Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 20 - Loser Version

Chapter 20 - Loser Version

Apa yang bisa kuperbuat untuk memperbaiki kekacauan ini? Hubungan dengan Clara yang renggang, kisah cinta dengan Blake yang tidak menemukan titik terang melainkan justru semakin tak tentu arah—sekali waktu ia memberi perhatian yang banyak, di lain waktu ia menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya.

Dan, kekacauan terbesar dimenangkan oleh Ryan Karl.

Hubunganku dengan pria itu tak ubahnya mimpi di siang bolong. Indah lalu musnah. Sempurna!

Bagaimana jika aku berjalan-jalan saja? Menyegarkan pikiran sekaligus membunuh rasa bosan. Aku sengaja, memutuskan untuk tidak masuk kuliah.

Hari ini jadwal dokter Karl—sejak pertemuan tempo hari, aku akan kembali memanggilnya demikian. Dan aku tidak ingin bertemu dengannya—meski rindu, dan bayang-bayangnya tak henti mengganggu tidurku. Namun, tetap saja sakit yang kurasakan atas sikap dinginnya tak bisa kubendung.

Baru mengunci pintu rumah, terdengar derap langkah mendekat ke arahku. Aku menoleh demi melihat siapa yang datang. Meski sedang dalam mode kesal pada dokter Karl, aku masih berharap ia datang dan memperbaiki semua.

Namun, siapa kami? Aku dan dia bukan sepasang kekasih yang telah mendeklarasikan hubungan secara resmi. Kami hanya dua orang yang terbangun di ranjang yang sama karena sebuah kebetulan. Biar aku meralatnya, karena terbawa suasana.

Meski berharap semua itu terjadi karena dokter Karl memiliki rasa seperti apa yang kurasakan, tetapi aku harus tetap berpikiran realistis. Bisa saja ia hanya butuh wanita untuk sebuah pelepasan.

Aku terlihat menyedihkan sekarang.

Seorang pria dengan pakaian semi casual—style yang mulai identik dengan kepribadiannya—melambatkan langkah ketika sudah mendekati halaman rumahku.

Ia memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana denimnya. Sementara tangan lain menggenggam sebuket bunga. Rambut hitam dengan tatanan short blow-out nya terlihat sedikit berantakan. Ia mungkin segera kemari sepulang dari kantor. Gurat lelah juga tergambar di wajahnya.

Aku menatapnya, lama.

"Maafkan aku," ucap pria itu saat berhasil memangkas jarak sedikit demi sedikit. Ia menyodorkan seikat kembang di tangannya.

Tunggu, maaf untuk apa? Dan demi apa aku harus memaafkanmu, Blake?

"Maaf? Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Mengabaikanmu, selalu menjadi pecundang dan menghilang, dan ... untuk kejadian waktu itu. Aku tahu, pria itu bukan kekasihmu. Kau tidak mungkin bersama pria seperti itu."

Aku tertawa sinis. "Oh, jadi menurutmu pria seperti apa yang akan bersamaku?"

"Pria sepertiku."

"Salah. Pria yang tidak akan pernah lari dan menghilang atau mengabaikanku. Itulah pria yang akan bersamaku." Aku melangkah begitu saja meninggalkannya berdiri sendiri di sana.

Jangan pernah berani mengikutiku, itu saja yang kuharapkan saat ini. Namun, kenyataan tak selalu terjadi sesuai harapan. Pria itu mengekor langkahku bahkan dengan tubuh tinggi dan kaki jenjang, dengan mudah menyusul langkah yang sengaja kupercepat.

"Don't follow me, Blake!" sergahku tanpa menoleh. Ia tak menjawab melainkan tetap mengejar dan menyejajari posisiku saat ini.

Langkahku terhenti. Berbalik dan menoleh padanya.

"Katakan apa maumu!" desisku, menoleh ke kanan dan kiri memastikan kami tidak menarik perhatian orang lain yang sedang berlalu-lalang.

Ia menghentikan langkahnya. "Aku hanya ingin kau memaafkanku."

"Oke, aku maafkan, sekarang pergilah!" Aku kembali menderap langkah. Sementara Blake dengan pantang menyerah kembali mengejarku. Ia menarikku dan membuatku jatuh dalam pelukannya.

"Ayo kita bicara," ucapnya setelah berhasil mengunciku dalam rengkuhannya. Aku tidak meronta, tidak memberi perlawanan karena kutahu hanya akan membuang energi dengan sia-sia.

Aku menghujamnya dengan tatapan penuh kekesalan. Dan sepertinya ia bisa membaca itu, terbukti ia melepaskan dekapannya dan membiarkanku bebas.

"Kumohon," pintanya. Aku menatap iris mata pria itu, ada ketulusan di sana. Tak ada salahnya memberi kesempatan padanya, bukan? Anggap saja sebagai imbalan karena telah berusaha datang sejauh ini.

Jauh? Aku bahkan tak tahu dimana rumahnya. Ia seperti orang asing yang misterius, datang hanya ketika ia membutuhkanku. Ia bahkan tak pernah mengatakan apa pun tentang perasaannya padaku.

