Sejak malam indah yang aku dan Ryan lalui bersama, ia menjadi lebih intens menghubungiku. Bahkan terkesan overprotektif. Oke, kali ini ia sangat mirip dengan ayahku. Ayahku dalam versi muda dan tampan. Bukan berarti ayah tidak tampan, bagaimana pun Ryan lebih tampan.
Ryan. Setiap menyebut nama itu, hatiku berdesir tak karuan. Mungkin lebih baik membiasakan memanggilnya dengan nama itu saja. Lagipula ia juga menyukainya.Terlebih ketika nama itu lolos bersama erangan di tiap pelepasan dengannya. Oke, skip bagian ini. Aku tidak ingin terlalu terbuka mengenai hubungan ranjangku dengannya—yang bisa kukatakan sangat luar biasa. Extraordinary. Magnificent. Atau apa pun bentuk kata luar biasa untuk menggambarkan betapa aku sangat menikmati apa pun yang kulakukan dengannya.
Dengan lainnya mungkin sama saja, hanya terasa berbeda bersama Ryan karena kami melakukannya atas dasar CINTA. Aku perlu menuliskannya dengan huruf kapital dan bold, bila perlu akan kuberi garis bawah. Agar semua tahu bahwa hal itu adalah bagian terpenting dari ceritaku dengan Ryan.
Apakah ia sudah mengatakan perasaannya? Jawabannya adalah belum. You can call me naive as you please, tapi setidaknya Ryan tidak mengabaikanku. Ia memperlakukanku dengan sangat baik, lembut, dan penuh cinta. Sesuatu yang belum pernah kudapatkan dari pria mana pun.
Pernah, dulu sekali dan itu dari Blake. Ya, Blake. Pria yang beberapa waktu ini menghilang seolah ditelan bumi setelah ia menikmati malam bersamaku. Membuatku menjadi seperti pengemis yang mendamba perhatian dan cinta darinya tetapi nihil.
Aku pun sudah berjanji pada diri sendiri akan memperjuangkan Ryan, sebagaimana seharusnya. Meski ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku, setelah semua ini ia tidak juga mengundangku untuk datang ke rumahnya. Apakah itu wajar? Ataukah aku yang terlalu tergesa? Entahlah.
Oh, ya! Ada hal lain yang kusuka darinya. Salah satunya adalah ini.
"Halo," sapaku saat melihat ponselku berkedip dengan nama 'dr.Ryan Karl' tertera di sana. Ia—di seberang sana—mendehem sebelum menjawab sapaanku.
"Apakah kau sudah makan, Jenna? Aku kebetulan sedang menuju ke rumahmu, membawakan taco dan salad sayur kesukaanmu." Aku bisa membayangkan wajahnya sekarang sedang menyunggingkan senyum. Ada getaran aneh setiap kali mendengar suaranya. Membuatku terdiam untuk sesaat, menikmati suara bass-nya yang khas seperti mendemgarkan alunan musik favoritku.
"Jenna, apakah kau masih di sana?" panggilnya ketika beberapa lama tak mendapat jawaban dariku.
"Ah, y-ya. Maafkan aku. Belum, aku belum makan. Hati-hati di jalan, aku menunggumu."
Lalu pria itu memutus panggilannya dan memberi kesempatan untukku membayangkan segala hal tentangnya. Apa pun tentang Ryan selalu menjadi hal yang indah. Masuk akal karena aku sedang dilanda kasmaran. Bisa dibilang begitu.
Entah apakah pria itu merasakan hal yang sama atau tidak. Namun, aku seolah bisa mengetahui perasaannya setiap kali ia memelukku. Rasanya berbeda. Aku tahu ia ingin memberikan rasa nyaman, dan itu yang kurasakan. Nyaman dan damai. Seolah apa pun masalah yang menghadangku, tak ada artinya. Aku bisa melaluinya.
Klise, dan terkadang menjijikkan, aku tahu.
Kehadiran Ryan juga membuatku melupakan kegelisahanku tentang Blake, bahkan tentang Clara. Mereka menghilang di waktu bersamaan, membuatku curiga, meski aku tahu kecurigaanku tak masuk akal. Namun tetap saja, instingku sedang berbicara saat ini.
***
Tak berapa lama, terdengar suara bel dari arah pintu. Itu pasti Ryan. Siapa lagi? Hanya dia pria yang sedang kunantikan kedatangannya saat ini. Aku berlari kecil menuju ke sana duntuk menyambutnya.
Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Yang berdiri di ambang pintu bukanlah dokter tampan itu melainkan Blake. Manusia dari planet lain yang datang ke bumi demi mengunjungiku. Terlalu berlebihan, memang tetapi pantas untuk ia sandang karena telah menghilang beberapa waktu lamanya. Dan kemudian sekarang ia datang lagi, untuk apa?
"Oh, kau," hanya itu sambutan yang keluar dari bibirku. Memangnya apa lagi yang ia harapkan setelah semua yang dilakukannya padaku? Ciuman mesra? No way!
"Kenapa? Kau seperti tidak suka dengan kehadiranku. Apa kau tidak merindukanku?" tanya pria itu tanpa rasa bersalah.
Oh, hello, Blake Gillian ... pantaskah kau menanyakan itu padaku, setelah menghilang sekian lama. Oh, dan jangan lupakan, kau menghilang setelah menikmati malam indah denganku.
