mulai menyusut.
Sedang asik melanjutkan kesibukanku saat ini, aku dikejutkan oleh suara yang berasal dari balik punggungku.
Aku berbalik dan menemukan seorang wanita dengan dandanan anggun dan berusia kurang lebih sama seperti Ryan. Ia menatapku dengan tatapan horor seolah siap menerkamku.
Aku membalas tatapan wanita itu canggung. Ia mendekat, sepertinya agar dapat melihatku lebih jelas. Atau bisa saja untuk tujuan lain.
"Siapa kau? Dan ... sedang apa kau berada di rumahku?" tanya wanita itu. Aku tergagap, tak mengenali siapa dia. Namun, tak berapa lama kehadiran Ryan membuatku paham akan situasi saat ini.
"Hellen?!" ucap Ryan, seolah tak percaya ada seorang wanita lain di dalam rumah ini.
Wanita itu meoleh pada Ryan, menatapnya nyalang. Ada sedikit embun di pelupuk matanya.
"Ryan, apa yang wanita ini lakukan di rumah kita?"
Rumah kita? Apa maksud semua ini?
Aku menoleh ke arah wanita itu, kemudian Ryan secara bergantian. tak ada satu pun jawaban yang mereka ungkapkan padaku.
"Dan ... mengapa ia mengenakan pakaianmu? Apa yang sudah kalian lakukan selama aku tidak berada di rumah?" Kali ini suara wanita itu terdengar penuh emosi.
Aku tak tahu harus menjawab pertanyaannya ataukah hanya diam seperti yang kulakukan sekarang. Aku sungguh ingin bertanya pada mereka atau siapa pun yang bisa memberiku jawaban.
"Hellen, aku bisa jelaskan ini." Ryan perlahan mendekat pada wanita yang kini mengurut keningnya sembari menatapku.
Ia meraih jemari wanita itu. Tepat di depan mataku. Apakah ia tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat ini? Siapa pun wanita itu, apa yang ia lakukan kini jelas tak dapat kuterima begitu saja.
"Apa lagi yang ingin kau jelaskan, Ryan? apakah yang kulihat tidak cukup jelas? Lalu seperti apa yang jelas menurutmu? Apakah denggan melihatmu bercinta dengannya secara langsung? JAWAB AKU, RYAN!"
Pekikan wanita itu membuatku terkejut dan bingung. Dan Ryan, mengapa ia sama sekali tidak mengatakan apa pun? Mengapa ia hanya diam dan tunduk pada wanita ini? Apakah wanita ini ...?
Aku tak ingin menunggu terlalu lama. Aku beranjak dari tempat itu dan hendak melangkah keluar dari sana. Ryan ... ia sama sekali tidak mengejarku. Sungguh aku berharap ia melakukan itu, tapi nyatanya tidak sama sekali. Ia lebih memilih wanita itu. Siapa wanita itu sebenarnya?
***