Jika memang masih ada tempat untukku di sana, mengapa ia tak membiarkanku untuk masuk? Tidak juga menyuruhku menjauh. Buktinya, ketika aku sudah berusaha menjauh darinya, ia justru semakin mendekat.

Aku lelah bertikai, maka dengan mudah kuikuti kemauannya.

Ia membimbingku masuk ke dalam mobilnya. Dengan penuh perhatian mengancingkan sabuk pengaman milikku. Ia kemudian tersenyum lembut sebelum melajukan tunggangannya.

Entah ke mana ia membawaku, aku sedang tak ingin banyak bicara. Terlebih setelah segala yang terjadi. Biarlah, aku lebih baik diam dan menghemat tenaga yang mungkin saja akan kubutuhkan nanti.

***

Aku tak percaya dengan apa yang terjadi. Baru saja membatin tentang latar belakang dan dimana Blake tinggal, alam seakan memberikan jawaban atas pertanyaanku. Pria itu memanduku untuk masuk ke apartemennya. Membiarkanku memindai seisi ruangan tempatku berada.

Tak ada tanda-tanda sudah didatangi banyak wanita. Ruangan itu terlihat terlalu kosong. Mirip seperti suasana kamar Blake dulu.

Pria itu menyodorkan segelas vodka tonic yang langsung saja kutolak. Meski sudah tak memiliki keterikatan apa pun dengan dokter Karl, tetapi aku masih memiliki keinginan untuk hidup lebih lama. Jadi aku tak akan mengkonsumi apa pun yang bisa membahayakan kesehatanku.

"Lalu kau ingin minum apa?" tanya Blake, meraih jemariku. Getaran itu nyatanya masih ada setiap kali Blake manatapku, memberi perhatian padaku, terlebih ketika menyentuhku. Aku masih di tempat yang sama. Mungkin masih mendambakannya.

"Jus saja," jawabku yang langsung mendapat jawaban disertai keningnya yang berkerut.

"Okay." Ia mengambil jus kemasan dari dalam lemari pendingin kemudian menyodorkannya padaku. Ia kemudian menghadap dan memandang wajahku.

"Jenna, Aku sungguh tidak bermaksud untuk menyakitimu. Aku ingin menjelaskan alasan mengapa sejak bertemu kembali, seolah-olah aku pribadi yang sama seperti Blake di masa lalu."

"Ya, kau memang sebaiknya menjelaskan padaku alasannya."

"Aku ... sedang mempersiapkan kejutan untukmu. Namun, bukan kejutan jika kukatakan sekarang. Kuharap kau bisa bersabar menunggu."

Oke, kuakui memang aku masih merasakan perasaan yang sama, tetapi mendengar penjelasannya tadi, mengapa aku tidak merasa terharu sama sekali? Tetap saja itu bukan alasan yang bisa kuterima.

"Sayangnya, kau sudah membuatku terkejut berkali-kali dan kuota untuk kejutan sudah habis."

Tatapannya meredup seiring kalimat yang baru saja kuucapkan padanya. Biar saja. Itulah kenyataan yang harus ia terima seperti juga kenyataan darinya yang terpaksa harus kuterima, bahkan sejak awal.

"Jenna, kumohon beri aku kesempatan," pintanya sembari menggenggam erat jemariku.

Aku menatap matanya untuk yang terakhir kali sebelum bangkit dari tempatku.

"Kau tahu, Blake? Dulu ketika kau pergi tanpa pesan apa pun, aku sempat berharap kau kembali atau setidaknya memberi kabar dan alasan mengapa kau meninggalkanku begitu saja. Dan ketika tahun demi tahun berlalu, aku berusaha mengubur perasaan yang tersisa untukmu. Namun, hatiku tak bisa berbohong, tak ada satu pun pria yang mengisi ruang kosong di hatiku," jedaku. berusaha mengatur nafas untuk kalimat berikutnya yang akan kukatakan. Dan bisa jadi, kalimat ini akan membuat semua membaik, dan bisa saja justru sebaliknya.

"... dan ketika pada akhirnya kita bertemu kembali—dengan versi yang berbeda, kau seperti itu dan aku seperti ini, aku merasa bisa memperbaiki dan menata kembali segalanya-"

"Memang ... memang itu yang sedang kuusahakan, Jenna," potongnya. Aku mengembuskan nafas kasar.

"Biar aku selesaikan dulu, Blake."

"Tidak, Jenna. Jika kau ingin mengatakan bahwa kau akan melepasku, tidak ...." Pria itu menggeleng. Ia bangkit dari tempatnya lalu mendekat ke arahku. Meremas rambut cepaknya, frustasi. "Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan itu. Tidak pula membiarkanmu melakukannya."

"Sudahlah," lirihku, merasa percuma meneruskan semua karena hanya akan jadi pertengkaran tanpa ujung.

Aku berbalik lalu meninggalkannya. Bergegas keluar dari tempat itu dan tidak menoleh ke belakang lagi. Ia pun sepertinya sama sekali tak beranjak untuk mengejarku.

Aku meremas dada, mengusir nyeri yang kini hinggap di sana. Apakah itu memang sifat yang tidak kuketahui darinya selama ini, ataukah versi terbaru dari seorang Blake Gillian. Seorang pecundang.

***