Haruskah aku mengatakan itu? Ia pantas menerimanya, tapi aku tak pantas mengucapkannya.
"Menurutmu? Haruskah aku tersenyum dan memberi kecupan mesra untuk menyambutmu? Atau sekalian membuka kaki lebar-lebar agar kau bisa memasukiku lagi lalu menghilang? Apa kau tidak waras?" semburku. Ia menunduk, seolah nyalinya menciut karena perkataanku tadi, menatap ujung sepatunya yang mengilap.
Baguslah jika ia masih tahu diri.
"Maafkan aku," ucapnya lirih.
"Maaf? Berapa lama kau menghilang? Jangan lupa akumulasi dengan waktu yang lalu. Kau juga pergi tanpa berpamitan dan menghilang selama berapa lama. Aku bahkan telah lupa seperti apa wajahmu saat itu jika saja tidak bertemu lagi di Glory Club."
Ia masih bergeming. mulutnya terkatup membiarkanku meluapkan kekesalan yang membuncah dan tak mampu kubendung lagi.
Aku mendesah, menatap manik mata bak pualam di hadapanku. "Blake, pernahkah sedetik saja kau mengingatku? Mengingat apa yang sudah kita lewati meski hanya sebentar?"
"Aku mengingatnya, Jenna. Karena itu aku kembali untuk mencarimu. Dan nasib mempertemukan kita di Glory, bukan?! Itu takdir kita."
Cih! Percaya diri sekali, dia.
"Lalu setelah bertemu denganku, apa? Apakah cukup yang kita lakukan saat itu? Hanya dengan menghabiskan malam bersama? Dan kemudian kau pergi seperti ditelan bumi, sekali lagi. Sadarkah kau telah menyakiti perasaanku dan membuatku merasa tidak berharga?"
Ia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk, menatap ke dalam mataku penuh arti. Kemudian tanpa aba-aba menarik tubuhku dan memagut tanpa permisi. Apa yang harus kulakukan? Seolah setiap detik tak juga berlalu. Waktu seakan terhenti. Hingga kehadiran Ryan menghancurkan moment yang sempat hadir sesaat di antara aku dan Blake.
Aku menyukai kehadiran Ryan, tapi tidak dalam kondisi seperti ini.
Aku menjauhkan tubuh Blake dengan kasar saat melihat Ryan tertegun sesaat kemudian berbalik dan pergi. Ia telah melihat segalanya, tak lagi butuh penjelasan dariku. Aku tak ingin menjelaskan, aku ingin dirinya saja.
Tak perlu mengucapkan permisi pada pria berkulit coklat yang sejak tadi sempat mencuri kecupan dariku dan membuatku melayang sesaat, aku berlari dan mengejar Ryan yang perlahan menjauh. Ia masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju dan pergi.
Aku terengah menatap kepergiannya. Ada rasa sesal menghinggapi hatiku. Berbagai pengandaian memenuhi pikiran. Andai saja begini, andai saja begitu, maka ....
Sudahlah, semua sudah terjadi.
Aku berbalik dan kembali ke tempat dimana Blake masih berdiri terpaku. Mungkin dalam hatinya bertanya siapa gerangan pria yang membuatku melupakannya. Andai ia bertanya lagi, aku akan menjawab dengan rasa bangga. Bangga karena aku bisa merasakan dicintai, bukan hanya diberi harapan lalu dikecewakan.
Aku masuk ke dalam rumah dengan lesu. Tak perduli pada Blake yang mungkin berharap dipersilahkan masuk. Jika kau mau, masuk saja. Namun jangan harap aku akan mempersilahkanmu masuk lalu pergi begitu saja, sekali lagi.
"Jenna, siapa pria itu?" tanya Blake penasaran. Aku masih bergeming. membanting tubuh ke atas sofa dan meratapi nasibku hari ini. "Jenna, jawab aku."
Pria itu berjongkok agar sejajar dan bisa menatap wajahku. Sementara aku masih tak ingin bicara apa pun. Kunjungan Ryan yang kuharapkan menjadi hari yang indah, musnah sudah. Semua karenamu, Blake!
"Jen—"
"Dia kekasihku! Kau puas? Puas sudah menghancurkan segalanya setelah menghancurkan hatiku?" semburku. Tak perduli lagi seperti apa dan bagaimana reaksinya.
Ia mengangguk mengerti. Ada raut kesakitan di wajahnya, yang baru kali ini ia tampakkan di sana. Apakah kau cemburu, Blake? Apakah kau sakit? Jika ya, maka bagus! Aku jadi tak perlu bersusah payah untuk membalas perbuatanmu.
"Pulanglah!" sergahku lirih nyaris tanpa suara. Aku tak sanggup lagi mengatakan apapun. Hatiku seperti remuk melihat bagaimana ekspresi terluka di wajah Ryan. Aku tak ingin perduli dengan Blake, seperti ia yang tak memerdulikanku. Saat ini aku hanya memikirkan Ryan. Hanya Dia.
Blake bangkit, kemudian pria yang masih memakai setelan jas rapi itu meletakkan buket bunga yang ia bawa ke atas meja. Ia berbalik dan pergi tanpa kata, meninggalkanku untuk kesekian kali. Namun, kali ini ia tidak pergi atas keinginannya sendiri, melainkan atas keinginanku. Biarlah.
***