Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 21 - Momento

Chapter 21 - Momento

Sebuah suara mengagetkanku. Suara pintu dibanting oleh entah siapa. Aku masih terbaring di kamar, malas untuk bangkit dan sepertimya memilih untuk kembali tidur jika bukan karena kedatangan seseorang yang membuatku harus beranjak dari ranjang.

"Kau ... mau tidur sampai kapan?" Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku berbalik dan bangkit. "Ayo bangun! Kau sudah tidak hadir di perkuliahan selama berapa hari ... seabad."

"Oh, kau."

"Hey, tidak sopan! Kau tidak senang melihat sahabatmu ini?" Ia masih berdiri di ambang pintu, berkacak pinggang.

Dengan malas, aku kembali menelungkupkan wajah di atas bantal. Ingin kembali tidur. Aku tidak tertarik untuk kuliah hari ini.

Tak berapa lama, ia membanting tubuhnya di sampingku, membuat ranjang bergoyang seperti diguncang gempa.

"Jenna ...," panggilnya yang hanya kujawab dengan deheman. "Apa kau tidak nerindukan suasana kampus?"

Aku menggeleng.

"Tidak merindukanku?" Aku mengangkat wajah mendengar pertanyaannya. Menatapnya lekat.

"Tunggu! Bukankah tempo hari kau yang tidak ingin berbaikan denganku? Kenapa sekarang kau ada di sini?"

Ia tergagap. Bangkit dari posisinya dan duduk menghadapku.

"A-aku .... Jenna, apakah benar kau dan dokter itu sudah bersama?" tanya gadis itu. Aku mengembuskan nafas lelah. Sungguh, aku sedang tak ingin mengingat apa pun tentang pria itu. Pada akhirnya aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya.

"Tidak. Hanya ... satu malam."

Mendengar jawabanku, Clara mendekatkan wajah padaku. "Kau serius? Kalian sudah menghabiskan malam?"

Aku mengangguk lagi. Kali ini giliran Clara menghela nafas. Ia kemudian menghempaskan tubuhnya, memandang langit-langit kamar. Sesekali melirikku, seolah ada kalimat yang menggantung di bibirnya.

"Katakan saja apa yang ingin kau katakan," tembakku melihat tingkahnya. Ia mendesah karena merasa tertangkap basah. Tentu saja aku tahu banyak hal tentangnya, bahkan ukuran pakaian dalamnya pun aku tahu. Kami bersahabat sejak kecil, catat itu!

"Maafkan aku."

"Maaf? Untuk apa?"

"Karena tidak memberimu kesempatan. Aku merasa ... tidak bisa menerima kenyataan kau menderita seperti itu dan aku baru mengetahuinya."

Aku menatap mata Clara berusaha menyelami apa yang sedang ia rasakan saat ini. Mungkin benar, ia hanya merasa terkejut dan tidak siap atas apa yang menimpaku. Namun, tentu saja cara yang ia lakukan tak bisa kubenarkan.

Namun, tak urung kumemintanya demi apa pun agar bisa berbaikan dengannya. Tanpanya, rasa hati ini hampa dan hidupku terasa sepi. Selama ini hanya dia sahabat terdekat dan terbaik yang menemaniku sejak kami kecil. Hingga sekarang tentunya.

Apa pun yang pada akhirnya menjadi ujian untuk persahabatan kami, seharusnya dapat kami lalui dengan baik.

***

Clara menghampiriku yang berdiri mematung memandang suasana kampus yang tidak jauh berbeda dengan terakhir kali kutinggalkan. Masih riuh dengan suara canda dan tawa beberapa mahasiswa yang menanti jam masuk dan pada akhirnya memilih mengobrol di teras gedung.

Ya, seperti itulah seharusnya. Nikmatilah hidup sebelum masa kontrakmu habis. Kalimat ini seharusnya ditujukan padaku. Karena selama ini yang kunikmati adalah kesenangan yang lain.

Beberapa mahasiswa menyapa, menanyakan kabar dan kondisi kesehatanku. Well ... well ... gosip selalu saja cepat menyebar. Namun, ini bukan gosip tentunya. Hanya, aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

Clara, yang berubah menjadi makin overprotektif, menyibak kumpulan mahasiswi yang mendadak protektif padaku. Clara selalu menyebut mereka fake. Memiliki ratusan topeng. Namun, memperlakukanku seperti itu demi apa? Jika perlakuan itu hanya kepalsuan.

Aku hanya pasrah bersembunyi di balik tubuh Clara yang berusaha membawaku masuk ke kelas dengan selamat, layaknya bodyguard yang melindungi majikannya. Untuk perhatian yang satu ini, kurasa aku akan menyukainya. Clara selalu menjadi favoritku. Sahabat terbaik.

Pada akhirnya aku mendaratkan pantat di atas bangku dengan selamat. Setelah melewati beberapa mahasiswa yang menghadang kami untuk informasi yang tidak terlalu penting.

Aku sengaja memilih bangku terbelakang. Hari ini adalah jam kuliah dokter Karl. Aku tidak ingin terlihat menyolok dan mendapat perhatian darinya lagi.

Hey, mengapa kau begitu yakin dokter tampan itu akan memperhatikanmu, Jenna? Bangunlah!

Tentu saja yakin, karena ia orang yang baik. Dan tidak bertemu denganku beberapa hari, kuyakin ia pasti bertanya-tanya tentang kondisi kesehatanku.

Benar saja, tak berapa lama, pria bertubuh tinggi tegap itu memasuki ruangan. Rambutnya disisir rapi dengan sedikit gel yang membuatnya terlihat berkilau.

Aku menyukai pria rapi sepertinya. Juga Blake. Mengingat nama itu membuatku muak. Nari kembali pada Ryan Karl saja. Meski sama-sama menyakiti, setidaknya Ryan tidak menggantungkanku seperti seonggok pakaian.

Dokter Karl tiba di depan kelas dan mulai memindai mahasiswa yang hadir satu per satu. Saat tiba padaku, matanya terlihat melebar. Ada sebaris senyum tipis, nyaris tak terlihat. Apakah ia senang bertemu denganku? apakah ia juga merindukanku seperti aku merindukannya?

Ia kemudian memalingkan wajah. Baiklah, sepertinya aku sempat salah menduga. Ia tidak sedang tersenyum karenaku. Tidak sedang tersenyum. Mungkin aku salah lihat.

***

Aku duduk di samping gedung kampus seorang diri. Aku sangat membutuhkan udara segar untuk menyegarkan pikiran. Kaumbil sebatang rokok dari dalam tas, menyulut lalu menghisapnya perlahan. Menikmati perpaduan aroma tembakau yang sudah melebur menjadi asap.

Sedang asik menikmati hamparan hijau di hadapanku, sebuah derap langkah terdengar mendekat. Ia kemudian mengambil tempat di sampingku. Merebut rokok yang baru kunikmati beberapa hisapan, menghempaskan kemudian melumatkan benda itu dengan ujung sepatunya yang mengilat.

"Hey!" protesku yang hanya dibalas dengan lirikan tanpa ekspresi. "Sejak kapan kau berhak bersikap tidak sopan seperti ini?"

"Apa kau lupa dengan kondisi kesehatanmu, Jenna?" tanya pria itu serius. Aku menatapnya sinis.

"Bukankah kau sendiri yang mengatakan aku bebas melakukan apapun sesukaku?"

"Tapi tidak seperti ini. Kau tetap harus mementingkan kesehatanmu di atas segalanya. Terlebih hal-hal yang justru merusaknya. Seperti ini." Ia menunjuk puntung yang tak berbentuk lagi.

Aku mendengkus kesal. Sungguh tak memahami jalan pikirannya. Jika ia tidak merindukanku, jika tak perduli lagi, mengapa ia muncul di hadapanku seperti ini?

"Aku tidak pernah meminta kau perdulikan," ketusku. Ia menghela nafas berat.

"Dan aku juga tidak membutuhkan saran atau perhatianmu ... hhmph ...."

Pria itu membungkam seluruh kalimat yang belum kuselesaikan. Tak ada sepatah kata pun, melainkan hanya pagutan darinya. Aku tak ingin membalasnya. Tidak. Sungguh.

Namun, sedetik, dua detik, dan entah berapa detik kemudian justru aku makin mendekatkan tubuh padanya. Memangkas jarak yang selama ini ia ciptakan sendiri. Ia yang menciptakannya, bukan diriku.

Dokter Karl-ralat, Ryan, melumat apa yang kini telah bersentuhan dengan bibirnya. Satu tangan merangkul pinggul dan lainnya menahan tengkuk leherku agar tak bisa melepaskan diri darinya.

Lagipula, aku sama sekali tak ingin lepas. Meski sebentar lagi aku pasti akan mati karena kehabisan oksigen.

Tak berapa lama, pria itu melepaskan pagutannya. Membiarkanku bernapas agar bisa bertahan hidup. Sungguh apa yang ia lakukan barusan, sangat di luar dugaan. Aku tak ingin memberinya kesenangan setelah menyakitiku dengan kalimat sinisnya saat itu, tetapi juga tak ingin berhenti. Aku ingin lagi.

"Jangan lakukan lagi. Kumohon." Wajahnya terlihat serius kali ini. tatapan yang sama seperti sebelumnya. Tatapan penuh cinta terhadapku. Bukan tatapan dingin seperti yang ia tunjukkan padaku saat itu.

"Apanya?" tanyaku menggodanya. Tentu saja dengan tatapan sepolos mungkin. Oh, Jenna ... kau benar-benar telah berubah menjadi bajingan kecil sekarang!

Ia menatapku denga tatapan 'seriously, jenna!'. Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan bentuk tatapan ini. Pokoknya seperti itu.

"Tentu saja sikap sembrono-mu itu. Memangnya apa?" jawabnya gugup. Sadar telah terperangkap oleh kalimatku.

"Oh ... kupikir ...." Aku tak melanjutkan kalimatku. Biar ia menyimpulkan sendiri.

"Jika yang kau maksud itu, aku tak akan pernah memintamu berhenti. Aku akan selalu meminta lagi."

Kali ini ia berhasil membuatku terbelalak akan kalimat yang baru saja ia ucapkan. Apa yang terjadi padamu, Dok? Kau baru saja mengatakan isi hatimu.

"Aku ... sejak malam itu aku tidak bisa melupakanmu meski sedetik. Bahkan ketika melihat pria itu menciummu, rasanya ingin menghajarnya, tetapi aku sadar bukan siapa-siapa. Aku ...." Ia menjeda kalimatnya.

"Aku seperti kecanduan. Ingin selalu melihatmu, berada di dekatmu. Katakan jika ini konyol bagimu."

"Ya. Ini konyol," jawabku datar. "Tapi aku bahagia mendengarnya."

Aku mengulas senyum yang dibalas dengan hal yang sama. Ia kemudian meraih jemariku dan menarikku masuk dalam dekapannya. Tunggu! Ijinkan aku menikmati berada di dalam pelukannya seperti ini. Aku tidak ingin ada seorang pun yang mengganggu momen indah ini. Sebentar saja.

***